Setelah mengucapkan pertanyaan yang berdengung di telingaku bagai suatu pilihan, Lala hanya bergeming. Wajah yang dipaksakannya untuk menggerutu dan bibir monyong membentuk desisaannya bagai lenyap ditelan bumi dalam satu detik, menguap layaknya air mendidih. Gadis itu hanya menatap lurus ke arahku, tetapi matanya memandang menembusku. Bibirnya dikatupkan dengan cepat tanpa memalingkan pandangan dariku, berlagak tegas walupun tidak tahu menahu ingin berkata apa.
"Memangnya pertemanan semudah memberikan pilihan, ya?" Lala mendengus, rambut cepolannya dikibaskan dengan anggun ke kanan dan kiri selagi ia menggeleng tidak percaya. "Dengan mudah terputus bila aku bilang tidak, dan kembali terjalin jika iya?"
Aku memperhatikan wajahnya yang perlahan-lahan kembali datar, seperti saat pertama kali diriku menemuinya. Seseorang yang berperawakan manis bak seorang putri, tetapi sejujurnya menyampirkan pisau tajam di balik gaunnya. Mungkin Lala tidak sadar bahwa semenjak awal, penyebab aku tertarik untuk berteman dengannya bukan perkara kecantikannya seperti yang dikemukakan sebelumnya. Penyebabnya lebih dari itu, dan sejujurnya sama sekali tidak sesepele martabat atau ketertarikan biasa. Orang umum mungkin lebih mengincar pertemanan dengan seorang yang kuat agar kerap terlindungi, cerdas demi dapat dimanfaatkan otaknya, atau cantik(tampan) supaya terkenal berkat memiliki primadona di sampingnya. Orang umum.
Aku menggeleng, tergelak sendiri memikirkannya yang membuat Lala di depanku mengangkat sebelah alisnya. Ia tidak akan pernah tahu, bahwa sejatinya alasanku berkaitan erat dengan masa laluku yang jauh di belakang sana. Lala tidak akan dan perlu tahu. Alasan yang memang membentuk jati diriku menjadi seperti sekarang.
Lala mulai jengkel. "Halo? Apa kau mendengarnya di sana?" Ucapannya membuat wajahku kembali memandangnya, menatap lurus bola hitam matanya. "Apa perlu kembali kuulang pertanyaanku?"
Aku menggeleng, segera menjawab, "Paling tidak mari kita ke kelas terlebih dahulu dan berbincang tanpa perlu saling menikam lewat tatapan mata." Aku berbalik dan mulai melangkah meninggalkannya, gerakanku mantap maju tanpa berniat berhenti untuk menoleh. "Atau aku harus menggeretmu?"
Lala mengerang pelan di belakangku, sedikit mencoba menjaga citranya berkat kehadiran orang banyak di sekitarnya. Dalam hati aku berpikir, mungkin para siswa-siswi baru telah rampung memindai kelas mereka, kini semuanya berhambur menuju tujuannya masing masing. Aku menoleh ke belakang akhirnya, melihat Lala bergaya sok anggun dengan berjalan berkelak-kelok menujuku.
"Serius?"
"Apa yang kauharapkan?" ujarnya ketika berdiri di hadapanku, melemaskan tubuhnya agar dapat berpose manis. "Aku perlu seperti ini, semua orang mengharapkannya."
Aku menoleh ke arah yang disiratkannya, menuju para siswa-siswi yang kini saling berbisik, menggumamkan dengan cukup keras betapa manisnya Lala dan perilakunya. Diam-diam beberapa lelaki sengaja berjalan cukup dekat dengan Lala hanya demi mengagumi kemanisannya, ada yang berpura-pura menyenggolnya dan meminta maaf. Lala hanya bergeming dengan gayanya saja, tidak berkomentar apa-apa untuk menanggapi.
Aku menghela nafas. "Kaupikir dengan itu semuanya bahagia? Kau berlagak bagai yang mereka pikir itulah dirimu, berpura pura menjadi putri padahal bukan. Kau tipu mereka dengan pikirannya sendiri, mengira dengan itu semuanya akan berjalan baik," ujarku dengan intonasi cukup tinggi hingga kuyakin semua siswa-siswi sekitar terdiam karenaku. "Apa masalahmu? Kau takut mengecewakan mereka dengan menunjukan jati dirimu yang sebenarnya, padahal itulah kamu, Lala. Kaupikir dirimu akan terbentuk dengan menjadi orang yang selama ini dituturkan sekelilingmu, padahal tidak. Dengar, yang menentukan siapa dan apa kelakuanmu bukan pendapat sekitar, tetapi dirimu sendiri. Jangan menjadi orang jahat karena perangaimu buruk dan wajahmu diterka-terus orang sebagai ciri-ciri preman sebagaimana buanglah jauh-jauh putri palsu itu bila ia bukan dirimu."
Aku menyadari keletihan berkat berkata-kata dalam jangka waktu lama setelah berhenti, nafasku kini tersengal-sengal mengingat aku sama sekali tidak bernafas tadi, membiarkan perkataanku mengalir begitu saja. Aku tidak sadar telah mengucapkan sesuatu yang bermakna bagi Lala dengan sentak dan kencang, membuat gadis itu bergeming sementara seluruh siswa-siswi sekitar bertepuk tangan berapresiasi. Kuhela nafas dalam sembari mengangkat wajah ke arah sekeliling, melihat semua muka berpaling kepadaku, bukan Lala. Satu-dua ada yang berteriak lantang bahwa aku keren dan mereka menantikan perubahan asli sang tuan putri ke depannya.
"Darimana kau merangkai kata-katamu tadi? Terdengar mantap dan bermakna!" seru salah seorang perempuan di kerumunan.
"Benar, kau seharusnya menulis puisi!" Seorang lelaki juga berseru tidak mau kalah.
"Mungkin kau benar kami tidak pantas memutuskan Lala siapa, tetapi hanya wajahnya sajalah yang pertama kali terlihat, bagaimana lagi!" protes seorang lelaki bertubuh jangkung di sebelah luar kerumunan, wajahnya tegas dengan ketampanan menyelimutinya. Mungkin jika ia tidak setampan itu, seluruh siswi berkemungkinan akan membantah komentarnya.
Aku kembali memfokuskan perhatian pada Lala, yang masih menunduk penuh rasa mengerti. Mungkin ia telah sadar, jati diri seseorang tidak dapat dinilai dari pandangan orang lain kepadanya, tetapi dirinya sendirilah yang berhak menentukan. Terserah ia ingin berlagak seperti putri ataupun biasa saja, komentar orang lain tidak perlu mengubah dirinya seutuhnya. Terutama jati dirinya yang sejujurnya berada di dalamnya, jauh di sudut hati tempat persembunyian terkuat. Namun, mungkin kerangkeng itu telah membuka dirinya sendiri berkat pengetahuan Lala setelah mendengarku, semoga memang begitu.
Lala kini telah mendongak kepadaku ketika sepenjuru ruangan telah dikosongkan siswa-siswi lainnya, bel berdering mungkin yang memicunya mulai melangkah. Namun, ia tidak berjalan menujuku, langkahnya mantap menjauhiku di belakangnya.
"Lala?" Apa aku salah berkata kepada teman pertamaku, yang dapat membuatku sendirian sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Ragaku
FantasiaTidak perlu kusebutkan namaku. Abaikanlah pula masa laluku. Karena yang terpenting nanti aku akan memilih opsi. Satu akan memperkuat jati diriku sebagai Iblis. Atau satu lagi Yang akan mengembalikanku menjadi diriku yang dulu. Apapun pilihanku, aku...