Chapter Twenty Three

5.6K 440 23
                                    

"Aku suka kalo kita lagi kayak gini. Diam, senyum tanpa alasan, sama-sama udah capek sama kegiatan kita seharian. Ini nyaman, saking nyamannya aku gak bisa berhenti bilang, aku sayang banget sama kamu."

Alexis's POV

Tok tok tok

"Lexie, you there?"

Gue menggulingkan badan menghadap ke arah pintu, berusaha mengangkat tubuh gue dengan segenap tenaga, tapi sulit. "Get in, Mom."

Nyokap gue membuka pintu, masuk ke kamar dan duduk disamping gue merebahkan diri. "Kamu kenapa? Capek?" Gue menganggukan kepala, tanpa membuka mata. "Mama kan udah bilang, mending kamu berenti basket. Kalo buat sekedar hobi gapapa, sayang. Tapi jangan sampe jadi beban kayak gini dong."

"Mah, jangan dakwah dulu. Aku pusing, laper." Potong gue diiringi cubitan nyokap dipipi gue.

"Ayo bangun, kita makan ditempat biasa."

"Mama gak masak?"

"Gak sempet, tadi banyak banget kerjaan. Boro-boro masak, ngurusin anak aja terbengkalai gini." Kata nyokap diiringi tawa kecil-lemas-tanpa tenaga gue. "Siap-siap, lima menit."

Dengan tuntutan rasa lapar, gue menguatkan diri untuk mengangkat tubuh gue dan berganti pakaian. Yah, meskipun pilihan outfit gue gak ada yang kece, at least mereka nyaman. Dari pada memaksakan diri tampil oke, tapi nyakitin diri sendiri. Nyakitin fisik, nyakitin batin.

Kayak, cewek-cewek masa kini yang merasa dituntut harus tampil cantik. Kenapa gue bilang dituntut? Well, buat gue cewek-cewek yang merasa dituntut tadi itu termasuk cewek-cewek kebelet punya gandengan. You see, men are visual. Dan bagaimana cara mendapatkan pria 'instan' adalah dengan menjadi terlihat seperti apa yang mereka harapkan. Mengabaikan kenyamanan diri sendiri demi memanjakan mata orang lain. Are you nuts?!

To those girls, please respect yourself.

Longsleeve hitam, ripped jeans, dan converse chuck taylor berusia 3 tahun cukup nyaman buat gue kenakan malam ini. Berpenampilan juga melihat tempat. Gue gak mungkin pake midnight gown dan stiletto ke tempat hangout yang ada live music seperti yang gue biasa datengin bareng nyokap bokap. Orang-orang mungkin bakal teriak, "Wey, salah kostum!"

Nyokap dan bokap gue gak ada yang protes mengenai pakaian yang gue kenakan. Like i said, yang penting nyaman.

Tempat makan lumayan ramai, dan live musicnya kali ini bergenre folk. Surga dunia buat orang-orang seperti gue. Dan ngeliat nyokap yang juga menikmati petikan gitarnya, sepertinya selera gue diturunkan dari dia. Menurut gue dan nyokap, musik folk itu dahsyat buat didengar, bukan dinyanyikan. Since, gue berdua gak suka nyanyi, musik ini bener-bener kita banget.

Kembali melihat-lihat sekitar gue, menyadarkan gue pada satu hal. Satu kenangan. Ini tempat dimana gue pertama kali ketemu Adam. Tempat pertama kali mata gue bertemu tempat yang begitu gelap untuk dipandang, tempat pertama kali hawa dingin terasa hangat.

Menoleh ke arah tempat gue duduk pada hari itu, lalu tersenyum. Siapapun orang yang sedang duduk ditempat itu sekarang makin terlihat seperti Adam. Hati memanipulasi pikiran pula, pikir gue. Tapi, semakin lama orang itu makin mirip Adam. Rambutnya yang hitam pekat dan acak-acakan, tulang pipi yang terpampang jelas, jari tangan yang panjang, dan kebiasaannya meremas tangan sendiri, semua mirip Adam!

Gue mengerjapkan mata, dan menyadari orang itu memang Adam. Kali ini dia tertawa dengan lawan bicaranya. Tawa yang belum pernah gue lihat sebelumnya, tawa yang tulus. Penasaran, gue memberanikan diri melihat orang itu.

Perempuan sebaya gue, kulit putih bersih, mata yang besar, rambut sebahu hitam pekat, mengenakan longsleeve hitam, ripped blue jeans, dan converse putih.

Berpikir sejenak, gue melihat outfit gue yang ternyata.... identical.

Mind blowing.

Who the hell is she?

Mereka tak henti membicarakan sesuatu yang terlihat sangat seru. Mereka seperti teman yang sudah lama tidak bertemu. Like, you don't really care about your surroundings. The world is ours. Tertawa, senyum-senyum tanpa alasan, kemudian beralih serius.

Dan Adam menggenggam tangannya.

Raldin's POV

Gue jatuh cinta. Dan, jatuh terlalu dalam.

Pikiran gue penuh dengan Gav. Perlakuannya, perhatiannya, dan juga janjinya. Gue bersyukur jika akhirnya dapat dipertemukan dengan Gav. Setelah itu, tidak ada lagi yang dapat mengganggu pikiran, menyayat batin gue. Tapi, sanggupkah gue mengetahui siapa Gav sebenarnya?

Bagaimana bila Gav tidak sesuai dengan ekspektasi? Bagaimana jika gue hanya mencintai suaranya? Bagaimana jika perlakuannya berubah setelah bertemu? Bagaimana jika dia tidak menerima siapa gue sebenarnya? Takut, bimbang.

Gav, i'm scared of losing you.

Menekan tombol send, dan gue merasakan kedua tangan gue gemetar hebat. Melempar handphone gue jauh-jauh tepat ketika sms balasan dari Adam sampai.

You won't. I can't bear living a day without you. I never felt this way to someone before, if you were me, would you let go?

Me : No.

Gav : Then, what makes you scared?

Me : The fact that you'll left when you know the real me.

Gav : Falling in love with you is loving everypiece of you, including your flaws.

Me : Umm, so that means?

Gav : Isn't it obvious? I'm in love with you. And knowing your doubts of me makes me feel wanna hug you so tight till those bad thoughts of me would leave that heavy head of yours.

Me : Gav, i'm being serious right now.

Gav : I am serious. I'm into you, peach.

Tersenyum, dan merasakan semua masalah yang gue khawatirkan tadi sirna. Semudah itu.

Pagi disekolah dimulai seperti biasa. Menangkap Alexis tidur pulas tak bernyawa diatas meja. Wajahnya yang tak terkontrol saat tidur itu membuat gue membiasakan diri menutupnya dengan berbagai macam kain. Termasuk hari ini, taplak meja guru yang udah sebulan gak dicuci. I have no other option!

Sembari menatap Alexis, semakin gue sadar kalo gue gak seharusnya ngambek sama dia kemaren. Well, gue kesel karena dia menutup kesempatan tentu saja. Sebagai teman dari jaman kami pake jam dari majalah bobo bareng, gue pengen yang terbaik buat dia. Tapi mungkin, yang terbaik buat gue belum tentu baik buat dia. Dia punya pilihan. Dia punya prinsip.

"Ngapain orang tidur diliatin?"

Gue menoleh, dan mendapati Adam sudah datang dengan wajah segar seperti biasa. Dia menatap Alexis, lalu tertawa. "Gak ilfeel kan, Dam?" tanya gue.

Adam mengerutkan dahi, lalu menggeleng. "Gue juga gak tau apa yang mestinya hilang."


ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang