Aku ingat mentari hangat menerpa rambutku di pagi itu, di saat kicauan burung berkumandang dan tawa seluruh siswa-siswi SMA-ku menggelegar di sepanjang sekolah. Aku menghela nafas dalam, bersiap untuk berbaur ke tengah keramaian dan mencoba menyesuaikan diri.
Pagi itu benar-benar cerah dengan kilauannya yang menyengat, membuat pantulannya sendiri dari genangan air ataupun bangunan sekolah. Kupejamkam mata setiap kali terpaan cahaya putih berhasil mengenaiku, layaknya senter yang sengaja diarahkan padaku dan membutakanku.
Kudongakkan kepala ke cerahnya pagi hari, mencoba untuk tenang dan melupakan serangkaian perasaan yang melebur menjadi satu di tubuhku, ketegangan. Kuhela nafas, harus ketenangan yang menyergapku bukan kecemasan ataupun ketegangan, aku perlu menenangkan diri jika ingin berteman.
Ya, kuceritakan kisahku yang bermula pada hari pertama sekolah di SMA pilihanku, tampak kentara sekali gugup. Aku ingin membuat tali pertemanan di sini dan mendapatkan kenangan SMA yang menyenangkan dengan gelak tawa. Satu dua, aku melirik ke sekeliling untuk bertatapan dengan siswi kelas atas, kakak kelas. Namun, tidak tampak siswa-siswi baru yang gugup sepertiku.
Kucoba untuk menggerakkan kaki dan menghampiri seseorang di sisiku, siapa tahu ia ingin berteman denganku. Gadis yang kutemui berwajah manis dan berparas elegan, seragam putih-merah sekolah dengan rok merah garis-garis nampak pas untuknya. Rambut hitam pekat yang disanggulnya tertepa cahaya mentari, membuatnya bersinar misterius. Mungkin gadis ini tipe penyendiri yang tidak memiliki teman karena tertutup.
"Hai, boleh berkenalan?" sapaku kepadanya, membuatnya mendongak mendengar perkataanku. "Aku juga siswi baru di sini, namamu siapa?"
Awalnya gadis itu hanya menatap kosong ke depan tanpa terlihat memperhatikanku, kentara sekali mengabaikanku. Maka di saat malu hampir menyelimutiku, aku berniat berbalik dan pergi ketika lengannya menggapaiku. Tubuhku sontak kehilangan keseimbangan dan hampir terjengkang ke belakang jika gadis itu tidak menangkapnya, gerakannya mantap sekali.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya dengan suara khawatirnya yang manis. Rambut sanggulnya bergoyang-goyang dengan lucu seiring wajahnya bergerak, mendongak dan menunduk demi memperhatikanku. "Maaf mendiamkanmu tadi, aku hanya gugup bertemu teman baru."
Teman... Tanpa sadar aku tersenyum selagi ia membiarkanku berdiri tegak dan menghadapnya. Mata hitam kelamnya tampak malu-malu yang membuatku gemas melihatnya.
"Namaku Lala, salam kenal." Matanya kini menatapku dengan tegas, mengeluarkan rasa gugupnya ketika berhadapan denganku. Ia sangat imut dengan perangainya yang manis, membuatnya nampak bagai primadona. Aku yakin Lala ke depannya akan menjadi pujaan hati laki-laki dan menimbulkan keiirian dari para perempuan. Hingga saat itu, semoga aku dapat mendampinginya dan menjaganya selagi kami memperkuat ikatan tali pertemanan.
"Lala, mari menapaki panggung kehidupan di SMA ini sebagai teman." Gadis yang kupanggil dalam selipan kata-kataku mendongak, mengangguk dengan malu-malu. "Ayo periksa kelas, semoga sama."
Maka kami berdua pun mulai beranjak memasuki koridor sekolah. SMA ini berwarna kuning tua, dipenuhi tumbuhan dan pot di sepenjuru tempat sejauh mata memandang. Lantai marmer menghiasi lantai dengan kilaunya yang memikat, memantulkan cahaya ke sekelilingnya. Ruang kelas terlihat cukup besar ketika aku melangkah melewati salah satu ruangan, menengok lewat jendela. Meja kayu beserta kursi berbahan sama memenuhi ruangan, menyisakan ruang yang cukup untuk meja guru di depan kelas. Meja guru tampak kokoh dengan ketinggian di atas siswa-siswi, mencerminkan kuasa pengajar dan untuk mempermudah menyampaikan pelajaran.
Seseorang menyenggolku. "Hey, itu kelas untuk siswa dan siswi dua belas, kita masih sepuluh. Maka dari itu, ruang kelas kita akan berada di lantai teratas," ujar Lala kepadaku, kepalanya dicondongkan ke arah ruang kelas yang sebelumnya kuperhatikan. "Mari kita ke lorong dalam, di sanalah kertas-kertas pemberitahuan mengenai lokasi kelas dan siapa di dalamnya selama setahun disampirkan."
Aku mengangguk ke arahnya. Kami melangkah maju menyusuri lorong kelas dua belas menuju papan pengumuman. Dalam hati, aku berharap agar dapat satu kelas dengan Lala, tentu rasanya menyenangkan bersama seseorang yang kukenal setahun ini.
Lala menarik tanganku menyusuri keramaian, menabrak siapapun yang menghalangi jalannya. Gadis itu berusaha menerjang ke depan, menarik para siswa-siswi baru untuk menyingkir dan membiarkannya maju bersamaku. Gapaiannya selalu tepat mengenai seragam targetnya dan menariknya mundur. Desisan kesal membahana di sekitarku selagi ia mendesakkan diri maju, ada pula yang mengikutinya dengan kuat.
Ketika kami telah maju ke depan, mataku kupaksakan untuk memindai namaku dan Lala. Aku tahu tidak mengatahui nama panjang gadis manis itu, tetapi mataku tetap menyusuri demi mencari namanya. Kutemukan nama dengan Lala di dalamnya, tetapi apa kuasaku untuk tahu itulah yang tepat. Lala di sampingku tetap mencari namanya, menggigit bibir tegang karena takut tidak sekelas denganku.
"Apa namamu Lala Permata Putri?" tanyaku dengan menggunakan nama yang kutemui di kertas pengumuman. Lala di sampingku dengan tegas mengangguk, penasaran dari mana aku mengetahuinya. "Aku menemukannya, kamu berada di kelas 10 A."
"Bagaimana denganmu? Apa kita sekelas?" Wajah penasaran Lala menegang, ingin tahu dan takut mendengar jawabanku di saat yang sama. "Namamu siapa?"
Aku tersenyum simpul. "Nama tidaklah penting, apalagi masa lalu, yang paling utama ialah kebersamaan dan perasaan kita. Ayo menyingkir dari sini dan membiarkan orang yang kamu tarik tadi menggantikan posisi kita, karena aku telah mengetahui kelasmu dan juga diriku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Ragaku
FantasyTidak perlu kusebutkan namaku. Abaikanlah pula masa laluku. Karena yang terpenting nanti aku akan memilih opsi. Satu akan memperkuat jati diriku sebagai Iblis. Atau satu lagi Yang akan mengembalikanku menjadi diriku yang dulu. Apapun pilihanku, aku...