Ini bukan Cuma soal aku yang berusaha, atau orang lain yang menyerah tentangmu.
Ini tentangku yang belum bisa menjadi jujur kepada siapapun, termasuk diriku. Aku membual soal akan, soal masa depan yang kita bicarakan malam itu. Aku mematahkanmu—kalian, dengan alasan aku yang akan pergi entah kemana aku tak peduli.
Satu hal yang harus kamu—kalian tahu, aku tidak pernah berbohong mengenai perasaanku, dan cara penyampaiannya.
Aku menyayangimu, dengan teramat sangat.
Alexis's POV
Kembali gue ingatkan bahwa masa SMA itu indah sekali. Hari ini adalah hari terakhir gue mengenakan putih-abu yang sudah tiga taun menjadi identitas gue—dimana gue menjadi seseorang yang berbeda saat ini.
Gue yang baru, gue yang tak lagi pilu.
Masa SMA gue habiskan dengan belajar. Belajar untuk perguruan tinggi nanti, belajar untuk berteman, belajar untuk menghargai, dan belajar untuk mencintai.
Rendy, Getto, dan siapapun sebutannya tidak memaksa gue untuk terburu-buru memulai apa yang seharusnya kita mulai setahun yang lalu. Dia paham, ini sulit untuk gue. Sulit untuk meninggalkan yang kemarin, dan memulai hari ini. Dengan segala penantian, segala wujud menghargai usahanya, dan segala perasaan yang kian tumbuh untuknya, gue siap.
Wisuda hari ini gue tidak mengenakan kebaya seperti yang lainnya. Diharuskan, tapi selain hari ini, tidak ada lagi kesempatan gue untuk melanggar peraturan. Melihat penampilan gue, teman-teman gue yang sudah berdandan rapi dengan kebaya dan jas mereka perlahan merasa tolol telah menyia-nyiakan kesempatan terakhir mereka mengenakan seragam.
Gue diterima di salah satu perguruan tinggi negri di Bandung, sesuai impian yang selama ini tidak gue besar-besarkan. Begitu juga Getto, kami satu kampus namun beda jurusan. Berbagai khayalan menjadi mahasiswa bersama milik gue itu, sudah terlalu membahagiakan.
Acara wisuda selesai, gue duduk lagi ditempat itu setelah bersalaman dengan teman-teman seangkatan—termasuk Raldin dan Adam yang masih bahagia disana. Gue bahagia melihatnya, tanpa keraguan. Menerima pahitnya kenyataan itu memang butuh waktu. Gue bahagia masa-masa itu sudah lewat tanpa gue melupakan satu kejadian pun. Sebagai pelajaran untuk gue kedepannya.
Saat sedang duduk, teman-teman menghampiri berniat untuk foto bersama. Teman-teman paling tolol sedunia yang rela menghabiskan tiga tahunnya disana bersama gue, nangis bareng, ketawa bareng, dan hancur pun bareng-bareng.
Sebelum berfoto, gue melihat Felix dengan sebuket mawar putih dibelakang sana melambai ke arah gue. Gue hanya tersenyum dan janji akan kesana seusainya sesi foto bersama.
Getto mengambil posisi disamping gue, kemudian mencium kening gue. "Eh?!"
"Eh, belum haknya ya?" tanyanya.
Gue tertawa, lalu mengangguk. "Udah. Resmi, ya?"
Getto tersenyum lalu memeluk gue. "Jangan kemana-mana. Disini aja."
Gue mengangguk matap lalu kami berdua—semuanya berpose di foto yang akan menjadi sejarah kali ini.
Sedetik setelah jepretan kamera berbunyi, gue merasakan sakit yang luar biasa hebatnya. Gue jatuh, ambruk diiringi jeritan teman-teman gue.
Terakhir yang gue ingat, wajah khawatir Getto, kemudian gelap.
Ya, gue sudah merasa cukup.
Atas semuanya, termasuk hidup.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rebound
Teen FictionNama gue Alexis. Gue suka banget basket. Dalam sehari, gue bisa latihan sampe tiga jam setelah pulang sekolah, kadang lebih. Itu gak termasuk tanding setiap istirahat sama senior. Kecintaan dan skill gue inilah yang meluluhkan hati kapten tim basket...