***
Aksi penyerangan lelaki botak yang berniat menusuk Mei sebelumnya membuatku tenggelam dalam nostalgia. Mei menyatakan dengan tegas bahwa aku harus menggunakan pisau pemberiannya bukan hanya untuk membela diri dari berbagai kemungkinan terburuk, tetapi membunuh. Tentu saja aku bohong bila bilang tidak ingin membunuh, nyatanya tanganku begitu terangsang untuk meraih benda tajam di betisku itu dan menggunakannya. Namun, di sudut terdalam hatiku ada perasaan sedih ketika aku berpikir ingin mencoba menggunakan pisau itu, layaknya ada seseorang yang mencegahku untuk menjadi iblis. Menjadi iblis seperti orangtuaku, Mei, dan para petinggi yang membenciku.
"Begini Tara, para manusia di tingkat permainan ini pasti memiliki rangsang curiga yang cukup tinggi," jelas Mei setelah kami berjalan ke pinggiran rumah untuk mencari tong sampah raksasa, membukanya dan mendengus kesal. "Jadi bila ada seseorang yang menghilang berkat para pemain permainan, pasti ada satu-dua manusia yang curiga bahkan memanggil temannya untuk mencaritahu."
Mei melihat ke dasar tong sampah raksasa untuk memastikan tidak banyak timbunan di dalamnya dan tersenyum. Dia memberi aba-aba padaku untuk mendekat dan menyerahkan mayat lelaki botak yang sedari awal kutarik di tanganku. Mei sebelumnya berkata bahwa kami harus semaksimal mungkin melenyapkan jejak pembunuhan agar manusia sekitar tidak menyadari hilangnya orang-orang secara drastis. Bayangkan saja bila para manusia bertanya-tanya mengapa banyak orang yang menghilang dan menemukan jasad di sekitarnya? Mereka akan heboh dan semakin memperketat penjagaan yang kata Mei, pasti mempersulit usaha para pemain untuk membunuhnya.
Aku mengangguk pada Mei dan dengan sedikit takut menggeret jasad yang selama ini bergeming di tanganku mendekati gadis itu. Mei menerimanya dengan cepat dan langsung membanting tubuh tanpa nyawa itu ke dalam tong sampah pilihannya, membiarkan lelaki botak itu membusuk di dalam sana. Aku yang melihatnya hanya mengernyit, sebegitu tidak pedulikah para iblis terhadap mayat? Paling tidak seharusnya Mei menguburnya dengan layak atau sekedar menaruh jasadnya di depan rumah sakit agar mereka yang menanganinya. Tunggu, nanti pembunuhan sekitar akan terhambat bila kami meletakkan jasad manusia di depan rumah sakit, terlalu berisiko.
"Apa ada kantung sampah di sekitar sini, Tara?" tanya Mei membuyarkan lamunanku mengenai jasad lelaki itu di dalam tong sampah. "Pasti mayatnya akan membusuk yang menyebabkan bau tidak sedap mengambang di tong ini. Kita harus menimbunnya dengan banyak sampah agar bau mayat tidak mendominasi dan bila ada seseorang yang membuka tong, hanya tumpukan sampah sajalah di hadapannya."
Sebelum mengangguk, aku hanya terdiam. Mei mengucapkannya dengan sangat mudah bagai berkata 'kita perlu tambahan krim pada kue ini agar lebih menarik perhatian'. Dia berucap seolah-olah mayat di depannya hanyalah sesuatu yang tidak penting, hanya sambil lalu di pikirannya dan tidak membuatnya merasa bersalah. Aku sedikit mengernyit memikirkan betapa iblis sangat mengerikan dan mengapa mereka ditakuti manusia yang memang nyatanya seharusnya gelisah. Mereka sama sekali tidak menunjukkan perhatian terhadap mayat, dan sebenarnya iblislah yang membunuh para manusia. Ya, paling tidak lelaki di tong sampah itu. Namun, aku sedikit merasa kasihan dan mendukung lelaki itu yang memperjuangkan kaumnya, tidak menerima pembunuh keji di lingkungannya dan berusaha melawan Mei.
Aku menoleh ke sisi rumah pink pucat dan melihat tumpukan sampah yang dibaluti plastik di sana, di samping seekor anjing hitam terlantar. Aku segera melangkah dan menghampiri plastik sampah itu untuk memungutnya demi Mei. "Hei lihat anjing hitam itu!" seru Mei tiba-tiba, membuat tanganku yang hendak meraih plastik sampah itu terhenti untuk menolehkan kepala padanya. "Sepertinya dia liar padahal jenisnya cukup bagus!"
Mei melangkah ke sampingku untuk mengagumi anjing tersebut, terlihat semangat melihatnya tertidur. Anjing itu tampak tenang dalam lelapnya padahal Mei berteriak riang melihatnya, membuatku khawatir bila hewan tersebut telah mati. Namun aku langsung menghela nafas setelah telinganya terangkat berkat kebisingan sekitar dan terbangun. Jenis anjing itu memang tergolong populer dikalangan pencinta anjing yakni Rottweiler, salah satu anjing yang terbaik untuk menjadi penjaga rumah. Namun dari tatapan mata Mei, aku tidak yakin gadis itu melihat anjing hitam tersebut sebagai penjaga rumah ataupun pelindung dari orang asing semata, tetapi lebih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Ragaku
FantasyTidak perlu kusebutkan namaku. Abaikanlah pula masa laluku. Karena yang terpenting nanti aku akan memilih opsi. Satu akan memperkuat jati diriku sebagai Iblis. Atau satu lagi Yang akan mengembalikanku menjadi diriku yang dulu. Apapun pilihanku, aku...