"Namaku Rufus."
Entah mengapa nama itu tidak membuatku tersentak karena mengenalnya yang membuatku menciut seketika. Kukira walaupun hanya karena sebuah nama, memoriku bisa mencari cara untuk mengenalnya. Namun kenyataan senantiasa menjatuhkan kita. Hanya yang terkuatlah yang selalu menang.
"Um, aku Tara?"
"Seingatku dia sudah tahu." Ivan merelaksasikan kepalanya dan mengangkat bahu. "Asal kau tahu saja."
Aku memutar bola mata. "Jadi, sepertinya urusan kita tidak perlu berbasa-basi?"
Rufus langsung mengangguk. "Benar-benar persis, kau pasti Tara Fascienne." Aku mengerutkan dahi mendengar ucapan pria lusuh itu. "Mari ikuti aku, Tara."
Rufus seketika berbalik lantas berjalan cepat menjauhi aku dan Ivan-haruskah itu panggilannya sekarang?- yang detik itu juga sontak mengekornya. Kami berhenti baru setelah berbagai belokan di rumahnya yang ternyata cukup panjang walaupun lusuh, dan menemui jalan buntu dengan adanya tembok di sana. Sebelum aku maupun Ivan sempat bertanya, Rufus langsung menggerakkan tangannya ke dinding dan menempelinya. Aku sempat ingin mendecakkan lidah, apa-apaan pula yang sedang dilakukannya, dia hanya mengulur ulur waktu, dugaku sebelum jarinya berpancar merah, bukan, itu semacam sensor yang memunculkan warna bila disentuh orang yang tepat. Lantas tanpa babibu, sebuah pintu tergeser-lebih tepatnya tembok itu sendiri-, seperti sebuah pintu lift yang membuka.
"Tidak buruk," bisik Ivan dari belakangku. Aku hanya mengangkat bahu.
"Meski ini dunia buatan dan aku hanya kloning, mereka takkan mengalahkan otak ini dan menipuku, membuatku percaya seolah-olah aku ini asli," ujarnya yang membuatku terkagum sebentar. "Karena demikian, aku mengenalmu dan tentunya tahu mengapa kau di sini."
"Dari mana kau sekiranya punya ide menjadi kloning?" tanyaku.
"Bukan ide tapi kesadaran, dan bukan menjadi tapi adalah kloning." Itu tentunya bukan jawaban yang kuinginkan, tetapi aku tetap mengangguk meskipun kesal. "Tentunya kau sadar bila orang-orang di sekitarmu tiba-tiba lupa hal penting kecuali status."
"Um, maaf?"
Sensor di tangan Rufus sudah lama membuka tembok di hadapan kami, tetapi tidak terlihat ada tanda-tanda dia akan bergerak masuk dan menunjukkan mesin yang dimaksud. Mungkin dia sedang merangkai kata akan pertanyaanku, atau sekedar ingin bersikap misterius.
"Apa kau sadar bahwa orang-orang di sini hanya mengenal diri mereka sendiri dan orang-orang tertentu? Seperti diberi semacam memori tetapi tidak terlalu luas, atau hanya sekedar hal terpenting." Aku sedikit bingung mengenai perkataannya, tetapi setelah mengingat Neah dengan reaksinya kepadaku, aku sedikit paham dan mengangguk. Neah mungkin hanya diprogram telah kehilangan putri, tanpa dijelaskan siapa gerangankah dia. "Para petinggi malas memberi segala informasi yang membuat seseorang itu dirinya seperti siapakah mertuanya, atau teman lamanya. Hanya yang terpenting saja agar mereka bisa bereaksi terhadap para iblis.
"Tentu saja mereka tidak mau susah-susah membuat seseorang yang akhirnya dibunuh pula. Dan aku termasuk di antaranya, yang punya sedikitnya informasi. Namun betapa beruntungnya, mereka membuat rumahku persis rumahku tanpa mengetahui isinya, mungkin iblis tanpa status yang kerjanya membangun yang punya ide. Aku menemukan buku harianku di sana, dan dalam beberapa waktu langsung sadar."
"Kesadaran yang menyakitkan, bukan?" celetuk Ivan.
Rufus menelengkan kepala. "Jarang kesadaran itu membahagiakan karena orang cenderung berpikir positif terlebih dahulu tentang dirinya, barulah kenyataan itu negatif. Namun bila pengetahuan tentang orang lain, negatif-lah yang lebih mudah terserap."

KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Ragaku
FantasyTidak perlu kusebutkan namaku. Abaikanlah pula masa laluku. Karena yang terpenting nanti aku akan memilih opsi. Satu akan memperkuat jati diriku sebagai Iblis. Atau satu lagi Yang akan mengembalikanku menjadi diriku yang dulu. Apapun pilihanku, aku...