Extra Part

5.8K 404 44
                                    

Getto's POV

Layak gula. Gue melarutkan diri diperairan sepi yang pekat, tanpa terlihat sosok inspirasi disana. Hidup gue terasa gagal, kebahagiaan gue terasa direnggut dan gue tidak merasa utuh.

Sebenarnya, apa arti sosok Alexis dimata gue?

Banyak.

Dia orang pertama yang gue definisikan dengan sepenuh hati tanpa paksaan dan tanpa permintaan. Dia tidak pernah menuntut apa pun, namun gue sadar gue dibutuhkan oleh sosoknya. Sosoknya yang sangat gue rindu.

Mengetahui gue akan merindukannya sampai ajal gue tiba, rasanya gue tidak akan sanggup.

Kita baru hendak membangun apa yang kita ingin, dan Tuhan melarang. Tuhan menyayanginya begitu sangat, sampai disentuhnya pun Dia tak rela. Alexis seberuntung itu—dan gue setakut itu kehilangannya. Gue selalu melibatkan Tuhan disetiap menit gue merindu. Karena gue tahu, tidak akan ada yang melawan kehendak Tuhan meskipun ingin—termasuk gue.

Pemakaman wanita yang gue cintai itu dihadiri banyak sekali teman dan kerabatnya yang tidak lepas dari isak tangis. Disanalah gue menyadari, dia dicintai banyak orang. Dan banyak orang kehilangan sosok semenyenangkan Alexis. Sosok berkarakter, sosok yang patut dirindukan.

Gue tidak menangis dan tidak berniat untuk menangis di pemakamannya yang sudah dibanjiri air mata kehilangannya—terutama pada kedua orang tuanya. Kami bertegur sapa, dan orang tuanya memeluk gue erat. Gue tidak keberatan, sangat amat tidak keberatan menerima segala perlakuan orang tuanya yang berusaha untuk gue pahami seperti apa rasa sakitnya. Namun, rasa sakit gue belum sebanding dan separah itu.

Gue tidak menangis,

Sampai gue masuk ke dalam mobil, dan sadar kursi penumpang disebelah kiri gue yang kosong terasa semakin kosong. Tidak ada lagi sosok yang siap melepas sepatunya hanya untuk merasa nyaman dengan melipatkan kedua kakinya sembari menikmati perjalanan, tidak ada lagi sosok disana yang menahan amarah gue karena kemacetan kota, tidak ada lagi ribuan gelak tawa yang terlampir disetiap candaan gue, tidak ada lagi Alexis.

"Kenapa sih gue harus selalu ketawa disetiap jokes lo?" tanya Alexis dengan alis yang dikerutkan, dan bibir yang melengkung kesal menatap gue.

Gue bergumam, "Formalitas doang jangan-jangan."

"Ngapain ketawa aja dipaksa?"

"Siapa tau kan lo berusaha menghargai usaha gue buat bikin lo seneng terus setiap sama gue," jawab gue menduga-duga meskipun gue tahu tawa seperti apa yang dipaksakan, dan tawanya memang mengalir begitu saja.

Alexis tersenyum sendu menatap jalanan dihadapan kami berdua. Gue hendak menggenggam tangan kanannya, namun gue urungkan karena kemudian dia bicara lagi.

"Gue gak bisa paham kenapa bareng sama lo aja bahagianya gak abis-abis. Seakan-akan kalo besok lo pergi—entah cuma beberapa saat aja gue gak siap."

Gue menggenggam tangannya dengan yakin, merekatkan jemarinya didalam genggaman gue. "Gue gak akan kemana-mana, paham?"

Alexis mengangguk, kita berdua larut dikehangatan jemari satu sama lain dan melupakan sejenak soal dunia. Yang terlintas di benak gue hanya gue dan—yang sedang gue genggam tangannya—dia.

Mengetahui gue tidak akan merasakan hal yang sama seperti itu lagi, gue menangis. Air mata yang tidak hendak keluar sedari tadi seakan menebas dinding pertahanannya dan meluap sejadi-jadinya.

Dengan atau tanpa Alexis, gue sadar gue harus melanjutkan hidup. Gue tidak akan bertindak belebihan menyikapi ketidakhadirannya—meskipun gue tidak yakin dengan kesanggupan gue sendiri.

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang