Haruskah Membunuh?

25 4 0
                                    

Rasanya pisau di genggamanku semakin memberat dan memberat tiap detik yang berlalu semenjak aku memegangnya. Aku pusing melihatnya, kilatan yang terpancar dari ujungnya membuatku menelan ludah dengan susah payah. Kurasakan keringat dingin menjalari bagian belakang leherku, membuatku bergidik geli.

Tidak, aku tidak dapat melakukannya!

Kujatuhkan kakiku ke bawah lantaran lututku goyah karena lemas, melepaskan pisau itu ke sembarangan arah karena tidak kuasa mencengkeramnya. "Aku tidak bisa.."

Kudengar Mei dia atasku mendengus kesal melihatku kembali terjatuh dalam lemas, menatapku dengan pandangan tajam hingga kepalaku rasanya ditusuk kuat oleh matanya. Memangnya apa salahnya bila aku tidak kuat untuk membunuh? Mungkin aku iblis, tetapi hal itu tidak membenarkan tindakanku untuk mencipratkan darah manusia. Mungkin diriku di masa lalu merupakan pembunuh berdarah dingin, tetapi hal itu lagi-lagi tidak seharusnya membuat Mei berpikir bahwa aku dan dia--diriku dulu--orang yang sama. Tanpa ingatan lamaku, diriku yang dulu sudah musnah, pergi dari ragaku.

"Kau paling tidak harus berusaha!" seru Mei dengan kesal, berkacak pinggang selagi berjalan ke arah pisau yang sebelumnya kulempar sembarangan itu. Dia membungkuk dan mengambilnya dengan cepat, tidak ingin membuang-buang waktu. "Jika kau tidak membunuh, mau kau ke manakan wajahmu itu?"

Aku mendongak untuk menatapnya mencibirku. Bagus, orang pertama yang meladeniku saja mengejekku, apalagi para iblis di luar sana yang sedang berpesta melihatku pasrah seperti ini? Namun apa dayaku bangkit bila hanya untuk menerima uluran tangan Mei yang menggenggam pisau, lalu aku harus menggunakannya demi membunuh? Mungkin ragaku adalah iblis: tubuh, kaki, tangan ini penuh kejahatan dan kegelapan yang tidak dapat kubayangkan, tetapi di dalamnya, hatiku, kurasakan dia ingin tetap bersih serta melakukan kebaikan. Rasanya ragaku dan hatiku sama sekali tidak sinkron, ragaku mungkin ingin menerima uluran tangan Mei dan mengambil kembali pisaunya, tetapi hatiku meringis tiap kali memikirkan aku harus membunuh manusia.

Perasaan apa ini?

Akhirnya aku berdiri berkat tarikan kasar Mei yang sudah tidak sabar. Dia melemparkan pisaunya yang langsung kutangkap dengan sigap. Pancaran sinar yang dilepaskan pisau itu berkat pantulan cahaya dari mentari menyilaukanku, tetapi entah mengapa berkatnya aku ingin menggunakannya untuk...

Sial!

Jangan-jangan asumsiku benar? Bahwa ragaku ialah seorang pembunuh, tetapi hatiku seputih salju? Ha ha, mana mungkin hal sejanggal itu ada dan nyata, bisa gila aku dibuatnya bila itu sungguh terjadi.

"Hei, kau mau tahu alasanmu jadi aib?" Mukaku langsung kudongakkan ke arahnya, mulutku terbuka karena terkejut. "Dari reaksimu aku tahu kau melupakan hal sepenting itu."

Aku menatapnya dengan memelas. Apa ini saat yang kutunggu-tunggu semenjak terbangun di terpa hujan kemaren? Mendengar kebenaran tentang mengapa aku menjadi aib yang selama ini tidak kuketahui alasannya, dan akhirnya menguak jawaban dari pertanyaanku tentang apa maksudku takut mengucapkan namaku dulu.

"Apa?" tanyaku dengan air mata berada di pelupuk mataku, siap tumpah dan membuncah seluruh ragaku. "Apa alasanku dibenci kaumku sendiri?"

Mei menatapku dengan sedih, ikut prihatin melihatku yang selama ini amat dibenci kaum iblis tanpa tahu sama sekali alasannya. Ya, mungkin diriku di masa kelam itu mengetahuinya, tetapi hal itu tetap tidak menutup kemungkinan diriku sekarang melupakannya berkat hilang ingatan sialan itu.

"Tara, kau tentu berhak untuk mengetahuinya," ucapnya dengan lebih lembut sembari berjalan ke arahku untuk menepuk bahuku, menenangkanku. "Alasan mengapa kaum iblis membencimu dan mengutukmu karena hidup sebenarnya bukan kesalahanmu, tetapi berkat kedua orangtuamu."

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang