Kisahku

47 4 0
                                    

"Lala!" Ayolah, apa ia termasuk tipe orang yang dapat langsung berlari begitu saja tanpa penjelasan dan lenyap? "Demi apapun, Lala!"

Gadis dengan tubuh mungil itu tetap melangkah cepat ke arah tangga, dengan gesit menghindari siapa pun yang dapat menabraknya dan menghambatnya. Lala tidak berniat menoleh ke belakang atau sekedar berhenti untuk menungguku, kentara sekali berniat meninggalkanku. Aku mendesah sembari menyusulnya, berusaha mensejajari langkahku dengannya yang nyatanya cukup sulit. Mungkin Lala memiki kemampuan tersembunyi sebagai pelari, sayang sekali jika ia menutupinya hanya karena disebabkan penampilan putrinya. Entahlah, aku belum tahu banyak mengenai Lala sekarang, tetapi kuyakin masih memiliki banyak waktu ke depannya untuk mengenalnya dengan lebih baik lagi.

"Lala!" teriakku dengan cukup lantang, tetapi aku yakin bukan hal tersebutlah yang memicu Lala untuk berbalik. Gadis itu memutar tubuhnya secepat larinya, membuatku sempat terperanjat ketika berusaha berhenti mendadak. "Lala?"

Ia tersenyum.

Lala tersenyum?

Mulut yang sebelumnya datar selayaknya papan cucian itu, kini perlahan-lahan tertarik ke atas membentuk senyuman indah. Lala menatapku dengan mimik terluka, entah mengapa membuat hatiku ikut mencelos melihatnya.

"Maaf, aku hanya sedikit terkejut tadi," ucapnya menghancurkan ketenangan di sekitar kami, siswa-siswi yang lain kuterka telah berada di kelas masing-masing, menunggu hadirnya guru dan saat saling kenal mengenal nantinya. "Namun, aku tetap ingin bertanya tentang kesungguhanmu mengenai berteman denganku... siapa?"

"Um, sudah kubilang nama tidaklah penting, yang terutama kedekatan-"

"Dan kebersamaan kita. Apa itu yang ingin kaututurkan? Mungkin aku sudah menghafalnya dengan cukup baik," tukas Lala dengan cepat, tidak membiarkanku menyelesaikan kalimat favoritku. "Maksudku, ayolah! Tanpa nama, bagaimana caranya aku memanggilmu?"

Aku menghela nafas mendengarnya, sedikit berkacak pinggang tanpa sadar karena merasa sedikit tertekan. Entah sejak kapan bila ada seseorang yang ingin bercengkrama atau berteman denganku, dan mereka berusaha menguak namaku, keringat dingin sontak mengaliri tubuhku. Aku mencoba menenangkan diri sesegera mungkin dan kembali berhadapan dalam stabil dengan Lala.

"Akan kuberitahu nanti," ujarku yang membuat gadis manis di hadapanku itu mendengus kesal dengan cepat, mungkin ia sudah menduga aku akan menolak memberitahu dan menyiapkan reaksinya terlebih dulu. "Hal terpenting sekarang, kita harus masuk ke kelas."

Lala mengangkat bahu,mencodongkan salah satu sisi tubuhnya ke arah tangga dan menaikkan sebelah alisnya. "Ingin bergabung, teman tanpa nama?" Aku sontak tertawa mendengarnya membercandai kata-kataku dan membuatnya menjadi panggilan. "Aku akan berjalan terlebih dahulu jika kautidak menyusul ke 10 A, dan kelasmu?"

Aku memonyongkan bibir mendengar pertanyaan, agak sedikit sedih karena memendam jawabannya. "Kau 10 A, tetapi aku 10 B." Kulihat Lala mendengus kesal mendengarnya, tampak kecewa ketika mengetahui tidak akan sekelas denganku setahun ini. "Mungkin keadaan akan berubah menjadi lebih baik tanpamu di kelasku, sang putri pemberang."

Lala terdiam melihat aksiku, awalnya tidak menduga apa maksud akan perkataanku. Namun, dengan cepat ia membalasnya dengan seringai jahil menyelimuti wajah manisnya. Katanya, "Mungkin ini adil. Aku pula tidak perlu repot-repot bersama teman tanpa nama."

Dengan itu, kami berdua berjalan berdampingan tanpa lupa gelak tawa, saling menjahili satu sama lain hingga tiba di lantai kelas sepuluh. Tentu saja aku tidak sungguh-sungguh dengan ucapanku mengenai berpisah kelas dari Lala, tetapi kata-kata itulah yang memulai koneksi akrabku bersamanya. Mungkin kami tidak dapat sekelas dan saling bertemu di setiap mata pelajaran, tetapi dalam setiap kesempatan layaknya makan siang aku akan mengunjunginya.

***

Aku berselisih jalan dengan Lala demi berjalan menuju kelasku. Semenjak bertemu dengan Lala, aku benar-benar melupakan beban cukup berat di pundakku, tas. Rasanya benda itu telah bergelantungan sangat lama di tubuhku tanpa aku sendiri menyadarinya.

Ketika aku sampai di kelas 10 B, seluruh siswa-siswi entah karena apa langsung sontak berpaling kepadaku, melupakan lawan bicaranya satu sama lain sebelumnya. Awalnya kukira terdapat sesuatu yang menempeliku hingga semuanya menoleh ke mari, tetapi aku tidak menemukan apapun.

"Hei, kau yang berpidato di lorong tadi, kan?" tanya salah seorang lelaki di antara kerumunan. "Aku sempat mendengarnya tadi, sungguh mengagumkan."

"Ah iya, kau seharusnya bergabung dengan klub siaran nanti, membacakan puisi dan duduk diam di sana! Tidak akan mengganggu kami dengan celotehanmu!" teriak seorang gadis berperawakan centil dengan busana sekolah yang telah ia rombak. Bajunya ia pendekkan di satu sisi bagai pramugari dengan roknya dan bawahan serangamnya pula dinaikkan. Rambut kriting sewarna karamel yang kuamsumsikan diwarnai di salon, terkuncir tinggi membentuk gaya aneh dan mencolok. "Dasar gadis pencari perhatian."

Sontak, seluruh siswa-siswi di kelas terdiam, membisu layaknya di kuburan dengan tiada siapapun di dalamnya. Lelaki tidak kukenal yang memujiku sebelumnya pun kehilangan kata-katanya mendengar keketusan dalam nada bicara gadis tersebut. Mungkin gadis inilah penguasa kelas 10 B, entah dengan cara apa mengambil sisi penguasa hanya dalam waktu sehari. Sejujurnya, dipindai dari wajahnya yang cantik gadis ini dapat menjadi pujaan atau primadona kelas, bukan pemilik mulut menyebalkan.

"Semuanya duduk di bangku yang kosong sekarang!" Sebelum aku menyadari guru telah masuk dan sepantasnya segera bertindak dengan duduk di salah satu kursi kosong, diriku tetap terdiam. "Um, kamu juga silahkan duduk."

Aku menoleh dan mengangguk terhadap guru tersebut. Seorang wanita bernampilan cukup rapih dengan kemeja biru dan rok selutut hitamnya. Rambutnya dipuntir ke belakang dan dijepit tinggi.

Aku kini menghela nafas, menghadapi saat-saat kritis karena tidak tahu bangku mana yang boleh ditempati dan tidak berkat gadis menyebalkan itu. Kulihat ia berbisik pelan kepada temannya di kursi terujung dekat jendela, mentertawakanku dengan gaya sok manis.

"Perkenalkan, namaku Danar," seru seseorang di ujung ruang kelas yang berkebalikam dengan gadis itu, mengangkat tangannya demi menarik perhatian guru. Kusadari ialah lelaki yang sebelumnya menanyaiku saat pertama kali memasuki ruangan, tampak antusias untuk mengenaliku. "Perempuan itu boleh duduk di sini bersamaku."

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang