"I don't know if they're really like everybody else, or if they're able to pretend they are."
Madeline L'Engle
———————————————————-
Adam's POV
Tatapan matanya yang gak sama kayak pertama kali kita berpandangan, sedikit mempengaruhi gue. Entah karna kita udah ditakdirkan buat menghadapi hal seperti ini, atau justru kita malah belum siap buat nerima segala kemungkinan. Buat gue sekarang, itu harus.
Orang itu ngebanting pintu bersamaan dengan dirinya menghilang dari pandangan. Gue kemudian kembali bercakap dengan Joshua tentang basket, dan Felix masuk. Gue kenal Felix dari lahir, kalo bisa dibilang. Selisih usia kita yang gak jauh, ngebuat kita semakin mudah buat ngerti satu sama lain. Selama gue kenal Felix, gue gak pernah liat ekspresi depresinya dia kayak sekarang yang terpampang jelas dihadapan gue.
"You okay, mate?" Joshua nanya Felix. Keliatannya Joshua melakukan pengamatan yang sama dengan gue.
Felix cuma senyum tanpa ngasih jawaban. Akhirnya, dia ngobrol sedikit sama Joshua dan pamit pulang. "Cepet sembuh, Josh." Kata gue diiringi anggukan dan senyum Joshua seraya gue menutup pintu dibelakang gue.
Felix jalan ngeduluin gue sampe ke parkiran, ngelemparin kunci mobil ke gue. "Lo yang bawa. Kepala gue pusing." Perintah dia lalu masuk ke dalem passenger seat.
Selama perjalanan pulang, Felix gak ngoceh apa-apa soal obrolan dia dan Alexis yang mulai bikin gue sedikit penasaran ngeliat perubahan moodnya. Kalo obrolan mereka gak serius, gue gak mungkin denger logat Alexis yang nyelekit, dan segitu gampangnya Felix terpengaruh. Perdebatan mereka soal basket, gue juga harus tau. Gue bagian dari mereka buat sementara, tapi setidaknya tujuan gue sama seperti mereka. Memenangkan pertandingan.
"Ada masalah, Lix?" tanya gue tanpa memalingkan wajah ke Felix.
Felix ngehela nafas. "Sepele."
"Kalo soal Alexis gue yakin gak sepele." Celetuk gue.
Felix ngeliatin gue. "Tau apaan lo soal Alex?"
"Gue tau dia keras kepala, dan lebih cepet buat bertindak sebelum mikir." Jawab gue.
Felix ketawa kecil. "Watch your words, bro. She might kick your ass next time."
Gue ketawa, dan sedikit lega ngeliat sepupu gue bisa ketawa lagi. "I'm looking forward for that one." Kata gue.
Akhirnya mobil gue mendarat di halaman rumah Felix, dan kita berdua langsug masuk ke dalam. Rumah Felix udah seperti rumah gue sendiri, karena faktor keluarga dan kedekatan gue sama Felix yang bikin gue ngerasa sama nyamannya di rumah ini. Keluarga Felix jarang ada dirumah, berbeda jauh sama keadaan rumah gue yang selalu rame. Orang tua Felix mengundi nasib di bidang bisnis yang menuntut mereka buat kerja setiap hari, jadi Felix lebih banyak ngabisin waktu sendiri atau sama gue kalo hari libur.
Gue ngebuka kulkas dan ngambil sekaleng jus, lalu nyamperin Felix yang udah tiduran di sofa. Masih kepo soal pembicaraannya sama Alexis, akhirnya gue memberanikan diri nanya. "Lix.."
"Mulai besok, coba sedikit lebih gentle ke Alexis." Salip Felix sebelum gue menyelesaikan pertanyaan gue.
Gue mengkerutkan dahi. "Maksudnya?" tanya gue.
Felix ngehela nafas, membenarkan posisi duduknya, dan natap mata gue seakan-akan pembicaraan dia kali ini lebih serius dibandingkan apapun. "Gue gak mau ada masalah lagi antara elo sama Alexis, setidaknya sampe kita menangin pertandingan. Setelah pertandingan, lo selesain urusan lo berdua secara pribadi."
Gue mendengus. "Satu syarat."
"Apa?"
"Jelasin ke gue kenapa ada dia di tim basket cowok, dan kenapa cuma dia yang dapet perlakuan beda." Tegas gue sampe akhirnya Felix senyum tipis.
"Kenapa dia ada di tim basket cowok? Karena kemampuan dia kelewat layak dikategorikan cewek. Dia gak berkembang kalo kerja sama masalah basket sama cewek, gak kayak selama ini tim kerja sama dengan dia. Berdasarkan rekomendasi kepala sekolah, dan atas permintaan gue, dia resmi di tim basket cowok. Dia pengecualian pertama. Dan kenapa dia diperlakukan beda? She's way too special. You'll know soon enough." Jawab Felix.
Gue ngangguk paham. "Terus soal permintaan lo, gue gak bisa ngejamin." Felix ngangkat sebelah alisnya dan mandang gue risih. "Selama gue gak nyari masalah, tapi dia duluan yang mancing gue. Gue gak janji sama lo gue bisa tenang-tenang aja."
Felix ketawa. "What's wrong with you, mate? Lo itu berhadapan sama cewek bukan sama beruang kutub." Gue diam. Gimanapun juga, Alexis gak bisa dikategorikan mental cewek. Kepribadiannya juga gak ada lembut-lembutnya.
Gue biasa berkomunikasi sama cewek yang mayoritas feminin, yang punya perasaan meskipun sebagian dari mereka pernah gue sakitin. Jujur, Alexis itu cewek pertama yang nonjok gue, bukan nampar. Sebagai lelaki yang udah di cap player kayak gue, tamparan wanita itu suatu hal yang disebut kebanggaan.
"Oke, gini deh, kalo Alex gak mancing lo, lo janji sama gue lo gak bakal memicu persoalan sama dia." Felix nuntut gue seakan omongan dia barusan nyelesain masalah.
Gue cuma ngangkat bahu agak gak peduli sama perintahnya. Gak lama, hp gue bunyi telfon masuk. Gue ngeluarin hp dari kantong, dan ngeliat nama yang tertera di layar hp gue. Alexa.
Tanpa berfikir panjang, gue masukin lagi hp gue ke kantong dan ngebiarin bunyi buat beberapa saat. Felix mandang gue dengan tatapan yang selalu dia kasih setiap gue gak meduliin cewek. Setelah dering telfon gue mati, ada satu notification yang gue yakin itu sms dari Alexa.
Did you really think by ignoring me, both of us can live peacefully?
Dengan berat hati sambil nginget masa lalu gue dan dia, gue ngetik balesan.
Re : Alexa
We both need time.
Setelah berkutat dengan Alexa, gue mengalihkan perhatian ke Felix yang ternyata lagi merhatiin gue. "Apa?" tanya gue heran.
"Tampang lo serem." Kata dia. Gue Cuma ketawa, sampe akhirnya tampang penasaran Felix muncul lagi. "Siapa barusan? Cabe-cabean sekolah lo?"
Gue ketawa. "Sejak kapan gue maen sama cabe-cabean?"
Felix ngangkat bahu. "Yaa, kali aja lo bosen sama cewek-cewek modis." Kata dia diiringi gelengan kepala gue. "So, soal Alexis?"
"Urusan lo deh baiknya gimana." Jawab gue akhirnya menyerah. Beban gue udah terlalu banyak kalo Cuma buat mikirin cewek yang overreacted kayak dia. Dia, Alex.
Gak lama, Felix ngebuka hpnya dan ngedesah panjang. "I knew it'll happen soon."
"Kenapa?"
Felix ngelempar hpnya, dan gue baca sms dari Alexis.
I quit. Good luck for the team. –Alex
——————————
Writer's Note :
So glad to finally finished this chapter. Gue sengaja bikin Adam's point of view, supaya memperdalam karakter Adam yang (nilai sendiri), dan juga buat mengabulkan permintaan readers yang udah comment di chapter ke... aduh lupa.
Gue juga mau ngasih tau kalo minggu depan gue gak bisa update chapter baru, dikarenakan UAS yang menghambat jalannya imajinasi. So, chaper selanjutnya akan sedikit lebih panjang sebagai permintaan maaf juga karena lelet.
Next time, gue juga pengen lebih banyak masukan dari readers yang mungkin bisa gue pertimbangkan lagi buat di chapter-chapter selanjutnya.
As always, makasih udah stay buat baca karya gue.
Means alot, for real.
Nyx.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rebound
Teen FictionNama gue Alexis. Gue suka banget basket. Dalam sehari, gue bisa latihan sampe tiga jam setelah pulang sekolah, kadang lebih. Itu gak termasuk tanding setiap istirahat sama senior. Kecintaan dan skill gue inilah yang meluluhkan hati kapten tim basket...