"Mengapa dipertemukan walau tahu akan dipisahkan? Disitulah saatnya kau tahu bagaimana rasanya mencintai dengan ketulusan."
----
Alexis's POV
Saat bangun tidur pun, yang pertama kali terlintas dibenak gue cuma dia. Dia dengan satu kata yang mampu membuat bibir orang seperti gue kelu gak bergerak. Seakan semua kata-kata yang sudah dirangkai sedemikian rupa, sirna. Hilang, gitu aja.
Jantung gue berdegup dua kali lebih kencang setiap wajah dia terbayang. Dan bibir tersungging konyol ketika suaranya terekam ulang difikiran tanpa diminta. Ada apa dengan gue?
Menggelengkan kepala dan beranjak bangun dari tempat tidur untuk berangkat sekolah saja sekarang jadi kegiatan yang paling semangat gue lakukan. Tanpa sadar langkah terpacu lebih cepat, rasa malas tersapu bersih, dan hati seakan berkata kepada tubuh gue untuk lebih cepat dipertemukan dengan..
"Lex, cuci piring." Joshua menyodorkan piring kotornya ke arah gue, dan tanpa ragu gue mengambilnya.
Kemudian gue mencuci kedua piring kotor milik gue dan Joshua, lalu kembali duduk di meja makan. Joshua memandang gue dengan ekspresi meledek namun heran.
"Josh, lo barusan nyuruh gue nyuci piring lo?" Tanya gue memastikan.
Joshua tertawa terbahak-bahak sembari menepuk-nepuk pundak gue. "Lo kenapa, nyet? Kesambet? Biasanya nyentuh piring bekas gue makan aja ogah, ini dicuciin."
Gue memegang kening gue menahan tawa yang diperuntukan untuk kebodohan gue sendiri, dan menunduk terkulai. Lalu, bibir gue tersungging tanpa diminta. Entah udah berapa kali gue senyum tanpa alasan hari ini.
"Abis ditembak Adam?"
Gue mendongak, menjitak kepala sahabat gue satu itu dan beranjak dari kursi. "Udah, ayo jalan. Telat." Kata gue sembari menarik kerah bajunya.
Masih dengan rutinitas sehari-hari gue yang mayoritas dihabiskan dengan Joshua, dari sarapan pagi pun sama dia. Berangkat sekolah bareng Joshua, pulang sekolah bareng Joshua. Kalo orang bilang suatu saat kita akan pacaran, itu gak bakal terjadi. Bukan karena gue membenci Joshua, tapi udah mati rasa.
Ada saatnya kita semua tau perbedaan rasa sayang yang diperuntukkan.
Suasana sekolah masih ramai seperti biasa, dengan berbagai kelompok-kelompok yang mengerubung membicarakan hal-hal gak penting lainnya. Muak gue liatnya.
"Josh, gue duluan." Kata gue seraya mengeluyur masuk ke sekolah, meninggalkan Joshua yang masih berbincang dengan beberapa anak fotografi yang selalu mangkal didekat parkiran.
Kenapa gue bilang mangkal?
Definisi mangkal buat gue itu adalah suatu kegiatan yang didasari dengan menunggu akan sesuatu. Contoh, angkutan kota yang suka berhenti di pinggir jalan dengan sang 'kenek' melambai-lambaikan tangannya ke arah orang yang sedang berjalan sembari meneriaki jurusan yang akan dilalui angkutan tersebut."Senen! Blok M! Ayo neng, kosong neng!" Tanpa sadar gue menyeru-nyerukan apa yang ada di pikiran gue dan mendapati mata yang gue kagumi itu memandang gue aneh lalu tertawa terbahak-bahak.
Entah kenapa padahal dia yang tertawa, tapi gue juga seperti dituntut untuk bahagia ketika dia bahagia.
"Narik kemaren neng? Setoran kurang emang?" Tanya Adam dengan ketawa jailnya menyusul di akhir kalimat.
Gue hanya mengacungkan jari tengah sembari menahan malu atas tindakan konyol gue, lalu menggeluyur keluar kelas. Ya, seorang Alexis gak betah lama-lama ada dikelas. Selain sumpek, berisik dan ngebosenin, kadang berada di kelas itu kayak merelakan diri lo mengikuti suatu ajang berbisik yang biasanya disebut gosip. Entah kenapa gosip yang selalu dilakukan ini gak pernah keabisan topik. Hebatnya wanita.
"Pertanyaan gue gak dijawab."
Gue menoleh ke samping dan mendapati Adam bersender di tiang balkon menghadap ke koridor, namun menatap gue. "Setoran lancar?" Tanyanya sekali lagi.
Gue terkekeh menertawakan diri sendiri, lalu memukul lengan Adam dengan ketidak-anggunannya. "Pagi-pagi gak usah rese."
"Kenapa gak boleh? Takut luluh sama ke resean gue ya?"
Gue mengerjap, dan memasang tampang jijik seadanya. Adam masih tertawa sambil ternyata menunggu jawaban dari pertanyaannya.
"Terus kapan jadian?"
Felix datang tanpa diminta, menghampiri tanpa disuruh, dan berbicara tanpa diizinkan. Dia berdiri disamping gue setelah menyalami Adam. "Kapan gue dapet kabar lo berdua jadian?" Tanyanya.
Gue hendak melerai percakapan gak penting ini, ketika Adam justru terlihat tenang-tenang aja mendengarnya. "Soon, perhaps?" Jawab Adam.
"I don't like the answer." Ucap Felix.
Gue bagaikan patung diantara mereka berdua saat ini. Pembedanya, gue bisa bicara tapi tidak dipersilahkan untuk bicara.
"You don't?"
"Actually, what are you waiting for?"
Adam mengangkat bahunya, lalu memalingkan wajahnya ke gue. "Ganti topik," perintah gue.
Makhluk indah ini justru tersenyum, dan meraih tangan gue, menggenggam tangan kiri gue dihadapan kita berdua.
I'm about to explode.
"Be my girlfriend, will you?"
-----
Author's Note :Thank you so much for reading my work. I've been distracted for months and finally realized i had a thing called responsibility to be done quickly, including continue writing.
Besides writing, i also love to take some pictures. So, if you wouldn't mind, please check out my instagram account.
Here : https://www.instagram.com/terselamatkan/
Have a wonderful life, and i'll see you on Chapter Twenty Two!
Nyx.
Anyway, does anyone know how to heal a broken heart?

KAMU SEDANG MEMBACA
Rebound
Teen FictionNama gue Alexis. Gue suka banget basket. Dalam sehari, gue bisa latihan sampe tiga jam setelah pulang sekolah, kadang lebih. Itu gak termasuk tanding setiap istirahat sama senior. Kecintaan dan skill gue inilah yang meluluhkan hati kapten tim basket...