Chapter Seventeen

5.7K 523 4
                                        

"Ada saat dimana orang yang terdekat justru perlahan menjauh, tanpa memikirkan bagaimana yang telah ditinggalkannya."
------

Alexis's POV

Felix itu suatu program yang terjadi kesalahan mekanis disekitar otaknya. Meskipun udah ngebohongin gue, yang dia lakukan sekarang hanya cengar-cengir sambil merangkul gue.

Mata gue gak bisa lepas dari orang yang duduk dipusat kerubungan anggota basket, yang masih memandang mata gue. Kemudian dia senyum.

Hati ini terasa mencekat. Pipi mulai terasa panas, dan lengan gue tiba-tiba nyeri. Gue nengok ke lengan sebelah kanan gue yang ternyata di cubit-cubitin sama Felix.

Manusia gak tau diri ini masih senyum polos ke gue meskipun sorot mata tajam gue menghujamnya. Tanpa basa basi, gue narik kerah bajunya dan ngangkat dia dengan satu tangan. Satu hal yang paling menjijikan dari Felix adalah, dia takut ketinggian. Padahal dia 183cm.

"Lo bohongin gue, Lix."

Felix menjerit-jerit minta ampun ke anak basket disamping gue, tapi gak ada satupun dari mereka yang bahkan berniat buat ngebantu Felix. Mereka malah tertawa menikmati pertunjukan.

"Dam!" Felix akhirnya menyebut namanya.

Adam hendak berdiri, tapi tangan gue menigsyaratkan dia untuk tetap diam. "Adam? Bukannya dia pindah ke Makassar, Lix?" Tanya gue sekaligus memancing penjelasan.

"Maafin gue Lex, gue iseng. Gue pengen ngeliat reaksi lo kalo seandainya bener kejadian. Please, maafin gue." Pintanya seperti bayi merengek minta dibelikan mobil-mobilan.

Gue mendengus. "Kayak gini reaksi gue. Masih mau ngebohongin lagi?"

"Enggak! Please turunin gue!" Jerit dia langsung, mungkin gak pake mikir lagi.

Bukannya menurunkan badannya perlahan, gue langsung ngelepas cengkraman gue pada kerahnya, dan dia jatoh tersungkur. Anak basket bertepuk tangan membanggakan keahlian gue membuat Sang Kapten pipis dicelana.

Pas gue memutar balikkan badan gue, mata itu masih disana menatap kembali kedua bola mata gue dengan senyuman yang tidak bisa dideskripsikan kata-kata.

"Woy! Ngeliatinnya dihayatin banget, hehehe. Kangen lu ya?" Fahri mulai meledek dengan suaranya yang melengking.

Gue ngejitak kepalanya, dan berusaha menutupi senyuman merona gue. "Jangan merah gitu dong, Lex." Tambah Evan.

Gue hendak meninju perut teman gue yang satu itu, pas Adam berdiri sambil menggemblok kembali tasnya di bahu kanan. Kemudian dia jalan ke arah gue, dan ngerangkul gue di sebelah kirinya. "Anter gue ke kelas, oke?"

Gue terkujur kaku, keluar kelas bareng Adam sambil diteriaki anak basket dengan ledekan gak berguna yang dengan mudahnya membuat rona dipipi gue makin terlihat jelas.

Ngeliat cengkraman lembut telapak tangan Adam di bahu gue, membuat gue merasa lega dan nyaman sekaligus menjadi satu. He's here.

Felix's POV

Gue kian mengusap-usap bokong gue yang masih nyeri, sambil berusaha berdiri tanpa ada satupun anak buah gue yang berniat ngebantu. Mereka malah tertawa penuh kemenangan.

"Masih sakit, Capt?"

Gue menatap Fahri yang menunjukan tatapan simpati yang dibuat-buat, kemudian melipat kedua tangan gue didepan dada, menatap mereka semua tanpa menyunggingkan senyum sedikitpun.

Tanpa perlu digertak, melihat gestur gue pun mereka bisa ngerti kalo sekaranglah waktu kita serius. "Gue mau lo semua sampe di gudang olahraga pas pulang sekolah hari ini, tanpa terkecuali." Perintah gue.

"Ada yang harus diomongin, Capt?" Ilyas, anggota paling diam mulai mengeluarkan suara untuk hal-hal penting.

Gue mengangguk. "Ada yang gak bisa?"

Getto hendak mengangkat tangan, tapi ditahan oleh hujaman mata Joshua yang jauh lebih bahaya dari pada racun kodok. "All good, Capt." Sahut Joshua kemudian.

Gue mengangguk kecil, dan hendak berjalan keluar kelas, sampai Getto berdeham. "Alex perlu dikabarin?"

Gue menggeleng. "Biar dia istirahat dulu."

Gak perlu diperjelas gimana perasaan Alex hari ini. Dan gue gak mau jadi orang yang ngancurin kebahagiaan dia lagi. Dengan langkah gontai, gue keluar kelas dan menuju gedung kelas 12 tempat dimana gue menjadi diri gue sendiri.

Steven, ex-captain tim basket nyapa gue sambil menahan pundak gue. "Gimana? Udah siap ninggalin anak buah lo?"

Gue berusaha santai, dan kemudian mendengus. "Udah bukan urusan lo lagi." Jawab gue kemudian melanjutkan langkah yang entah menuju kemana.

Gue salah satunya anak kelas 12 yang masih stay di tim. Alasannya gak lain dari, Alex. Gue adalah orang yang bertanggung jawab atas dia, untuk nunjukin ke semua orang kalo dia berhak di tim inti. Dan setelah pertandingan kemarin, gue ngerasa dia udah gak butuh figure seorang Felix yang selama ini dia tau.

Dengan ini, gue memutuskan untuk keluar dari tim.

ReboundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang