Chapter Ten

6.4K 530 2
                                    

"When I am able to resist the temptation to judge others, I can see them as teachers of forgiveness in my life, reminding me that I can only have peace of mind when I forgive rather than judge."

Gerald Jampolsky

----------

Alexis's POV

Namanya masih terngiang dikepala gue sampai akhirnya Raldin nepuk bahu gue. "You ok?" Gue seakan tersadar, mengangkat kepala gue lurus kedepan, dan ngangguk. "Mau gue yang bukain pintu dan bilang kalo lo lagi pergi? Seperti biasa."

Gue ngegeleng cepet. "Itu jurus gue kalo nolak tamu."

"Terus?"

"Joshua bakal tau kalo gue ngibul." Jawab gue, dan berusaha melangkahkan kaki gue ke lantai bawah. Menghadapi salah satu mimpi terburuk gue.

Gue kira Raldin sama Kemal bakal ikut nemenin gue, ternyata mereka malah stay di tangga buat nguping dan mastiin gue baik-baik aja. Mereka ngacungin ke empat jempol mereka kearah gue sebelum ngebuka pintu. Gue narik nafas, megang kedua gagang pintu rumah gue, dan ngebuka dengan satu sentakan.

Adam kaget, bener-bener kaget. Dia lompat dan kemudian ngelus-ngelus dadanya sambil nafas. "Sorry, gue gak tau lo pas didepan pintu." Kata gue sambil senyum tipis.

Adam ngangguk, dan gue mempersilahkan dia masuk. "Jus atau air putih?" tanya gue.

"Gak ada bir?" Gue ngegeleng cepet diiringi senyuman Adam yang dilemparkan lurus ke gue. "Air."

Gue ngangguk dan ngambilin segelas air buat dia, dan duduk di hadepan dia. Bersiap menghadapi kemungkinan yang terburuk. Kalopun dia mau ngatain gue, gue udah siap. Dia mau nyakitin gue, Kemal dan Raldin udah stand by nolongin gue. Gue natap lurus matanya, meskipun dia lagi minum. Dia ngelirik gue, dan ketawa. "Gue se-menarik itu?" tanya dia.

Gue muter bola mata, dan nyender ke sofa yang gue dudukin. "Gue pengen tau alesan lo kesini."

Adam ngelempar paper bag yang dia bawa ke gue, tepat mendarat diatas paha gue. Gue keluarin isinya, dan itu jersey tim basket. Gue ngebuka, dan nomor punggung dan nama gue terbordir rapih disana. Gue ngelirik Adam, dan dia ngelemparin gue tatapan bertanya. "Gue udah keluar." Kata gue.

"Terus?"

Gue ngelempar balik jersey tadi bersama paper bagnya ke Adam. "Gue positif gak main." Jujur, kalo gue gak bergengsi tinggi, gue dengan senag hati nerima jersey itu, dan main pas pertandingan.

Adam mendengus. Dia berdiri dan jalan kearah pintu. Gak lama, dia throw paper bag tadi ke gue yang mendarat tepat di kepala gue. "In case ada kendala, lo yang gue andelin." Kata dia dan seketika lenyap dari pandangan gue.

Raldin dan Kemal langsung berlarian nyamperin gue yang terduduk lemas mandangin jersey yang lama gue nantikan. "Ini kesempatan." Kata Raldin diiringi anggukan Kemal.

Gue ngegeleng. "Gak bisa."

Kemal mencekram pergelangan tangan gue. "Gue gak betah liat lo duduk di genangan aer lagi kalo stres." Kata dia diiringi anggukan Raldin. "Kenalin gue ama yang tadi ya."

Gue muterin bola mata gue ke Kemal, dan ngelepasin cengkraman tangannya. Gue berdiri mandang jersey gue, dan ngegeleng lagi. Raldin ngerangkul pinggang gue, dan menganggukan kepalanya. "At least lo bawa ini besok. Kayak yang Adam bilang, dia bergantung sama lo seandainya ada kendala." Kata Raldin.

Dengan segenap hati ngebuang gengsi gue jauh-jauh, akhirnya gue ngangguk dan meluk Raldin.

The Day

Gue masukin botol minum, dan sepatu gue ke dalam tas, lalu kembali mandang jersey gue yang tergeletak rapih diatas kasur. Gue ngelipet, dan masukin jersey itu ke dalem tas, dan nutup tas gue. Gue turun ke bawah, ngambil kunci mobil, dan nyetir secepat kilat ke sekolah.

Sampainya di parkiran yang udah kelewat penuh, Paker selalu nyediain gue tempat yang adem buat parkir meskipun agak terpencil di dalem sekolah. Gue gak lupa ngasih dia tip, dan kemudian lari dengan jeans gue yang ngetat white t-shirt gue yang berkibar menuju gymnasium.

Tepat dugaan, gym udah jauh lebih rame dari parkiran. Pas gue masuk, rombongan tim keluar ngebopong Felix yang udah terkulai lemas. Mata gue melebar, dan tanpa berfikir dua kali, gue ngikutin tim lari ke UKS. Gue nyamperin Felix yang lagi ditanganin dokter. Getto narik gue menjauh. "Lo ngapain disini?" tanya dia.

Gue nunjuk Felix yang lagi ngerintih diatas kasur. "Dia kenapa?"

"Overuse." Jawab Getto. Overuse adalah cedera kaki yang rasa sakitnya memusat di bawah tempurung lutut. Cedera kayak gini biasanya akibat dari shooting.

Sementara Felix ditanganin, gue, anggota tim, dan beberapa audience gak diundang berkerumun didepan UKS. Getto ngerangkul gue, sambil nungguin kepastian dari dokter soal keadaan Felix. Pas pintu UKS kebuka, gue masuk. Felix ngeliat gue, dan dia senyum.

Gue berlutut disamping kasur Felix. "Lo kenapa bisa kayak gini?" tanya gue khawatir.

Felix senyum. "Hai, Lexxie."

"Stop flattering, and tell me what's going on." Pinta gue sambil ngelempar senyum tipis ke Felix.

Felix berniat untuk ngerubah posisi badannya, tapi dia ngerintih kesakitan. "Sekarang gue bener-bener useless." Gerutunya.

"Masih ada pemain cadangan buat ngegantiin lo selama lo istirahat, Lix. Lo masih bisa tetep main." Hibur gue.

Dokter kemudian ngegeleng ngebantah omongan gue barusan. "Maaf, tapi dia butuh istirahat total. Setidaknya sampai benar-benar pulih dari cedera, tidak diperbolehkan melakukan aktivitas yang berat."

"Screw it." Geram gue.

Felix nepuk bahu gue. "Lo gantiin gue." Kata dia disusul anggukan anggota tim yang ada di UKS.

Gue ngegeleng. "Lo masih punya hutang ke Felix buat ngalahin Velucius, Lex." Kata Evan.

"Lo juga masih harus bales dendam buat pergelangan tangan lo." Tambah Fahri.

Gue ngeliat ke sekeliling gue yang udah ngelempar senyum licik mereka ke gue. "Gue udah keluar dari tim, dan..."

"Lo belum resmi keluar sebelum dapet persetujuan dari semua anggota tim. Lo udah minta izin ke kita buat ngeluarin diri?" salip Getto.

Gue bener-bener kehilangan kata-kata buat bales pertanyaan Getto. "I hate to say this, but we need you."

Kita semua ketawa denger pernyataan Joshua. Kemudian gue ngelempar pandngan ke Felix yang ngangguk ngeyakinin gue. "Hoops!" gue menoleh ke arah suara.

Adam berdiri senyum ke gue, sambil ngebawa tas gue. "Kenapa lo bisa ngambil tas gue?" tanya gue. Gue meriksa kunci mobil yang masih ada di kantong jeans gue.

"You haven't lock them up." Jawabnya kemudian ngelepar tas gue, seraya gue tangkep. "Go get change."

Gue mengangguk, dan lari ninggalin UKS ke ruang ganti. Tim langsung berlarian balik ke gym, berusaha mengembalikan audience yang mulai kebingungan didalem sana. Gue ngedouble t-shirt dan jersey sekaligus, dan ngebawa tas gue kedalem gym.

Sebelum gue masuk ke gym yang dipenuhin orang, gue ngeliat seseorang yang postur tubuhnya gak bisa gue lupain bersender dipinggir pintu mengintip ke dalem gym. Gue mempercepat langkah gue ke arah orang itu, dan dia menoleh. Senyum mimpi buruknya yang gak pernah gue lupain mengembang dibibirnya. "It's been a while, Alexis."

Tanpa berbasa-basi, gue mendaratkan tinju gue di hidungnya, dan dia tersungkur didepan kaki gue. "Finally.."

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang