Alexis's POV
"Dam, makalah yang kemaren lo bawa itu ngebahas bab yang mana sih?"
Ayam baru berkokok berbarengan dengan suara bel masuk, Raldin udah mulai sibuk sama tugas sembari menggerecoki Adam yang baru datang. Sekarang mereka berdua sibuk ngebahas hal yang gak tertarik buat gue dengar, dihadapan gue.
Gue bertopang dagu malas, ketika Adam nengok. "Lo pelajarin ini dulu. Ntar lo yang maju presentasi." Katanya sembari menyodorkan makalah yang tebelnya cukup buat bikin gue gegar otak.
Memandang makalah setebel itu dengan jijik, Adam menjatohkannya tepat didepan mata gue. Raldin tersentak, dan gue mendengus. "Gue gak mau. Lagian power pointnya juga belom dibikin, kan?"
Raldin menunjuk layar laptopnya lalu meringis minta maaf ke gue tanpa bersuara. Adam dengan tatapan jengkelnya ngeliat gue, lalu mengacak-acak rambut gue yang udah rapi dikuncir kuda. "Next time, coba digerai," katanya disusul senyum tipis, lalu berbalik.
Gue merasakan pipi gue mulai memanas, dan Raldin nengok dengan senyum isengnya ngeledek gue yang bikin muka gue mirip udang kelamaan di rebus. Menghindari ketauan, gue berdiri beranjak keluar kelas.
"Lexis!" Adam menyerukan nama gue, tapi gue gak bisa berbalik badan dengan tampang yang gak banget buat diliat. Gue menghentikan langkah gue. "Makalah pelajarin," gerutunya.
Gue berjalan mundur ngedeket ke tempat Adam dan menyodorkan tangan gue ke belakang. "Mana makalahnya sini?"
"Ambil sendiri."
Gue menghela nafas, kemudian berbalik badan, mengambil makalah, dan lari ngibrit keluar kelas. Dari luar kelas, pandangan gue mulai gak focus antara ngeliatin makalah, atau ngeliatin Adam dari jendela. Seriously, pantulan wajahnya kena sinar matahari pagi itu mempesona banget.
"Siapa yang mempesona?"
Gue sehentak nengok, dan Kemal berdiri sembari mencuri-curi pandangan gue, mencari tahu. "Gue yang mempesona." Jawab gue mengelak dengan cerdasnya.
Kemal berdecak. "Si Adam ama Raldin jadi deket, ya?" Tanya manusia biadab disamping gue ini tanpa merasa bersalah.
Gue mengalihkan pandangan gue ke Adam, dan disaat yang sama, Adam sedang menertawakan sesuatu bareng Raldin. Entah ngetawain apa, tapi asli, gue penasaran. "Biasa aja ah," jawab gue menghibur diri.
Kemal nyolek pipi gue, lalu nyengir. "Cemburu ya?" tanyanya lalu tertawa.
"Mal, lo jangan bikin gosip deh ah," gerutu gue.
Kemal masih tertawa, sampai gue tutup mulutnya. Dia menyingkirkan tangan gue dari mulutnya, lalu tertawa kecil. "Cie, cembokur."
"Apa pula cembokur?" Tanya gue.
Kemal memandang gue malas. "Cembokur itu cemburu. Ah, ngerusakin suasana aja lo."
Gue cengengesan, dan guru Fisika datang ke kelas mengakhiri obrolan bahaya gue dengan Kemal.
Raldin's POV
He's the sweetest.
Gue baca chat penyemangat pagi gue berulang-ulang sampe gak peduli sama apa yang Alex presentasiin di depan kelas. Well, meskipun Alex gak mengerti banyak soal materi fisika yang sedang ia presentasikan, tapi dia salah satu orang paling pintar dalam berimprovisasi. Segala pertanyaan yang diajukan guru pun, dia selalu bisa menjawab tanpa peduli jawaban dia benar atau salah. Menurut gue, ada kalimat yang keluar pas jawab pertanyaan aja itu udah jadi modal yang cukup besar. Masalah benar atau salah, itu tetep namanya proses belajar.
Kembali kepada si penyemangat pagi gue.
Dia selalu ngertiin apa yang gue butuh. Gue butuh tempat curhat, dia siap mendengar dan bahkan ngasih solusi. Gue butuh temen ngobrol, topic yang dia bicarakan gak ada abisnya. Gue butuh perhatian, dia selalu jadi orang yang pertama hadir. Dia gak pernah bales chat gue lebih dari 15 menit. Dia juga gak pernah ninggalin gue tanpa alasan, meskipun cuma ke toilet. Dia gak nuntut apapun dari gue, and that's the thing I love the most about him.
You see, pertemanan lawan jenis jaman sekarang itu banyak tuntutannya. Kalo salah satunya udah terlalu menganggap lebih, pasti ada aja yang nuntut buat di resmiin, meskipun gak secara langsung. Ada satu sistem buat di notice maksud dan tujuannya, namanya kode.
Sistem kode-mengkode ini cukup efektif di kalangan pergaulan gue. Karena, mayoritas kita paham karna terbiasa. Kita tahu, tanpa diberitahu. Kode muncul ketika satu pihak terlalu gengsi untuk mengungkapkan sesuatu, tapi keinginan ingin dipahami itu lebih besar dari si gengsi ini. Pihak yang lain juga dituntut untuk memiliki tingkat kepekaan yang lumayan memadai. Tujuannya, agar kode yang diberikan pihak A dapat diterjemahkan dengan maksud yang sama.
Ribet, ya?
Si penyemangat pagi gue ini gak suka mengkode kok. Dia selalu berusaha menuturkan apa yang dia mau, tanpa membebani gue untuk mengabulkan. Misal, kalo dia pengen tau sesuatu, dia bakal langsung nanya, tapi gak mewajibkan gue untuk menjawab seandainya memang terlalu pribadi. Dia menghargai privasi masing-masing, dan itu juga yang membuat gue luluh.
Nyari cowok macem si penyemangat pagi gue ini sulit banget, apalagi jaman sekarang. Cowok jaman sekarang itu terlalu vulgar, dan terkesan pamer. Tapi dia, misterius. Selama sebulan kenal dia, gue cuma tau umur, jenis kelamin, suara, dan nama. He calls himself Gav.
"Raldin, shut your goddamn phone or I'll tear those down the floor."
Gue mendongak, dan mendapati semua pasang mata dikelas menuju kearah gue. Alex melipat kedua tangannya di dada memandang gue dengan orientasi membunuh, bersamaan dengan buyarnya lamunan pagi gue mengenai si penyemangat pagi.
----------
Author's Note :
It's like, you know when someone has become your first priority, he means everything. Like, he change the way you think, the way you speak, the way you see life, and the way you respond to some condition. Which is a terrible idea.
I hate fall in love, really. But we're human beings, we can't help it. We've hurt people by accident, instead we get hurted in return.
I'm really sorry for typing this mumbling.
Hope you enjoy reading this.
I'll see you on Twenty xx
NYX.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rebound
Teen FictionNama gue Alexis. Gue suka banget basket. Dalam sehari, gue bisa latihan sampe tiga jam setelah pulang sekolah, kadang lebih. Itu gak termasuk tanding setiap istirahat sama senior. Kecintaan dan skill gue inilah yang meluluhkan hati kapten tim basket...