Chapter Twenty

5.6K 421 5
                                        

Ketika kita memilih untuk jatuh cinta, ada dua konsekuensi yang harus kita hadapi. Menyakiti atau disakiti.

Adam's POV

Wajahnya menatap lurus ke layar komputer tanpa sekalipun berkedip. Wajah kaku nan serius, perlahan memunculkan kerutan di dahi.

Seakan menemukan penyelesaian, kerutan itu memudar, lalu senyumnya tersungging manis. Tidak berlangsung lama, ekspresinya kembali berubah kaku tanpa ia sadari.

Dan tanpa disadari, pemandangan bisa semenarik itu.

Alexis menghela nafas panjang, dan meregangkan tubuhnya. "Yep, udah rapih semuanya. Ini tinggal dipindahin ke flashdisk Raldin, biar dia print dan sekalian di jilid," katanya diiringi anggukan puas gue.

Matahari memancarkan sinar senjanya diufuk barat, menyambut gue dan Alexis untuk mengakhiri hari yang cukup melelahkan. Berkutat dengan bahasan presentasi yang harus diubah jadi makalah.

Kegiatan yang sebenernya gak sulit untuk diselesaikan oleh Alexis, memang sebaiknya dipaksa dan diberi kesan terburu-buru agar terselesaikan.

She did a great job, and i'm proud of her.

Dia kemaren udah presentasi, dan dia juga udah nyelesain tugasnya yang sekarang. Kerutan didahinya pudar, tapi wajah lelahnya tidak tertutup oleh senyumnya yang menarik itu.

"Ayo balik," ajak Alexis seraya dia berdiri membereskan isi tasnya. Gue pun menggeleng pelan, tanpa merubah posisi duduk yang udah nyaman. "Kenapa?" Tanyanya.

"Gue masih pengen disini," kata gue. Perlahan Alexis kembali duduk dihadapan gue. Kepalanya ditopang oleh tas beratnya diatas meja.

Mata gue seakan terpaku menatap wajah lelahnya.

Alexis menghela nafasnya, "Mau sampe kapan disini?"

"Kenapa basket?" Tanya gue menyela.

Alexis sedikit bingung, sampe akhirnya dia menjawab. "Kenapa gak basket?"

"Siapa yang ngajak lo gabung pertama kali di tim?" Tanya gue.

Senyum Alexis tersungging dengan mata sendunya. "Felix."

Hendak menanyakan pertanyaan berikutnya, tangan Alexis menahan mulut gue untuk berbicara. "We've met before," katanya.

Kejadian itu seakan terulang dibenak gue secara singkat. Gue inget dia, bahkan masih inget baju apa yang dia pake, dan sama siapa dia dateng, serta makanan yang dia pesan pun gue masih inget. Those eyes.

Gue mengangguk. Mata Alexis melebar, dan menegakkan badannya menghadap gue. "You act like you don't," katanya.

"Apa perannya masa lalu kalo dibahas sekarang?" Tanya gue yang sebenarnya menghindari pertanyaan-pertanyaan Alexis berikutnya. "Lo nyesel gue sekarang balik lagi kesini?"

Wajah Alexis berubah menjadi tidak berekspresi, dan kemudian gue sadar kerutan didahi gue menandakan gue cukup terlalu keras saat bicara tadi. "Sorry."

Alexis menggeleng. "Apa tujuan lo balik lagi ke sini?" Tanyanya.

Gue gak perlu mikir panjang, atau mengubah jawaban gue hanya karna Alexis yang bertanya. Gue suka kejujuran, meskipun itu gak senyaman kebohongan.

"You."

Raldin's POV

Gav, where are you?
Sent : a minute ago

Gue mengunci layar hp, lalu mendesah panjang. Penyemangat pagi gak biasanya ninggalin gue hampir 3 jam tanpa kabar. Gue mencoba untuk gak mengkhawatirkan orang yang bahkan gue gak tau wujudnya seperti apa itu, tapi hati berkata lain. Gue gelisah.

Lebay memang, tapi tiga jam terakhir ini terasa hampa tanpa nama Gav muncul di layar hp. Kemudian, gue menghalusinasikan sesuatu yang gak seharusnya terjadi.

Meraih hp gue kembali, dan mencoba ngetik satu sms untuk mastiin Penyemangat Pagi gue itu baik-baik aja.

Gav, are you okay? I started to worried about you. Text me when you got this, ASAP.
Sent : a minute ago

Gak lama, hp gue berdering, dan namanya tertera disana.

Hey, sweet peach :)
I just got back home, and the surroundings remind me of you. You know you have nothing to worry about, i'm still here :)

Pipi gue perlahan memanas, dan senyum gue mengembang tanpa diperintah. Ya, dengan kalimat seperti itu aja, Gav udah bikin gue se-senang ini.

Me : I do have issues about you leaving me for someone else.

Gav : And what's that supposed to mean?

Me : You know, possibilities.

Gav : I have no reasons to be like that, and you know that.

Me : Stupidly, i always trust you.

Gav : Don't blame me, beautiful.

Me : The blame is on you, jerk.

Gav : Words, silly girl.

Me : I hate you.

Gav : I know you don't.

Me : Now i am. Stop talking to me.

Gue mengunci layar hp dan sama sekali gak ada balasan dari Gav yang sebenarnya gue tunggu-tunggu.

Stop staring at your goddamn phone, and get a move, you need to wake up real soon tomorrow. I won't send any text messages till morning. Goodnight, sweet peach:)

Gav selalu tau apa yang gue lakukan tanpa dia bertanya. Entah dia punya indra ke-sepuluh, atau gue terlalu predictable.

Lalu fikiran itu terlintas lagi.

Apa yang bakal gue lakuin seandainya dia pergi?
--------
A's N :
Yep, that's the twenty.
Read the 'usual' quotes on the first page? It's sorta a warning, tbh.
I made up those words, by accident. But i truly mean it.

I love people, i love the beauty of the differences, and i always will.
But you see, some people do understand the real meaning of humanity. But some of them don't really care about it. It's such a waste to skip that kinda thing in your life.

Stop hurting people.

Understand their situation first, before you ask them to understand yours.
You need them no matter how useless they are.
How stupid they are.
How bullshit they are.
All you need is to oper your mind, and hear their voice. Hear what their hearts speaks.

We've hurt people too much, already.

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang