2. Pemberitahuan

34 4 0
                                    

Nafasku bagai menguap dalam seketika ketika jantungku terasa berdetak kencang dalam sekali hantaman. Mataku membuyar, penglihatanku memudar yang membuatku semakin panik. Lengan putih Neah kini membuka setengah pintu Tara, tetapi kakiku bagai dilem kuat di atas lantai, tidak mampu digerakkan barang kali sedikit pun. Keringat dingin menjalari punggungku, sensasi dingin seketika telah bersatu dengan hangat tubuhku yang kepanikan. Aku sudah benar-benar pasrah, tahu kalau ini sudah berakhir. Bagaimanalah mungkin, aku baru tiba di rumah ini kemarin malam, bersimbah air hujan dan kedinginan yang luar biasa hingga terlalu teralihkan perhatiannya pada dekorasi tempat ini, membuatku lupa kondisi diri sendiri. Sekarang, dalam waktu beberapa detik, segala kesenangan dan kebahagiaan dapat sekiranya tinggal sementara di rumah ini, akan menguap bagai uap yang membubung tinggi. Bedanya, dengan menjadi uap aku dapat terbang melintasi langit dan kabur, tetapi sebagai manusia apalah arti kabur, pasti akan ditangkap pula oleh penduduk sekitar yang mendengar jeritan Neah.

"Tara? Apakah kau sungguh di dalam, permataku?" Aku langsung menaikkan sebelah alis mendengar sapaan sang wanita ke putrinya, sangat aneh. Biasanya mama, bahkan ibu tiri yang berlagak dekat dengan anak tirinya, akan memanggilnya sekedar namanya atau 'putriku' saja, kan? "Tara?"

Sesaat, aku merasa lem kakiku telah lenyap dan langsung menggerakkan alat itu untuk melompat ke sebelah lemari besar Tara, mencoba bersembunyi dari jarak penglihatan Neah. Maka, saat pintu itu sudah membuka lebar dan melangkahlah kaki panjang wanita berusia tiga puluhan tersebut ke dalam kamar, desahan sedihnya terdengar. Neah mungkin berasumsi dirinya berdelusi hingga mendengar suara-suara yang dikenalnya sebagai milik putrinya, entahlah. Aku hanya terduduk diam di samping lemari hingga suara tapakan kakinya menyamar setelah pintu ditutupnya, membuatku lega sempat bersembunyi.

"Permataku? Euy," ujarku mencemooh, menirukan suaranya dengan suara lebih memelas. "Kalau aku jadi putrinya, mendengar itu berpuluh-puluh kali, pantas saja kabur."

Aku merinding dibuatnya ketika membayangkan menjadi Tara, hidup terkekang di tempat semewah ini dengan penuh pengawasan dan tanpa teman, pasti sangat kesepian. Tunggu, belum tentu Tara tidak sekolah dan dikucilkan dari lingkungan kelasnya karena dia berada, mungkin saja gadis itu berlagak hidup sederhana hingga dapat berteman dengan mudah. Tentu saja itu harus dia lakukan, berteman, kalau tidak pasti Tara akan gila. Di rumah mendengar sapaan 'permataku' dan memiliki papa yang kerap berpergian. Kini saja aku tidak yakin Jin sedang berusaha mencari Tara, lebih berkemungkinan bekerja demi mendapatkan upah dan berpura-pura keletihan saat pulang nanti. Sungguh, mendengar Neah dan Jin, dapat kuasumsikan bahwa mama Tara ialah wanita protektif yang berlebihan memanjakannya hingga dia sendiri muak, lalu papanya tidak terlalu mempedulikannya tapi putrinya menyayanginya lebih dari Jin padanya. Keluarga yang aneh.

Aku menggeleng selagi berdiri, beranjak ke kasur empuk Tara. Sungguh nyaman rasanya, entah mengapa membuatku merasa pernah tertidur di atasnya. Aku menaikinya dan mencoba berbaring sebentar, merasakan rasa kantuk mulai menggapaiku. Wahai, aku baru saja tertidur semalam, kini aneh bila diriku terlelap lagi, kan? Namun, mataku terlanjur menutup dan aku pun jatuh dalam tidur.

***

Terdengar suara kencang di sisiku, bagai teriakan seorang wanita yang melihat maling merampoki rumahnya. Suaranya memang melengking dan tinggi bagai menyanyikan lagu di bagian oktaf tertinggi, tetapi entah mengapa terdengar ketakutan serta bergetar. Aku memang masih bergeming, terlalu malas untuk bergerak dan bangun. Terlalu malas untuk berasumsi bahwa Neah telah menemukanku.


Maka mataku sontak membuka ketika kusadari kesalahanku untuk tertidur di atas kasur Tara, Neah memergokiku.

"Kau yang berteriak?" Nafasku tercekat ketika melihatnya membelalakkan matanya.

"Tentu saja aku akan berteriak bila ada seseorang di rumahku tanpa seizinku!" ujarnya dengan nafas berderu yang membuatku berpikir dia akan mendapatkan sesak nafas bila tetap seperti itu. "Siapa kau?"

Aku gelagapan. "Bukan siapa-siapa! Aku bukanlah seseorang yang patut dicurigai, sungguh!" kataku dengan nada yang tidak kalah tingginya, membuat Neah tersentak.

"Apa yang kau lakukan di rumahku? Sejak kapan?" tanya wanita tersebut dengan ketakutan, dia melangkah mundur. Ketika kuselidiki dengan lebih teliti, ternyata dia menjepit pisau di tangan kirinya yang selama ini belum ditunjukkannya. Mungkin untuk keadaan darurat.

"A, aku... Kau sungguh tidak mengenalku sepertiku mengetahui namamu?" ujarku.

"Siapa kau sampai aku harus mengenalmu? Lagi pula, kau pasti hanya menerka-nerka namaku." Dia mendengus.

"Neah." Matanya langsung membelalak selagi dia mengerutkan dahi, perpaduan yang aneh. "Kau ingin tanya bagaimana caranya kutahu?"

Neah hanya bergeming sesaat sebelum mengangguk, dia sudah lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Tanda-tanda keberadaan pisau itu pula sudah tidak ada, membuatku terkejut karena merasa sangat lega.

"Aku anak teman suamimu. Tadi pagi papaku mengantarku ke rumahmu untuk menginap, perjalanan bisnisnya membuatku sendirian di rumah," jelasku yang terlihat sekali dibuat-buat, bagaimana mungkin pula anak teman Jin datang secara tiba-tiba? "Oh ya, papa baru berpikir ide ini pagi buta, maka mungkin Jin belum dikabari, maaf."

Neah--seperti yang kuduga-- terlihat amat curiga dengan perangaiku yang kentara sekali mencurigakan. Dia memandangku dengan mata disipitkan--tipikal orang curiga-- dan mendesah kesal. Pisaunya ditunjukkannya padaku hanya untuk diletakkan di meja kecil di samping lemari Tara.

"Ke mari kau! Harus kupastikan dulu pada suamiku bahwa kau anak temannya, beri tahu aku namamu dan segera kutanyakan!" Neah berjalan cepat di depanku layaknya samurai yang dikejar musuh, sangat lihai dan membuatku tertinggal. Dia segera turun di tangga dan beranjak ke ruang keluarga, dimana ternyata ada telepon antik di atas meja kecil di samping sofa.

Dia memencet beberapa tombol dengan akurat dan langsung menempelkan genggam telepon ke telinganya, menunggu suaminya menjawabnya. Aku panik, sungguh. Kebohonganku pasti terkuak nantinya ketika Jin sudah berkata bahwa dia tidak mengenalku, habis sudah. Neah pasti akan menatapku bagai kriminal dan menggeretku keluar dari kediamannya lalu melemparku ke kantor polisi daerahnya. Aku akan disidangi dan akan dipenjara, yang membuat kesempatanku mencari orang tuaku kandas. Habis sudah diriku, aku akan mati tersiksa di penjara selagi menjerit tidak tahu di mana keberadaan orang tuaku dan teman-teman.

"Halo Jin?" Suara Neah yang melembut pasti ditujukan untuk suami tercintanya yang sudah menjawabnya. Namun, air wajahnya kini berganti dengan cepat bagai tersambar petir, kemasaman langsung membungkus mukanya. "Itu suara kantor, kan? Kau pasti kerja selagi putri kita menghilang, bukan mencarinya!"

Oh, ketahuan sudah gelagat Jin yang sama sekali tidak peduli dengan Tara. Seperti dugaanku, Jin pastilah berkerja di kantornya ataupun melakukan aktivitas lainnya kecuali mencari putrinya. Baginya pasti mencari Tara hanya akan membuang waktu karena dia tahu takkan pernah menemukan gadis tersebut, dan lelaki itu tentu mempermudah pelarian putri mereka berkat ketidakpedulian-nya. Tara yang malang, hanya dapat bergantung pada kedua suami-istri beda sifat ini.

"Sudah jangan banyak beralasan! Hal terpenting sekarang ialah ada anak asing di sini mengaku sebagai putri temanmu!" seru Neah dengan jengkel bercampur marah, sama sekali tidak terpikir di benaknya bahwa Jin akan berbohong dan kerja, bukan mencari Tara. "Apa? Teman-teman yang terpikirkan olehmu semuanya hanya memiliki putra?"

Neah langsung berputar ke arahku sebelumnya berada dengan mimik gelapnya, segera tahu aku telah berbohong. Namun, kini yang dilihatnya bukan diriku dalam raut wajah ketakutan, tetapi kekosongan. Aku sudah melarikan diri semenjak Neah tahu suaminya berbohong padanya, memanfaatkan waktu berharga tersebut dengan lari keluar dari rumah mereka dan kabur. Berlari sejauh mungkin dan berharap dapat menemukan tempat perlindungan lainnya dari jangkauan Neah.

Berlari liar hingga terdengar suara serak yang menghentikanku dengan kuat.

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang