4. Namanya Rufus

35 2 0
                                    

Seharusnya aku tidak pernah ke mari, sungguh kesalahan fatal aku melakukannya.

Baru semenit silam aku mengalami saat-saat yang sangat jarang dimana aku bisa tertawa lepas dan tersenyum senang, mengapa sekarang harus tertunduk penuh duka?

Aku tahu ini yang terbaik, kata-kata itulah yang juga disampaikan Mei kepadaku. Namun bila jadinya harus begini, sama seperti beberapa hari silam saat aku pertama kali bertemu Mei, aku berpikir lebih baik aku tidak perlu mengetahuinya. Jika hanya kesengsaraan dan penderitaan yang muncul hanya dengan kembalinya memoriku, malah semuanya secara bertubi-tubi, lebih baik aku lupakan saja semuanya dan hidup dengan tenang walaupun tidak tahu apa-apa. Lebih baik melupakan segala hal yang membuatku sadar mengapa aku menjadi aib, orangtuaku meninggalkanku dengan kesalahan mereka di bahuku, diasuh oleh mama papa angkat, dan mengapa aku harus ditarik Arsani ke dunia iblis setelah sekian lamanya di alam manusia. Aku tidak peduli, aku hanya ingin tersenyum dan bahagia. Apakah permintaanku terlalu banyak?

***

"Jadi sungguh ada orang yang bisa mengembalikan memoriku lagi, Mei?" tanyaku selagi kami berdua lari menjauhi rumah mewah yang sebelumnya kami gunakan untuk terlelap dan sarapan. Rookie dengan santainya berbaring malas-malasan di semacam tas kain yang kuambil dari lemari wanita pemilik rumah tadi. "Aku masih tidak percaya dengan perkataanmu tadi!"

Mei tetap berlari di depanku tanpa menunjukkan tanda-tanda akan berhenti dan menjelaskan lebih lanjut tujuan kami sekarang, tetapi aku tidak begitu kesal. Ada seseorang di antara bejibun banyaknya yang bisa mengembalikan apa yang sudah direngut dariku, memori yang awalnya niat kulupakan karena kukira takkan kembali lagi. Namun baru beberapa menit yang lalu, Mei mengatakan bahwa seseorang bisa mengembalikannya lagi kepadaku, betapa girangnya aku mendengarnya hingga tidak peduli detailnya.

"Hei Rookie, kalau aku bisa tahu semuanya, pasti tidak akan ada lagi penyesalan, ya?" kataku kesenangan sembari menoleh pada Rookie yang balas menatapku dari balik retsleting tas. "Aku bisa mengetahui segalanya cepat atau lambat, betapa menyenangkannya! Aku jadi bingung mengapa diriku dua hari silam menolak mengingat, mungkin karena dia begitu frustasi."

Aku masih tersenyum girang kepada anjing manisku sebelum Mei berdeham. "Bukan maksudku menghanguskan tawamu, tetapi aku tahu jawabanmu, Tara." Aku menaikkan sebelah alis meskipun dia tidak akan melihatnya. Namun tetap saja, apa yang dia ketahui tentang diriku yang bahkan aku saja lupakan? "Kau menangis saat itu, di taman Neah, karena sebuah ingatan yang menusuk relung hatimu. Tentang betapa satu ingatan saja dapat mengiris hatimu, padahal masih banyak yang perlu kau ingat membuatmu frustasi dan sempat berkata lebih baik lupa daripada menjerit sedih karena ingat."

Aku masih terdiam hingga dia tertawa pelan. "Emosi memang lucu. Betapa abstraknya dia hingga satu perkara bisa dengan mudahnya membuat seseorang menangis tersedu-sedu, hingga beberapa saat kemudian tertawa karena hal yang sama. Tidakkah kau pikir itu lucu?" Mei menoleh sesaat ke arahku di belakangnya dan aku segera memanfaatkannya dengan mengangkat bahu. "Yah, kalau menurutku sih lucu. Apalagi tentang tuhan yang menciptakan manusia, iblis, dan malaikat, padahal sang pencipta pasti tahu tidak akan ada perdamaian di antara kita. Entah tuhan itu pembunuh karena menciptakan mahkluknya untuk berperang satu sama lain, ataukah sang pencipta itu guru yang bijaksana karena menuntut kita untuk menarik pembelajaran di antara kehidupan yang kejam ini."

Aku mendengus. "Bisa-bisanya kau bilang tuhan pembunuh."

Mei terlihat tidak peduli. "Aku memang bilang itu, tetapi setelahnya kukatakan padamu bahwa tuhan bisa saja guru yang bijaksana, bukan begitu?" ujarnya dengan tegas meskipun dia tahu aku bisa saja mengabaikannya. "Karena tuhan pasti sudah memikirkan segalanya matang-matang. Aku tahu tuhan pasti sengaja menciptakan ras-ras yang berbeda, entah itu manusia, iblis, maupun malaikat, agar kita saling mengenal dan membantu satu sama lain di atas kebeda-bedaan."

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang