Aku tidak pernah memahami arti mencintai sebelum merasakan apa itu nyaman. Dan ketika aku tidak merasa nyaman, bisa kupastikan itu bukan cinta.
Alexis's POV
Adam tidak berkata apa-apa lagi setelah tamparan gue mendarat di pipinya. Kecewa, kali pertama yang gue rasakan selama berbelas tahun gue hidup dalam sepi—kesendirian. Kehadiran Adam gue terima dengan berbagai jenis perasaan yang gue rasakan untuk pertama kalinya. Sedih, amarah, bahagia, dan kecewa. Semua dijadikan satu membuat gue merasa lengkap menjadi manusia. Kini gue tahu apa itu patah hati.
"Let me ask you one thing," Adam memberanikan diri menatap gue. Sungguh, tatapan bersalahnya membuat gue muak. Tapi gue butuh menanyakan kebenaran, dengan segala konsekuensinya.
"Hari itu pas lo minta gue buat jadi pacar lo dihadapan Felix. Apa artinya?"
Adam membuang muka, lalu menenggelamkan wajahnya dikedua telapak tangannya yang terbuka. Entah apa yang dia rasain, tapi yang seharusnya hancur disini gue. Gue rela dihancurkan, tapi gue juga butuh berbagai penjelasan. Penjelasan untuk lebih menghancurkan hati gue, misalnya.
"Honestly, gue gak ada niat ngejadiin lo, Lex. I adore you, but..."
"But?"
"Gue cuma kepikiran lo pas Raldin gak ada. Ketika Raldin—yang dalam wujud stranger lagi gak peduli sama gue, gue butuh orang lain yang nemenin. Gue kira macarin lo itu salah satu jalan keluar buat gue gak ngerasa kesepian lagi, but i was wrong."
Alex, stay calm. Air mata lo sama sekali gak boleh keluar. Buktiin ke dia, gak ada setetes air mata lo yang rela keluar demi dia. Bikin dia ngerasa lebih brengsek atas apa yang udah dia lakukan.
"Maafin gue, Lex," tungkasnya tanpa ada sedikitpun jawaban yang keluar dari mulut gue.
Gue berdiri, melangkah keluar dari ruangan sepi senyap dengan Adam yang seperti orang tolol berpura-pura terpuruk disana. Menoleh, memperhatikan orang tersebut selama beberapa menit sampai mata itu menatap gue lagi. Tidak, tidak ada lagi cinta disana. Oleh karena itu,
"Literally, thank you for everything."
Dengan yakin gue melangkah keluar, namun tidak membawa harapan yang sama yang gue bawa setiap harinya. Semua tentang Adam, mata dan senyumnya yang melekat di pikiran gue, gue letakkan diruang itu dengannya didalam sana. Gue merasa harus bangkit, gue merasa cukup.
Wejangan orang tua yang dituturkan penuh kasih sayang kini terasa nyata buat gue. Sesuatu yang bukan diperuntukkan untuk kita, tidak akan pernah benar-benar menjadi milik kita. Adam, tidak pernah direncanakan untuk menjadi milik gue, karena memang bukan milik gue.
Pagi ini gue memberanikan diri datang ke sekolah buat latihan pagi. Gue tidak tahu, apakah gue sudah siap melihat wajahnya—yang menjadi salah satu mimpi terburuk gue itu—atau belum. Tapi demi memenuhi tanggung jawab sebagai anggota tim, gue akan bersikap profesional. Gue siap.
Ketika sampai di lapangan, tidak ada derap langkah berlari mendribble bola, tidak ada manusia bercelana kebesaran merebut bola, gak ada orang! Gue menjatuhkan tas gue ke lapangan dan duduk bersandar dibawah pohon, sembari menunggu seandainya ada yang datang untuk latihan.
Satu jam lamanya gue menunggu, namun tidak ada yang datang. Tubuh gue sama sekali tidak berniat untuk beranjak kemana-mana. Seakan teduhnya pohon, dan pancaran matahari ingin memanjakan gue sedikit lebih lama. Mungkin, alam ingin ikut menghibur hati bocah remaja yang akhirnya tahu apa itu patah hati.
Seseorang duduk disamping gue tanpa permisi. Tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa dia, gue sudah tau. Semerbak parfum lemon menghiasi hidung gue, seraya tahu dia Raldin.
"Hai, Din."
Gue menoleh mendapati sahabat gue dengan matanya yang bengkak, hidungnya yang merah, namun bibir yang masih berwarna pink cerah. Dia tersenyum kecil, kemudian matanya berair.
"Lex, gue minta maaf," kata makhluk tersebut sambil sedikit terisak. "Gue jahat, gue pengkhianat, gue bajingan, gue murahan, dan semua kalimat kotor yang mendefinisikan gue. I deserve that, you deserve to humiliate me."
Gue tersenyum. "Instead of being such a bad person,gue lebih seneng buat tau apa alasan lo menjauh dari gue. I mean, dibandingkan lo jadi bajingan—dengan lari dari masalah, lo lebih enak ngomong baik-baik sama gue, jujur sama gue."
"Lex, ini pertama kalinya lo jatuh cinta. Nerima kenyataan bahwa gue jatuh cinta dengan orang yang sama dengan sahabat sendiri, gue bingung. Dan nerima kenyataan bahwa gue harus nyakitin lo kayak gini, gue gak mau."
"Din," gue berdeham. "But you just did. Lo terlanjur nyakitin gue, dan gue udah bisa nerima."
Raldin tidak bicara, namun isaknya makin keras terdengar. Untung saja ini hari libur, dan kondisi lingkungan sepi. "I'm sorry, but i love him way too much," katanya disela nafasnya yang memburu.
"Gue tau rasanya."
"Dia baik, lembut, gue nyaman sama dia, Lex," ungkap Raldin seraya mengusap air matanya dengan tisu yang dia genggam sedari tadi. "Bisa gue bilang, semua yang gue cari dari seorang cowok ada di dia."
Oh, please stop. I knew how irresistible he is, but, just...don't.
Gue menghela napas, lalu mengangguk mengiyakan segala celotehannya yang perlahan membuat gue merasa buruk. Bayangan betapa indahnya Adam masih tersirat dipikiran gue—tidak perlu dideskripsikan.
Raldin benar-benar tidak tahu bagaimana cara untuk meminta maaf.
"Din, gue tau bagusnya cowok lo dimana, actually i felt that too. Jadi, bisa tolong berhenti?"
Raldin dengan senyum antusiasnya itu perlahan memudar. Sungguh, gue tidak berniat menyakiti hati Raldin dengan memotong luapan isi hatinya. Namun, mendengar semua hal yang gue sukai dari Adam dideskripsikan begitu detailnya membuat gue semakin...
Ah, sudahlah.
"Gue minta maaf, Lex."
Bagaimana pun juga, mungkin keputusan Raldin untuk menjauh dari gue terasa benar untuk sekarang. Jikalau dengan bertemunya kita berdua membuat dia begitu menggebu-gebu meluapkan isi hatinya, gue lebih baik tidak tahu. Seperti menambah goresan pada luka terbuka, perih sekali.
Atau lebih tepat gue sebut pilu?
Entahlah, gue merasa cukup.
Saat gue hendak beranjak pergi, telepon genggam gue berbunyi tanda satu pesan masuk.
From : Felix
Hari ini gak ada latihan.
Please, tell me you're free. I'll pick you up at 7.
-----
Author's Note :
Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan jejak di vote dan di kolom comment, itu berarti sekali.
Kalau boleh, ada yang merasa bosan dengan cover Rebound? Lebih baik dibiarkan tetap seperti awal, atau ada yang memiliki referensi lebih bagus bagaimana? Atau ada yang berniat membuat?
Pragata Oragastra

KAMU SEDANG MEMBACA
Rebound
Teen FictionNama gue Alexis. Gue suka banget basket. Dalam sehari, gue bisa latihan sampe tiga jam setelah pulang sekolah, kadang lebih. Itu gak termasuk tanding setiap istirahat sama senior. Kecintaan dan skill gue inilah yang meluluhkan hati kapten tim basket...