Tengah Malam Dalam Permainan

48 5 0
                                    

Aku masih mengikuti Danar, Lala, dan diriku ke atap saat pulang sekolah, sedikit terkejut karena masih berada di dunia masa lalu. Apa aku akan selamanya terjebak dalam dunia masa lalu yang kulupakan dan tidak akan pernah bisa kembali ke waktuku sendiri? Apa yang sedang dilakukan oleh Mei dan Rookie sekarang? Semoga Mei tidak memanfaatkan ketidaksadaranku dengan meninggalkanku seorang diri di rumah mewah tersebut agar ditemukan oleh bangsa manusia di samping mayat wanita dan anjing yang telah kubunuh. Aku bisa dianggap pembunuh--yang memang kenyataannya--dan didiskualifikasi dari permainan karena tertangkap.

"Lihat, diputar ke kanan seperti itu dengan kuat. Jika kau lemas memegangnya dan memutar tanpa tenaga, tidak akan terjadi perputaran layaknya kunci ke lubang," jelas Danar secara padat dan singkat kepada diriku yang satu lagi dan Lala. "Karena kita menggunakan jepit rambut yang kecil, tingkat kesulitannya lebih tinggi untuk memutarnya."

"Begitu," bisik Lala sembari memperhatikan Danar dengan gerakan membobol lubang pintu itu. "Ternyata begitu teorinya."

"Sayangnya kalaupun aku butuh pengetahuan ini di saat tertentu nanti, aku tidak punya jepit rambut," keluhku dengan mendesah yang membuat Lala dan Danar sontak menoleh bersamaan. "Jadi mungkin sia-sia, maaf Danar."

Danar mengangkat kepalanya meninggalkan lubang kunci yang mulanya diperhatikannya, memfokuskan perhatiannya padaku sekarang. "Tentu saja tidak ada yang sia-sia, lihat saja hadiah ultahmu nanti."

"Iihh Danar mah tidak seru!" celetuk Lala dengan nada yang tinggi karena kesal atas hal yang tidak kuketahui. "Seharusnya itu kejutan!"

Aku yang kini hanya memandang perilaku kedua temanku dan diriku di masa ini, tertawa kecil. Ternyata jepit rambut pemberian Lala yang dulu sempat kugunakan untuk membobol rumah Neah memiliki asal usul seperti ini. Yah, pasti jika kalian mendengar kata 'jepit rambut' hanya penjepit biasalah yang terbayangkan. Namun, kini ketika kurogoh kembali kantungku dan mencoba mencari-cari topik pembicaraan itu, jepit rambuk cantik berwarna putih dengan bahan mahal yang kulihat. Aku yakin Lala memesan khusus jepit rambut ini agar terlihat mahal dan cantik, tetapi cukup kuat hingga dapat kumanfaatkan sebagai membobol lubang pintu jika tidak sedang memakainya. Unik sekali jalan pikirannya. Namun, aku tetap tersenyum melihat jepit rambut putih yang kini berkilau diterpa cahaya mentari yang merembes melalui jendela pintu, merasa senang atas pengetahuanku ini.

Wahai, sudah berapa banyakkah kenangan serta berbagai macam memori penting yang dapat membuatku tersenyum seperti ini lenyap, pergi meninggalkanku? Apa salahku hingga pantas mendapatkan rasa sesak di hati saat melihat sendiri hal yang telah kulupakan diputar balik di depanku bagai rekaman?

"Dasar kalian," ujar diriku pelan, dia tersenyum manis dengan raut wajah bahagia. "Apapun yang kalian berikan, pasti akan kuterima dengan lapang dada. Asalkan barang tersebut pemberian Lala dan Danar yang merupakan orang penting dalam hidupku ini, apapun pasti kuterima."

Lala tersenyum membalasku. "Meskipun hanya berupa jepit rambut kecil yang tidak terlalu mencolok?" Padahal dia membelinya dengan harga tinggi dan pastinya cukup merepotkannya. Namun, walaupun sekarang ada rasa keinginan untuk mengembalikan jepitan mahal pemberiannya karena tahu kemahalannya, aku tahu Lala rela. Dia ingin aku menerimanya, sebagai wakil dirinya dalam hidupku bila dia tidak ada di sisiku. "Walupun hanya benda kecil?"

Aku tertawa senang mendengarnya hingga harus membungkam mulutku agar tidak tergelak liar. "Malah yang kecil itu lebih baik, agar aku bisa membawanya ke manapun dan kerap memikirkanmu ketika melihatnya, kan?"

Lala mendesah nafas dengan lega. "Dasar tidak punya selera! Apa yang kuharapkan dari teman tanpa nama?" Lala menyikut perut Danar untuk ikut menertawaiku, berniat mencari teman dalam halnya membercandaiku. "Bagaimana Danar?"

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang