Alexis's POV
Sudah pukul 8 malam, dan Felix belum datang juga. Entah apa yang membuat gue menggebu-gebu ingin keluar rumah—sampai berpakaian rapi sejak dua jam yang lalu. Namun dia—Felix, belum datang.
Tidak tahu apakah gue berhak merasa kecewa atau tidak, tapi gue kecewa. Felix adalah orang yang selalu tepat waktu, satu-satunya orang yang gak pernah mengecewakan gue sebagai teman baiknya. Atau mungkin, kondisi gue sekarang menjadi sosok menjijikan yang gue hindari sejak dulu.
Being a hopeless romantic.
Mudah merasa kecewa dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspektasi, itu contoh pertama yang menandakan gue menjadi sosok itu. Sungguh, menjijikan sekali.
Adam merubah gue menjadi sosok yang gue gak tau. Menjadi gue, gue yang bukan Alexis.
Meraih kunci mobil, dan membawa mobil bobrok gue itu keluar. Tak tahu kemana tujuan gue, namun pedal gas tetap gue pijak dengan tatapan kosong. HP gue berdering, dan nama Felix tertera disana. Memencet tombol answer dan speaker, lalu menarik napas.
Lex? Halo?
Yea dude, speak up.
Sumpah gue minta maaf gue telat ngabarin. Gue gak bisa keluar hari ini, ada acara mendadak.
Santai, gue lagi dijalan juga kok ini.
Where you going?
Someplace awesome.
Lo nyetir?
Yep.
Sendirian?
Yep.
Lex, plis hati-hati. Don't be reckless, ok?
Don't you dare spoke like my mom.
Hahahahahahaha
Gak usah ketawa.
Ok, sorry. Gue telfon lo lagi nanti.
Gak bakal gue angkat.
Kok gitu?
Gue memutuskan telepon, serentak Felix mengirimkan pesan singkat.
From : Felix
Be safe, asshole.
Dan lagi, seperti orang tolol, gue menghentikan mobil gue diparkiran café itu. Café dimana gue pertama kali bertemu Adam, tempat dimana pertama kali gue jatuh cinta.
Datang ke sebuah café sendirian itu, tolol sekali. Melihat hampir semua pengunjungnya berpasangan, yang asyik dengan obrolan mereka masing-masing dibawah teduhnya langit malam hari ini. Gue tidak akan pernah merasakan hal seperti itu, se istimewa itu.
Gue duduk dan memesan secangkir kopi—yang tidak pernah menjadi kegemaran gue sebelumnya. Kenyataan pahit memimpin gue mengkonsumsi yang pahit juga ternyata. Yah, gue anggap ini tahap pemulihan.
Seseorang meletakkan mug jar dengan air berwarna biru didalamnya, seraya duduk dihadapan gue.
Getto.
"Tuyul! Lo ngapain disini?" Pekik gue.
Getto tertawa. "Nemenin mbak Lexis, lah." Dia duduk dihadapan gue sembari bertopang dagu menatap gue lurus.
Perlu gue akui, gue sedang benci sendiri. Kehadiran Getto entah bagaimana membuat gue bahagia sekali. Dia selalu ceria, senyumnya konyol namun meneduhkan. Yah, Getto memang terkenal tidak pernah serius—selalu bercanda. Tapi matanya malam ini tidak semenyebalkan Getto yang biasanya. Dia terlihat sendu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rebound
Roman pour AdolescentsNama gue Alexis. Gue suka banget basket. Dalam sehari, gue bisa latihan sampe tiga jam setelah pulang sekolah, kadang lebih. Itu gak termasuk tanding setiap istirahat sama senior. Kecintaan dan skill gue inilah yang meluluhkan hati kapten tim basket...