Seharusnya kamu tahu bahwa, aku terlalu melibatkan perasaan ketika kita bersama saat itu. Dan setelah aku bukan lagi jalanmu, perasaanku yang terlibat tidak akan meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja. Aku membutuhkanmu, untuk menyelesaikan apa yang kita mulai—sebagai wujud kita memadu kasih untuk yang terakhir kalinya.
Alexis's POV
Ini bukan soal siapa yang menang, dan siapa yang kalah. Dalam kompetisi apapun, pemenang selalu dijadikan prioritas utama. Namun, penghargaan bagi orang-orang yang berpartisipasi juga diberikan sebagai wujud terima kasih telah berdedikasi untuk suatu kompetisi yang mungkin—tidak ingin kau ikuti.
Apa salahnya mencoba?
Gue mendedikasikan hati untuk disakiti sehingga pelajaran hidup gue mengenai cinta bisa lebih luas definisnya. Setidaknya, itu hal yang selalu gue katakan dalam konteks untuk menghibur diri gue sendiri. Dan lagi, apa salahnya mencoba?
Mencoba untuk tahu—dan paham apa itu sakit hati merupakan tekad yang dibayar oleh sebuah pengalaman yang menyakitkan. Jika itu tidak menyakitkan, itu namanya bukan sakit hati. Segala konsekuensi pun tak terpikirkan bila tekad telah bermain peran disuatu kegiatan menuju sakit hati. Jika konsekuensi datang sebelum bertindak, tidak ada yang mengerti apa itu sakit hati.
Sebuah pelajaran menghargai hati, katanya.
Entah menghargai hati atau justru mengusir kebahagiaan.
Pagi ini gue bergegas dengan langkah yang lebih semangat dari hari kemarin. Seragam sudah terpakai rapi, kantung mata tidak terdeteksi, dan suasana hati tidak begitu mendung seperti langit pagi ini.
"Lex!"
Suara nyokap dari ruang makan sudah terdengar menyerukan nama anaknya dengan intonasi setengah panik—setengah histeris. Gue terburu-buru turun ke bawah, dan mendapati nyokap gue sedang memegang gagang sapu diatas kepalanya.
"Mama ngapain?"
Dia memandang gue, lalu menggeprak sapu—yang ia pegang—dengan sentakan kuat ke lantai. Gue terkejut ketika meratapi nasib kecoa yang tubuhnya gepeng akibat sapu di lantai. Nyokap gue menghela napas lega dan menyiapkan sarapan.
"Masak apa ma?" tanya gue sembari duduk manis dimeja makan.
Nyokap gue menuangkan nasi goreng ke piring yang tersedia tepat dihadapan gue, lalu berdecak. "Udah lama gak megang panci, ternyata berat ya?" keluhnya setelah meletakkan panci ke tempat cuci piring.
"Lagian jarang pulang," celetuk gue.
Dia melempar kerupuk ke kepala gue. "Mama itu pulang, tapi kamu udah tidur. Paginya mama berangkat pas kamu masih enjoy tenggelem di mimpi."
"Ngapain sih Ma kerja segitu disiplinnya? Gak ada orang lain, apa Papa kurang puas dengan cara kerja anak buahnya? Anak sampe terlantar gini," keluh gue.
Nyokap gue meneguk air, lalu tersenyum. "Bekerja itu harus giat, kalo enggak rejekinya keburu dipatok ayam."
"Tapi anaknya terlantar."
"Bukan berarti menelantarkan anak, Mama jadi gak tahu menahu soal kamu."
"Maksudnya?"
Nyokap gue mengunyah apel lalu melemparnya ke tempat sampah. "Soal Adam, Mama tau."
Jantung gue seraya berhenti berdetak, bersamaan dengan nyokap yang memandang mata gue lurus. Nyokap memberikan senyuman tipis serta meneduhkan, lalu mengangguk—entah untuk apa.
"Tau dari siapa?"
"Tau aja," jawabnya meninggalkan misteri. "Mama juga wanita, Lex. Mama ngerti segala hal yang sedang berputar di dunia kamu, yang kamu pilih untuk menghadapi semuanya sendirian. Mama tau."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rebound
Ficção AdolescenteNama gue Alexis. Gue suka banget basket. Dalam sehari, gue bisa latihan sampe tiga jam setelah pulang sekolah, kadang lebih. Itu gak termasuk tanding setiap istirahat sama senior. Kecintaan dan skill gue inilah yang meluluhkan hati kapten tim basket...