Pasrah

39 4 0
                                    

Ketika tersadar aku sudah menangis. Entah mengapa air mata itu mengalir menuruni pipiku tanpa seizinku dan membuatku mulai terisak. Dadaku membuncah meledakkan berbagai rasa sedih, sesak, dan terkejut yang berada di dalam tubuhku, mengeluarkannya secara sentak yang mengagetkanku. Segala rasa langsung berhambur keluar dan saling menyatu padu membuat suatu perasaan yang sangat tidak kumengerti. Beginikah rasanya mendapatkan jawaban atas hal yang dipertanyakan selama ini, tetapi berkat hati belum terlalu kuat diri kita hanya bisa menangis menyerap semua pengetahuan?

Kalau tahu akan merasa sesesak ini, lebih baik sedari awal aku tidak perlu mengharapkan mendapatkan jawaban. Bila semenjak awal aku tahu dengan mengetahui alasanku mengikuti permainan dan siapa yang melatihku akan membuatku merasa sangat hancur dan terkejut seperti ini, lebih baik kuhancurkan saja rasa penasaranku. Lebih baik aku tidak merasa sesedih ini dengan mengu-rung kuat rasa penasaranku agar tidak keluar dan membuat jawaban di kepalaku muncul. Lebih baik aku tidak tahu sama sekali daripada efek sampingnya membuatku sakit. Aku tidak ingin merasa sakit...

Kututupi mata yang kerap mengalirkan air mata tersebut dengan sedih, aku tidak tahu nyatanya diriku di masa lalu sangat menyedihkan karena terpaksa melakukan permainan ini. "Ternyata dulu aku masih dapat bermain bersama Danar dan Lala, tetapi berkat kedatangan Arsani yang bersikeras menculikku, hilang sudah segala kehidupan normalku. Hilang sudah keseharian yang sebelumnya kuanggap terlalu datar!" ucapku di tengah isakkan, berusaha melampiaskannya dalam bentuk perkataan. "Kalau saja sejak awal dia membiarkanku hidup damai di dunia manusia, aku tidak perlu memaksakan diri beradaptasi di lingkungan iblis yang sangat asing. Mungkin saja dia salah, tempatku bukan di dunia iblis melainkan manusia yang katanya omong kosong belaka."

Aku mengangkat tangan dalam gerakan lambat hanya untuk menjatuhkannya ke atas rumput, lelah menutupi derai tangis yang sudah terlihat jelas. "Mengapa dia memaksaku ke dunia iblis tempat dimana tidak ada seorang pun menghargaiku? Malah setiap orang--iblis--yang melihatku langsung berteriak murka dan melempari batu. Mungkin aku belum mengingat dengan jelas bagaimana mereka melempariku batu, tetapi aku sudah yakin tidak ada yang menginginkan-ku."

Bahkan orang tuaku.

Di kenangan itu saja aku ingat betapa sedihnya diriku ketika memikirkan tidak dapat membuahkan respek keluargaku karena sangat takut membunuh. Aku ingat betapa putus asanya diriku saat sadar jalan yang ditempuh demi orang tuaku sangatlah sulit. Aku pula sadar, apakah dengan memenangkan permainan dan mengembalikan kembali respek keluargaku dari kalangan iblis akan membuat mama papaku menyayangiku?

Mama papa, sebenarnya apa yang telah kulakukan hingga berakhir sebagai aib bangsaku sendiri dan membuat malu keluarga Fascienne? Ya ampun, mengapa aku bisa menjadi aib? Kesalahan macam apa yang telah kuperbuat hingga harus aku mengikuti permainan pembunuhan itu demi mengembalikan respek kaum iblis? Betapa menyedihkannya aku sekarang yang sudah terlibat dalam permainan pembunuhan ini, tetapi kehilangan ingatan hingga aku lupa bagaimana caranya bertahan. Bagaimana caranya membunuh.

"Sial!" teriakku sembari mengangkat diri untuk terduduk, lelah tertidur dan melihat cerahnya langit. Mengapa kini aku malah bertindak menyedihkan dengan memandang kesal pada mentari yang ditakdirkan selalu bersinar terang dan langit biru bercahaya? Mengapa diriku kesal melihat mereka selalu terlihat asri dan cerah, tidak sepertiku yang kebalikannya kerap bersedih dan bergundah gulana? "Menyedihkan, sekarang aku iri dengan langit yang tidak ada hubungan denganku sama sekali."

Air mataku masih mengalir karena sedih. Wajah Arsani masih terbayang-bayang di kepalaku, membuatku semakin sesak. Ternyata begitu, aku dulu masih bersekolah di SMA tapi tiba-tiba Arsani datang dan menculikku. Dia mungkin meyakinkanku bahwa dirinya baik dan aku akan diantarnya ke tempat aku seharusnya berada. Namun, nyatanya para iblis yang mengenaliku dari wajah yang sepertinya amat mereka ingat, langsung melempariku dengan batu. Aku memang belum ingat bagaimana kejadian diriku dilempar, tetapi pasti bukan saat dimana salah seorang dari mereka tidak sengaja terpeleset ketika memegang batu dan tanpa sadar melepasnya ke arahku. Itu mana mungkin, mereka sengaja mengambil batu dan menargetkannya padaku

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang