"Percayalah, merelakan untuk orang lain jauh lebih menyakitkan dibandingkan ditinggalkan demi yang lain."
----
Adam's POVNo matter how hard i tried
How beautiful that person is
How attractive she is
How overwhelming when she moves
How fast my heart beating when she's around
How desperately i wish she could stay
How pathetic i wish i could stay
She's still not the only one.The other one force me to stay away
While she makes me wanna stay so bad
The way she act to hide all of her feelings
The way she pushed me away
My heart keeps on staying
Don't even care about the risks of being with her
I'll take it all the way
I'll make her fall
And never make her stand up for leavingThe other one keeps on telling me to go back home.
Alexis's POV
Laptop gue seketika mati di adegan paling dramatis di film The Longest Ride. Dari pulang sekolah sore tadi, gue movie marathon dikamar dengan bahan asupan yang lebih dari cukup sampe nanti malem. Ternyata laptop gue ngambek, dan memutuskan kemesraan kami di tempat tidur.
Gue baru mau jalan ke kamar mandi, pas pintu kamar gue kebuka, dan Joshua masuk. Dia celingak celinguk tanpa menyadari gue berdiri didepan pintu kamar mandi. "Josh!"
Joshua menjerit dan melompat ke kasur gue. "Gue mati kaget lo siap gue gentayangin hah?!" Bentaknya kesal.
Gue ketawa dan masuk ke kamar mandi buat buang air kecil, dan balik nyamperin Joshua yang lagi mencet-mencet tombol power di laptop gue yang masih ngambek.
"Kok gak mau nyala?" Tanya Joshua sambil menekan tombol tadi lebih keras.
Gue memukul tangannya, dan menarik laptop gue menjauh dari Joshua. "Lagi ngambek gue ajak movie marathon." Jawab gue.
Joshua ngangguk-ngangguk. "Lo ngapain kesini? Minta cemilan lagi?" Duga gue sambil narik kaki Joshua turun dari kasur.
Joshua ngegeleng sambil meronta-ronta melepaskan tangan gue dari pergelangan kakinya. "Biarin gue numpang bentar dong disini. Tetanggaan pelit amat lo."
Pasrah dengan kalimat hujatannya, gue senderan ke tembok, melipat kedua tangan gue di dada dan memperhatikan teman semasa hidup gue yang juga berbalik ngeliat gue dengan tatapan serius, sampe akhirnya gue buang muka merasa jijik.
Joshua duduk, dan nepuk-nepuk kasur gue disebelahnya. "Sini, lo keliatannya butuh belaian banget." Celetuknya dengan cengiran iseng.
Gue menghempaskan diri gue di kasur, sementara Joshua gak bergerak satu incipun. Dari dulu, gue gak pernah sungkan ataupun malu sama Joshua. Keberadaanya dia dimana pun selalu bikin gue nyaman. Begitu pula menurut dia.
"He's not even saying goodbye." Kata gue lirih.
Joshua senyum tipis, dan gue duduk bersila menghadap dia. "Jadi dari kemaren lo gak semangat latihan gara-gara Adam?" Tanya Joshua.
Gue mengangkat bahu. "Josh, lo ngerasa gue agak lebih melankolis gak sih sekarang?" Tanya gue meminta pendapat.
Joshua ngangguk antusias. "Tau gak kenapa?"
"Kenapa?"
"Soalnya lo lagi jatuh cinta." Jawabnya sambil ngelempar senyuman iseng yang selalu dia kasih setiap ngeledek gue.
Gue ngelempar guling ke mukanya. "Jangan ngaco. Gue bukan abege."
Joshua ketawa. "Gak usah sok tua, dah lo. Jatuh cinta mah wajar. Kalo lo malah telat, harusnya udah dari kapan tau naksir-naksiran, ini baru sekarang." Gerutunya sambil ngelempar guling tadi ke muka gue.
Gue garuk-garuk kepala yang sebenernya gak gatel, terus diem mandang lurus mata Joshua. "Keliatan banget ya?" Tanya gue.
"Depresinya? Iya." Jawab Joshua.
Gue berdecak kesal meninju tempat tidur, disaksikan Joshua yang kemudian megang bahu gue. "Apa?"
"Jangan membebani diri sendiri. Jatuh cinta itu gak harus disesali, Lex. Banyak cara buat lo tetep komunikasi sama Adam, at least cuma untuk memperjelas apa yang belum jelas." Tutur Joshua sembari mendorong gue pelan sampai punggung gue menyentuh tempat tidur, dan ngelurusin kaki gue, gak lupa narik selimut sampai ke leher gue.
Dia nyalain lampu tidur, dan beranjak bangun ke arah pintu. "Sleep well, Lex." Kata Joshua sambil mematikan lampu kamar gue.
"Thanks, Josh." Kata gue sampai akhirnya Joshua senyum dan nutup pintu kamar.
Gue mencerna kembali omongan Joshua, untuk sedikit menerima perasaan gue yang entah gimana jelasinnya. Gue kecewa, dan bingung juga. Kalau pun dia memang harus pergi, setidaknya kasih gue kepastian untuk gak pernah nunggu. Atau, jangan pernah kasih gue kesempatan buat jatuh hati ke dia.
Gue memandang ke wristband yang melingkar di pergelangan tangan kanan gue, dan tersenyum. Perlahan, nafas terasa semakin mencekat, dan jantung berdetak lebih cepat.
Sebelum memejamkan mata, gue menyebutkan satu harapan yang sangat gue harapkan terkabul.
If he could stay a bit longer.
----
Author's Note :
Don't blame me for updating so long, cause it only takes hours to get this one done.Seorang teman menyarankan untuk menuangkan kisah pribadi ke dalam Rebound. Dengan banyak pertimbangan, keperihan (😂💔), serta ketulusan hati, hanya sedikit yang ditulis berdasarkan apa yang sedang terjadi.
Believe me, kalo hanya satu yang berjuang sementara yang lain menunggu untuk diperjuangkan, berhenti. Sesuatu akan lebih tulus terjadi, apabila keduanya berjuang untuk satu tujuan yang sama.
Have a lovely summer x
Nyx.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rebound
Teen FictionNama gue Alexis. Gue suka banget basket. Dalam sehari, gue bisa latihan sampe tiga jam setelah pulang sekolah, kadang lebih. Itu gak termasuk tanding setiap istirahat sama senior. Kecintaan dan skill gue inilah yang meluluhkan hati kapten tim basket...