Chapter Twenty Seven

4.7K 412 68
                                        

Aku tidak pernah tahu bahwa kecelakaan itu bukan hanya kejadian yang melibatkan fisik, perasaan pun demikian. Aku menghantam suatu tembok yang kusebut harga diri, kemudian aku menangis mengetahui dia hancur. Lalu, aku tertawa ketika merasakan pilu yang luar biasa hebatnya.


Alexis's POV

"Raldin izin pulang tadi, Lex."

Cerdas, Raldin. Berlari menghindar tanpa memastikan gue tidak akan mengejar. Malang sekali, gue akan terus mengejar demi penjelasan. Bukan maksudnya gue menggebu-gebu untuk menyalahkan Raldin atas dasar 'ditikung' atau apapun, gue hanya ingin dia lebih terbuka dan jujur terhadap gue dalam berbagai hal. Termasuk ini.

"Lo gak mau nanya dia izin pulang kenapa, Lex?" tanya Fahri yang masih menunggu respon gue terhadap info yang dia berikan.

Gue mengalihkan pandangan menuju kedua matanya. "Lo nyimpen foto copyan surat izin gak?"

Fahri merogoh kantong bajunya, dan mengeluarkan secarik kertas kecil yang gue butuhkan. "Lo mau kemana?"

"Cabut."

Gue bergegas merapikan barang gue kembali ke dalam tas, lalu keluar kelas. Fahri menahan lengan gue, lalu berkata, "Itu surat izin gue tanda tanganin wali kelas dulu. Percuma kalo nama doang, gak bakal bisa cabut lo."

Gue mengangguk paham, lalu mengikuti dia mengambil pulpen untuk memalsukan tanda tangan wali kelas yang sudah menjadi keahliannya. Biasanya, Fahri ini mengambil keuntungan dari orang-orang yang menginginkan tanda tangan guru. Bakatnya itu kadang dihargai lima belas ribu rupiah untuk sekali tanda tangan. Cerdas, memang.

Gue hendak mengeluarkan uang dari saku ketika dia menyerahkan kembali surat izin tersebut. "Udeh, kagak usah. Buru gih keluar, sebelum dikunci gerbang."

"Tengs, bro." Gue bergegas keluar sekolah meloloskan diri dari guru piket dengan menunjukan surat izin ke satpam yang menjaga pintu gerbang.

Sesampainya diluar, gue mendapati Joshua diatas motornya bertopang dagu lesu. "Woi, curut," panggil gue sembari menghampirinya.

"Mau kemana lo?"

"Anterin gue ke rumah Raldin dong," pinta gue sembari menyatukan kedua telapak tangan dibawah dagu.

Joshua tersenyum, "naek angkot sono lu."

Gue cemberut, lalu duduk manis di jok motornya. "Cepet, jalan. Jangan pelit-pelit lo sama gue."

Joshua menghela napas, lalu memacu Vespa kuningnya ke kediaman Raldin.

Tujuan gue datang yaitu, meminta penjelasan mengapa dia tertutup sama gue. Sebisa mungkin, gue gak akan menyangkut-pautkan Adam ke dalam tuntutan gue. Entah untuk menghindari rasa bersalah Raldin, atau gue yang belum siap ditampar kenyataan.

Kenyataan dimana cinta pertama gue kandas, tanpa penjelasan.

Joshua menurunkan gue di depan rumah Raldin, lalu beranjak pulang dikarenakan ngantuk. Ya, pagi ini dia telat masuk sekolah karena streaming bola sampai jam 4 pagi. Karena telat lebih dari 15 menit, dia tidak diperkenankan masuk mengikuti pelajaran. Kasian, memang.

Gue menekan bel pintu, lalu Si Mbok keluar membuka pintu gerbang. "Eh, mbak Alex!" jeritnya setelah sudah beberapa lama gue tidak berkunjung.

Gue memeluk Si Mbok yang terlihat cemas. "Kenapa Mbok? Kok panik gitu?"

"Mbak Raldin masuk rumah sakit, Mbak."

"Emang kenapa dia, Mbok?"

Si Mbok menggeleng. "Tadi mbak Raldin sampe rumah langsung pingsan mbak di depan pintu. Terus langsung dibawa ke rumah sakit sama Ibu. Saya gak tau kenapa, tapi dari kemarin-kemarin mbak Raldin keliatan lemes, Mbak."

"Rumah sakit mana?"

"Anu.. itu mbak, yang disebrang jalan gede di depan," katanya sembari menunjuk gapura depan komplek.

Gue masuk ke dalam teras rumah Raldin, mengambil sepedanya dan mengayuhnya dengan cepat ke rumah sakit yang ditunjuk Si Mbok tadi. Sesampainya disana, gue lari ke UGD dan mendapati Ibunda Raldin—tante Maya, berdiri didepan pintu salah satu ruangan disana.

"Alex, kamu ngapain disini?" tanya tante Maya sembari merengkuh kedua pipi gue terlihat khawatir.

Gue menggenggam tangan beliau, lalu tersenyum. "Raldin kenapa, tante?"

Tak lama, Dokter keluar dari ruang UGD dan berbicara sedikit dengan tante Maya sampai akhirnya beliau menghela napas lega dan masuk ke dalam ruangan. Tidak lama tante Maya masuk, seseorang keluar dari ruangan itu dan berhenti melangkah ketika menatap gue.

Tidak perlu ditebak. Dia Adam.

"Lex"

"We need to talk."

Adam mengangguk dan mengikuti gue duduk di ruang tunggu yang tidak ada orang. Suhu diruangan tersebut dingin menusuk, bersamaan dengan keberadaan Adam disana yang tidak gue harapkan sama sekali.

"Gue mau minta maaf, Lex." Adam membuka suara, gue memberanikan diri menatap matanya. "But, i'm in love with her."

Setelah mengatakan demikian, Adam menceritakan bagaimana perkenalan awal antara dia dan Raldin lewat social media. Semenjak itu pula, Adam merasakan sedikit nyaman yang belum pernah dia rasakan sebelumnya melalui perhatian Raldin. Dan ketika mereka bertemu, Adam tahu bahwa Raldin merupakan jawaban dari penantiannya.

Bagaimana dengan gue?

"Lex, lo kesalahan terindah yang pernah gue alamin. Terima kasih buat kita, but you deserve better."

Tanpa disuruh, gue menamparnya.

Gue tidak menangis.

"Such an asshole."

-----------

Author's Note :

Halo! Terima kasih telah membaca, telah menunggu, dan telah menulis pendapat di kolom comment. Thank you so much <3

Tiga chapter terakhir selain sebagai closure, gue buat menjadi suatu permulaan bagi Alexis. Entah permulaan untuk apa, silahkan ditunggu kelanjutannya.

Kemudian, gue akan menulis puisi di Steller. Silahkan berkunjung dikala sempat.

Here : https://steller.co/poragastra/

Pragata Oragastra

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang