Mulai Titik Ini

38 1 0
                                    

"Kau mau susu atau air putih sebagai pelega dahaga?"

Aku menghela napas pelan. "Air putih saja, terima kasih."

Ivan-sekarang aku sudah mulai terbiasa memanggilnya demikian, mengangguk dan segera menunaikan permintaanku padanya. Disuguhkannya secangkir gelas dalam waktu semenit, berserta hidangan lainnya berupa ayam bakar dan udang goreng.

Segera setelah merapikan baju baru pemberian Rufus yang kupandang pantas untuknya yang sebenarnya lelaki, dia duduk di salah satu bangku kosong di ruang makan pemilik rumah, berhadapan denganku.

"Kau tidak mau makan?" Perhatianku yang selama ini tertuju pada apa yang kulihat di dalam mesin, berpaling pada Rufus yang menanyaiku. Katanya, "Kalau kau tidak makan, mana mungkin kuat melanjutkan perjalanan."

Aku menghembuskan nafas, mengerti maksudnya tapi tetap tidak berselera. Bayangkan saja, kau terbangun di sebuah tempat yang sama sekali asing bagimu, dan semua orang di sana terlihat jelas membencimu. Akhirnya seiring waktu berjalan, kau tahu namamu, apa yang orang lain ingin kau lakukan, siapa dirimu. Bagai itu belum cukup mengejutkan, secercah kenangan yang beruntungnya kau dapatkan kembali, satu-satunya hal yang membuatmu merasa hidup, nyatanya pemukul telak niat bertahanmu. Teman yang selama ini kau percaya walau sedikit informasi yang diperoleh, ternyata musuh di balik selimut. Musuh di balik senyum. Musuh di balik tawa canda. Lalu, kenyataan bahwa kau memiliki saudara, kakak lelaki yang membuat rasa rindu membuncah di hatimu, nyatanya membencimu setengah mati.

Sungguh menyenangkan.

"Begini," desah Ivan setelah dia menurunkan cangkir berisi teh yang sebelumnya diminumnya dengan penuh semangat bagai sudah bertahun-tahun belum minum larutan tersebut, "kau tidak mau makan padahal masih banyak hal yang harus kita lakukan. Bijaksana sekali."

Aku mempelototinya dengan sangat. "Maaf, tuan bijak, tapi saya tidak berselera," balasku dengan sinis. "Makan saja seorang diri, tuh perut juga seperti mau pecah!"

Ivan tidak menanggapi, malah dia tampak lebih serius. "Tara, kau tahu kita harus memutar balik keadaan. Aku sengaja menyayat tangan kita berdua agar pelacak yang diwajibkan bagi peserta tidak dapat membantu mereka menganalisa keberadaan kau dan aku. Bisa gawat kalau para tetinggi mengetahui bahwa aku membawamu ke tempat kloning yang ingat segalanya."

"Uhum." Rufus hanya menyela sedikit, mungkin merasa sedikit tersinggung.

Aku hanya menghela napas. "Aku tahu, Ivan. Tapi setelah melihat apa yang selama ini kualami." Aku menutup wajah dengan kedua tangan, tidak berdaya menunjukkan muka ketakutanku. "Kau tidak tahu betapa marah, kesal, dan ngerinya aku mengetahui bahwa ingatanku, suatu hal berharga yang membentuk kepribadianku, sudah dilenyapkan dua kali!"

Padahal aku berharap baik Ivan maupun Rufus, mereka akan menahan napas terkejut atau sekedar berteriak menanyai penjelasan atas perkataanku. Tapi keduanya tenang saja mendengar kenyataan bahwa memoriku telah dihapus dua kali, yang semakin membuatku naik darah.

"Kau tahu segalanya?" teriakku marah kepada Ivan, tanganku kuhantam keras ke atas meja ruang makan Rufus bagai aku memiliki rumah itu. Tapi dalam keadaan marah, siapa yang akan memikirkan sedang berada di mana dan apa yang sepantasnya dilakukan? "Kau tahu bahwa keparat itu, entah tetinggi atau tikus-tikus lainnya yang berani menghilangkan memoriku, sudah menyentuh kenanganku dua kali?"

Ivan menatapku tajam. "Aku berniat memberi tahumu. Tapi karena kupikir tidak terlalu penting karena toh memorimu juga akan tetap hilang bahkan setelah kau tahu, jadi kuputuskan tutup mulut."

Aku menggertakkan gigi, tidak kuasa menahan amarah. Setelah tahu jalan hidupku yang nyatanya menyedihkan meskipun aku adalah iblis kuat yang bahkan membuat kakak lelakiku gentar, tapi hal tersebut membuatku dibenci, aku merasa sedih. Para iblis di sekolah kerap bergosip akan kehebatanku, tapi diam-diam menaruh sumpah serapah di balik mulut manis mereka. Para guru memujiku, tapi memendam rasa takut jauh di dalam hati mereka. Juga, aku yakin kesendirian adalah satu-satunya sahabatku kala itu. Mungkin berkat ketidakadaan teman itu, meski dihilangkan ingatan sekali pun, rasa bangga bercampur senang berkelibat dalam diriku saat aku bertemu dengan Lala dan Danar, orang-orang pertama yang membuka tangannya kepadaku.

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang