Chapter Fourteen

6.3K 491 3
                                        

"Anggap aku darah. Yang selalu ada saat kau terluka."

-----
Alexis's POV

Entah udah berapa lama gue duduk di café tongkrongan deket sekolah gue tanpa berubah tempat duduk, dan ngacuhin orang yang seharusnya gue ajak ngobrol dari tadi.

Raldin sesekali ngelirik ke gue, dan geleng-geleng kepala. Udah sekitar dua jam gue dan Raldin duduk disini, menyibukan diri sendiri. Raldin ketawa-ketawa sambil terus natap layar laptopnya, sedangkan gue, bengong.

Gue gak tau apa yang gue pikirin, dan apa yang harusnya gue lakuin. Setiap gue memandang ke satu objek, mata gue seakan terpaku, dan fikiran gue mendadak kosong. Bahkan kadang Raldin ngomong, gue cuma mengangguk tanpa menangkap satu kalimat pun yang dia omongin.

Gue mengangkat cangkir kopi gue, hendak minum, tapi tangan gue seketika melemas dan meletakkan kembali cangkir tadi. Raldin berdecak, dan nutup layar laptopnya.

"Mending kita pulang deh sekarang." Katanya menunggu jawaban gue.

Gue mengedipkan mata gue berulang kali sampe akhirnya wajah Raldin terlihat jelas. "Ngomong apa tadi?"

Raldin membereskan laptopnya ke dalam tas, dan berdiri. "Lo gue anter pulang, sekarang." Katanya.

Gue menggeleng. "Dirumah sepi. Gue mau disini." Kata gue, seraya pelayan café bernama Adit yang gue kenal baik lewat disamping meja gue dan Raldin. "Gue disini agak lamaan lagi gapapa kan, Dit?"

Si Adit mengancungkan jari jempolnya. "Asal nambah minum." Jawabnya bercanda.

"Bikinin gue yang enak. Apa aja terserah lo." Kata gue ke Adit yang kemudian menerima orderan gue.

Raldin menggelengkan kepalanya ngeliat gue. "Segitu terpukulnya?" Tanya Raldin.

Gue mengangkat sebelah alis. "Apa yang terpukul?"

"Hati lo." Gue memutar bola mata dan mendengus.

"Mana bisa mukul hati gue. Belom pernah di belek gini." Protes gue.

Raldin melempar remasan tisunya ke gue. "Lo tau bukan itu maksud gue, Lex." Gerutunya. "Bukan berarti dia pindah, terus lo berdua jadi gak bisa berhubungan lagi. Lagian sesekali lo nanya kabar dia juga sah-sah aja."

Gue ngegeleng. "Gue sama sekali gak punya contactnya yang bisa dihubungin."

Raldin menepuk keningnya. "Lo bisa minta Kak Felix!" Katanya.

Gue mandang Raldin risih pas denger dia nyebut nama Felix dengan tambahan 'kak'. Semenjak Felix ngabarin soal ini, gue belum ketemu dia lagi buat nanyain soal Adam. Felix juga ngeliburin tim dari latihan hari ini. Dengan alasan istirahat dan nikmatin kemenangan.

Dulu, orang tua gue menanamkan sesuatu dari gue kecil. Kalimatnya sederhana. 'Jangan berbangga diri'. Katanya kalo kita diambang kebanggaan kemenangan, kita bakal lupa kalo kita gak selamanya menang. Kita bakal lupa kalo lawan kita juga mempersiapkan dirinya buat merebut kemenangan kita dilain kesempatan. Jadi gak ada istilah santai, adanya tetap fokus.

Adit datang dengan nampannya yang dibekali mug jar dan sepiring kue kering. "Bonus dari bos buat pelanggan cantik. Bukan lo, Lex." Katanya diiringi tatapan tajam gue mengecamnya.

"Thanks, Dit." Kata Raldin seraya si Adit pergi dengan siulan ceria. Siapa yang gak terpana ngeliat Raldin? Rambut panjang cokelat, kulit putih bersih, badan kurus, kaki jenjang, alis tipis, bibir yang selalu pink diolesin sejenis balsem wangi yang gue gak tau apa namanya.

Dibanding Raldin, gue lebih mirip pembantunya sih. Rambut gue hitam pekat sebahu, kulit sawo matang kebanyakan berjemur dilapangan, badan gue rata bagai triplek, kaki abas gak usah ditanya lah, alis gue tebel, bibir gue kering pecah-pecah. Lo bisa bilang gue, ancur gak terurus.

Gue membongkar tas buat nyari hp yang entah kapan gue liat terakhir kali, dan gue malah nemu amplop lusuh kecil yang udah sobek. Didalemnya ada wristband warna hitam, dan diamplopnya tertulis :

"I'll see you soon."

Gue melempar amplop tadi ke Raldin dan memakai wristband hitam di pergelangan tangan kanan gue. "Dari siapa?" Tanya Raldin.

Gue mengangkat bahu. "Mau sedekah kali itu orang sama gue. Gapapa deh, bagus." Jawab gue sambil melihat lingkaran wristband ditangan gue.

"Dari Adam, maybe?"

Gue ngelirik Raldin yang senyum-senyum sendiri tanpa berani berkomentar. Gak lama orang yang gak diharapkan datang, dan duduk dikursi samping gue. Dia meminum minuman gue sampai habis dan nyengir.

"Haus parah, Lex." Katanya.

Raldin bertopang dagu natap Getto yang kemudian berbalik ngeliat dia juga. "Lo tuh ganteng kalo sok ganteng." Kata Raldin.

Getto mengelus dagunya dan ngelirik gue. "Emang selama ini gue gak ganteng, Lex?" Tanyanya ke gue.

"Lo kebanyakan gerak."

Raldin ketawa dan Getto cemberut buang muka ke gue. "Sensi banget temen lo, Ra." Tungkas Getto ke Raldin. Seperti yang pernah gue bilang, orang-orang kenal Raldin dengan nama Gera yang membuat dia makin terkesan cewek. Emang cewek, sih.

"Dia lagi patah hati ditinggal sama anugrah terindahnya." Kata Raldin.

Getto nengok ke gue. "Lagu Sheila On 7 tuh, anugrah terindah." Katanya. "Siapa emang?"

Raldin berdecak. "Siapa lagi? Adam lah." Ceplosnya.

Getto seketika ngeliat gue tanpa ekspresi. "Lo baper setelah ditembak?"

Raldin membelalak ngeliat gue. "Ditembak? Lo ditembak, Lex?" Tanyanya histeris.

Gue menghela nafas. "Salah satu dari lo bisa gak usah bawel kayak ibu-ibu gosip, gak?"

"Tapi seriusan?" Tanya Raldin.

Gue hendak ngangguk, tapi Getto buka suara. "Menurut gue gak serius sih."

"Gak serius? Maksudnya gimana deh? Ceritain ke gue yang lengkap!" Perintah Raldin dengan intonasi ibu-ibu.

Gue cuma diam nunggu Getto ngomong. "Gue liat hpnya sering dapet missed call dari cewek."

"Siapa?"

"Tulisannya, Alexa."

------
Author's Note :
The hardest chapter to write. Bukan karena gimana-gimana tapi, notes yang gue simpen di hp, yang isinya rangkaian Rebound dari chapter one - sekian, ke delete.
Dan minggu ini juga, gue kehilangan orang-orang yang selama ini jadi support buat terus ngelanjutin Rebound. Beraaaat banget rasanya.
Mungkin feel Alexis gak dapet disini, but i promise you, next time.
Have a blast holiday❤️

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang