Masa Kini

38 4 0
                                    

Jantungku berdebar bagai perang berlangsung di dalamnya, membuatku meringis menahan sakitnya ketika dadaku bergemuruh. Memang tidak terlalu sakit, aku hanya terlalu terperanjat melihat diriku begitu panik ketika Jin turun ke bawah. Langkahnya cepat dan akurat, menapaki satu per satu anak tangga layaknya terbang di atasnya. Ia kini berpakaian bagai pegawai kantor, tetapi kemewahannya membuatku berpikir Jin semacam orang berpangkat tinggi ataupun bos. Baju hitam-hitamnya diperindah dengan dasi bergaris emas, membuatnya lebih berwarna.

Ketika Jin berada di lantai bawah dan langsung berbalik ke pintu depan tanpa mempedulikan jejak-jejak samar air, jantungku mulai stabil. Aku menghela nafas sembari melemaskan kaki, membiarkan tubuhku terjatuh tanpa gaduh. Lega rasanya, walaupun jejak air itu sudah berupa samar-samar belaka, tetapi bila diteliti tetap ada. Bagaimana mungkin rumah mewah dengan seorang wanita yang tidak pernah keluar, menciptakan jejak-jejak air? Pasti terlihat ada yang masuk setelah kehujanan, dan itu aku. Aku, yang kini berjongkok rendah di balik sofa selagi menunggu Jin keluar dari balik pintu dan menutupnya di belakangnya. Ketika terdengar suara pintu menutup, barulah aku berdiri kembali. Kuseka keringat tegangku dan bernafas lebih stabil. Sungguh jenius pembuat lantai marmer yang satu ini, membuat jejak air terlihat bagai warna keruh, pasti terlihat bila diperhatikan jeli-jeli.

"Kini, aku harus berpikir tentang apa yang perlu kulakukan untuk pulang," gumamku sembari menghela nafas, kehabisan ide. "Ya ampun, apa pula alasan masuk akal aku tiba-tiba di sini? Aku ingin berlibur ke suatu tempat sendirian lalu tersasar masuk ke mobil yang salah dan berakhir ditendang keluar, membentur tanah lalu hilang ingatan? Imajinasiku sungguh gemilang!"

Kutautkan tangan pada kepala, pusing atas apa yang terjadi. Tertidur pulas kemarin kurang membantu, hanya meringankan beban fisik ketimbang psikis. Kuhela nafas berat, aku harus melakukan sesuatu untuk keluar dari penjara indah ini, tidak dapat selamanya mendekam. Apalagi aku bukan siapa-siapa di sini, hanyalah 'tamu tak diundang' yang berakhir menyedihkan dengan takut terhadap kedua pemilik. Ya tuhan, di mana lokasi ini sesungguhnya? Untuk apa aku ke mari sedari awal, mengapa takdir menjauhkanku dari teman-teman baik di kenanganku, dan dari orang tua yang kurindukan walaupun tak kukenal?

Aku ingin menjerit, mengamuk dan langsung berlarian keluar dari sini. Mama, papa, Lala, dan Danar... Apa mereka semua sadar atas kepergianku yang tidak kunjung kembali? Apa mereka akan datang menjemputku bila aku tetap terkurung di penjara ini? Apa mereka cukup menyayangiku hingga rela mengorbankan waktu berharga demi mencariku?

Karena aku bersumpah di bawah terik mentari di luar sana, bahwa diriku akan melakukan segalanya demi mereka, orang-orang terkasih. Yah, walaupun aku hanya mengenal Lala dan Danar sebatas otakku mengingat memori kebersamaan kami, hanya bagai menonton film di bioskop, kutetap bersumpah. Aku tahu, walaupun diriku sama sekali tidak ingat siapa orang tuaku yang sesungguhnya, diriku pasti akan menyayangi dan berkorban demi mereka.

Karena apapun yang nantinya terjadi saat aku telah 'ingat', semoga bila terdapat hal buruk mengenai mereka semua, aku akan tetap menjalani prinsipku dan menjadi diriku. Diri yang akan membalas rasa kasih orang-orang terdekatku.

"Tenang." Berkat memikirkannya, diriku sudah mulai tenang, tidak ada lagi kepanikan dan kefrustasian. "Biarkan segalanya mengalir bak air, tidak perlu ada kegundahan yang hanya akan menjadi batu penghambat arus. Tenang. Waktu terus mengalir, untuk apa aku mengganggunya hanya karena perasaan sesaat? Tenang. Bila dengan berteriak dan bergundah gulana dapat membantuku menemukan orang tuaku dan kembali bersama kedua temanku, baru aku rela. Tenang."

Kini aku sudah tersenyum. Namun, aku tahu tidak dapat selamanya begitu. Aku kini beranjak ke lantai atas melalui tangga, melihat hiasan pegangan tangga yang menyerupai naga terbang, sungguh familiar, mungkin dijual mahal. Ketika sampai di atas, kulihat di kiri-kananku terdapat lorong besar. Tangga lainnya tersampir lagi tepat di kananku, menunjukan ada lantai lagi di atas yang membuatku berpikir tentang kolam renang atau lapangan tenis. Kulihat ke lorong kanan, berderet-deret kamar dengan label 'tamu' memenuhi bagian depannya hingga terpojok, menyisakan pintu berukiran indah menuliskan nama Jin dan Neah. Kamar mereka.

Karpet merah yang menutupi lantai di bawah kakiku terlihat mewah, terdapat lampu gantung di langit-langit bergaya bangsawan dengan pendar redup kekuningannya. Dindingnya pasti dilukis oleh ahli, menampilkan keterampilan seni dengan gambar burung merak memamerkan bulunya dengan mujarab, mengagumkan. Di setiap kamar disampirkan satu meja dengan satu pot berisi berbagai macam bunga di dalamnya. Wewangian alami bunga merebak memenuhi udara, memanjakan hidung.

Di lorong satunya lagi terdapat tiga ruangan: satu di kiri-kanan dinding dengan posisi saling berhadapan dan yang terakhir berada di tempat terujung. Ketika kudekati, entah mengapa aku merasa mengenal tempat ini. Kedua pintu yang saling berhadapan kuamsumsikan sebagai ruang musik di sebelah kiri dan toilet besar di sisi satunya lagi, betapa terkejutnya aku merasakan perasaan amat yakin. Aku pun semakin tercengang menyadari ukiran indah di pintu kiri musik dan kanan toilet.

"Kebetulan yang sangat aneh," gumamku selagi melangkah mundur dengan tidak percaya. "Mana mungkin aku mengetahui seluk beluk suatu rumah yang tidak pernah kukunjungi sebelumnya? Mungkinkah aku pernah ke mari?"

Aku semakin pusing, maka kuputuskan mengikuti naluriku untuk beranjak ke kamar terujung dan membuka pintu yang ternyata diukir nama Tara. Dari yang kusadari semenjak tadi melalui percakapan Neah dan Jin lalu kalung cantik di celah rahasia, pasti Tara inilah putri mereka, jelas sekali. Tara, nama yang begitu unik tapi indah dengan kesederhanaan huruf-hurufnya. Andai itu namaku, mungkin aku takkan lagi menutupi pertanyaan tentang hal itu bila kutahu jawabannya Tara. Namun, apa hakku untuk memutuskan sesuatu bila diriku yang sekarang melupakan segala kenanganku sebelum hari kemaren? Layaknya semuanya telah menguap.

"Kamar yang familiar," bisikku ketika memasuki kamar Tara, warna merah muda sekejab langsung menyambar mataku. Di tengah ruangan, terdapat tumpukan bantal di atas karpet pink yang berada di hadapan sofa merah muda terang. Televisi besar berdiri kokoh di tembok di atas meja kayu berwarna pink lembut. Kasur bak putri dengan tirai menghiasi sekeliling dan berwarna pink terhampar di pojok kiri ruangan, tampak indah. Lemari baju pink dengan warna mencolok berada di kananku, tampak amat besar dan mewah, ukiran-ukiran maha karya dan gambar bunga menghiasinya. Di langit-langit, terpampamlah lampu gantung indah bagai permata pink yang telah dipoles, terlihat sangat mahal dan mewah di saat yang tentunya bersamaan. Lalu, yang membuat kamar ini menjadi 'kurang mewah', ialah berkat keberadaan balkon seluas dua puluh kali lima belas meter di pintu berenda di sebelah televisi, terlihat sangat panjang. Ketika kudekati, lantainya terbuat dari keramik pink dan pegangan kedua sisi dari besi yang diselimuti tanaman rambat bohongan, kreatif.

Sungguh, mengapa Tara meninggalkan kamar ini yang pasti membuat semua anak perempuan iri? Kamar luas dengan balkon panjang di dalamnya, siapa sih yang akan menolaknya? Memang aku tidak berada di posisi yang dapat menghakimi Tara karena diriku sama sekali tidak tahu alasannya kabur, yang membuatku semakin penasaran. Mengapa Tara kabur? Apa ini ada alasannya dengan pertemanan berantakan, persaingan sekolah, ataukah perjodohan? Di keluarga kaya normalnya memang ada perjodohan, tetapi entah mengapa kupikir bukan itu alasannya.

"Siapa di dalam?" Mataku langsung membelalak ketika kuputar wajahku menuju pintu yang membuka, lengan kurus Neah membuatku tersentak. "Tara?"

Saat itu, aku masih terlalu dini untuk mengerti apa yang terjadi, hanya kenangan masa lalulah bekalku. Keterkejutan dan kekagetan masih lumrah dalam kamus hidupku, tetap berkelebat di dalam diriku layaknya orang normal lainnya. Namun, aku belum tahu di saat naif itu, bahwa di darahku mengalir darah keturunanku yang akan mengubah hidupku seratus delapan puluh derajat. Bahwa kehidupan yang dulu kuanggap remeh karena terlalu datar, hanya akan menjadi dongeng indah nantinya . Aku belum tahu, bahwa orang tuaku nyatanya lebih dari sekedar manusia biasa, begitu pula leluhurku yang akan menjadikanku seperti mereka. Aku hanya belum tahu saat itu, bahwa dengan menyebutkan nama kedua orang tuaku saja di daerah yang mengenal mereka, akan membuatku ditahan atau dicurigai mati-matian. Orang tuaku amat dibenci kaumnya berkat suatu alasan dan berkat itu, wajarlah rasa dengki itu pasti menurun padaku.

Aku hanya belum tahu saja.

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang