Danar dan Lala amat baik padaku,mereka bersikap layaknya teman setia yang menyenangkan. Kami bertiga kerap menghabiskan waktu bersama setiap makan siang sejak hari pertama kami berkumpul, yaitu dua hari silam. Lala selalu bertutur kata tentang betapa lelaki di kelasnya tidak menunjukkan perubahan mengenai fisiknya walaupun ia telah berkomentar.
"Ada seorang lelaki bernama Rehan, ia benar-benar menjengkelkan dengan selalu menyebutku manis dan sebagainya, wajar saja aku mengamuk," dengus Lala sembari mengunyah keras bekalnya, menunjukkan kemarahannya. "Mengapa mereka selalu seperti itu?"
"Sudahlah Lala, tidak penting apa yang orang katakan," tanggapku. "Lebih baik kita makan saja."
Lala menggerutu, bekalnya dicengkeram erat-erat hingga jarinya membiru seperti langit terang di atas kami. "Namun, rasa kesalku tidak kunjung pudar! Kau tidak tahu bagaimana perasaan seorang gadis yang hanya dipandang melalui penampilan fisiknya semata, betapa sakitnya."
Danar angkat tangan, ia mengalihkan perhatian Lala dariku dan membuat kami berdua menatapnya. "Memang apa masalahnya dengan dikagumi orang lain? Bukankah itu merupakan sesuatu yang membanggakan?" tanyanya tidak mengerti situasi, pasti akan membuat Lala semakin mengamuk dan berceloteh panjang. "Apa alasanmu untuk marah pada apa yang dipikirkan seseorang mengenaimu?"
Menarik, pertanyaan itu membuat Lala bungkam walaupun hanya berjalan semenit. Meskipun begitu, itu merupakan semenit yang menenangkan. Saat Lala sudah mendongakkan wajahnya lagi, tanpa sadar aku mengeluh dengan kesal, mengapa gadis ini sangat kompetitif menanggapi Danar yang hanya sekedar bertanya? Amat tidak ingin terdiam mendengar seseorang menusuknya dengan kata-kata yang ia tahu merupakan fakta?
"Danar!" Mulai sudah perang kata antara Danar dan Lala dimulai dari gadis ini, aku berasumsi. Namun, ternyata Lala menghela nafas terlebih dahulu sebelum berkata, "Bukannya aku tidak senang dikagumi seseorang, alasan orang tersebutlah yang mengusikku. Mereka hanya melihatku dari penampilanku saja, terlalu terbutakan oleh bagian luarnya hingga melupakan yang ada di dalamnya. Dalam hidupku, aku sudah sering mendengar kata-kata 'manis', 'cantik', sungguh. Namun, pintar? Cerdas? Tidak sekalipun, bagian itulah yang menyesakkan."
Aku terdiam, kunyahanku berhenti. Kusadari Danar juga bukan lagi sekedar berpura-pura menanggapi mimik sedih Lala, ia sendiri pun mulai kasihan padanya. Apa yang Lala katakan memang benar, pastilah orang-orang di sekitarnya terlalu melihat kemanisannya hingga hanya berpikir sebatas itu mengenai dirinya, melupakan potensinya. Aku jadi berpikir tentang aktris yang memiliki orang tua terkenal, pasti dianggap banyak orang sukses hanya karena dasar keturunannya bukan kemampuannya. Memang menyedihkan bila kita hidup dan menjalani keseharian di sekitar orang-orang yang berpikiran sempit dan tidak menghargai, pasti menyesakkan.
Lala masih tertunduk, tetapi wajahnya segera ia dongakkan, entah mengapa senyumnya terkembang. "Terima kasih telah mendengarkan, aku menghargainya." Lalu ia kembali ke bekalnya, mulai meraup nasinya sesendok penuh dan memasukkannya ke mulut. Air wajahnya sudah mulai cerah lagi, mungkin ia telah terbiasa merasa tersakiti seperti itu. Mungkin Lala lebih dari sekedar tuan putri yang dipahami orang banyak, ia tegar.
"Maaf ya Lala," sesal Danar dengan raut kusut karena prihatin akan seseorang di hadapannya yang selama ini selalu mengeluh. "Mungkin aku juga seperti mereka, terlalu terpaku pada sampul buku hingga tidak mementingkan isinya yang dapat saja mengandung lebih banyak keindahan daripada luarnya."
Lala menggeleng, tersenyum menenangkan. "Dengan berpikir seperti itu, kau sudah berbeda dari yang lainnya Danar, paling tidak kau berusaha mengerti dan itu sudah cukup bagiku." Lala menolehkan pandangan padaku. "Kau juga, dari pertama kali berjumpa kutahu kau berbeda, teman tanpa nama."
Aku tergelak pelan mendengarnya, terlalu melonjak-lonjak hingga bekalku hampir melompat dan menumpahkan isinya. Untung refleks Danar cukup cepat dan menangkapnya sebelum bekal tersebut menghantam lantai dan hilanglah makan siangku. Ia menghela nafas lega dan menyodorkannya kepadaku, aku menggumamkan terima kasih yang ditanggapinya dengan anggukan. Kami bertiga kembali makan dalam tenang, tetapi bukan canggung. Mungkin ada seseorang yang merepresentasikan keterdiaman sebagai bentuk ketidakdekatan ataupun kecanggungan, tetapi bila teman yang dipertemukan berkat takdir, saling tutup mulutlah percakapan paling tenang bagi mereka. Bagi kami.
"Namun, harus kuakui bila yang kaumaksud dari bagian dalammu adalah otakmu, mungkin akan kuragukan," bisikku pelan, mencoba bergurau yang membuatku mendapatkan tatapan sengit dari Lala dan disusul pukulan ringannya. "Cuma bercanda!"
Lala mendengus. "Ya, candaan dari seseorang yang bahkan tidak dapat mengatakan namanya sendiri!" Tawa Lala menggema di sekitar, raut wajahnya kentara sekali sangat bahagia. "Ups, apakah aku sudah kelewatan?"
Danar mendengus dan mencoba menengahi. "Kalian berdua! Lala, kau kan yang paling tahu bahwa ia tidak suka membicarakan namanya!"
Pft
"Heh?" ujar Lala dan Danar hampir bersamaan, mereka menoleh ke arahku yang sedang menundukkan kepala. Namun, terlambat mereka sadari aku bukanlah tenggelam dalam kesedihan ataupun amarah, alih-alih diriku tidak mampu menahan mulut untuk mendekam tawaku.
"Kalian terlalu serius! Danar dan tuan putri pemberang!" seruku yang membuat Danar dan Lala saling mendengus, dikiranya aku tersinggung. "Sudahlah, mari kita bersiap-siap ke kelas lagi, bel pasti akan berdering dalam beberapa menit."
Lala mengangguk, ia dengan gesit membenahi bekalnya dan meletakkannya ke dalam tas kecilnya. Dalam waktu singkat ia telah selesai menyiapkan segalanya dan beranjak ke Danar yang masih berusaha menutupi kotak bekalnya. Aku hanya melihat mereka berdua dalam diam, masih memikirkan kata-kata Lala sebelumnya. Mereka tidak perlu tahu bilamana aku cukup tersinggung dengan perkataan Lala sebelumnya dan sungguh memikirkannya. Aku sendiri pun entah mengapa melupakan alasanku enggan mengucapkan namaku, bahkan menyebutkan huruf pertamanya pun sulit. Rasanya terdapat sesuatu di sudut mendalam otakku, yang telah merancangku untuk membungkam mulutku seperti mantra sihir. Apa aku pernah dikutuk?
Yang bahkan tidak dapat mengucapkan namanya sendiri...
Aku ingin mengatakannya, sungguh. Mengucapkan namaku bagaikan itu adalah sebuah mukjizat, layaknya tidak ada hambatan sekecil apapun yang dapat menghalangiku mengatakannya. Namun, sungguh terlalu yang namanya masa lalu itu, bahkan walaupun otak ini tidak dapat mengingatnya, hatiku akan senantiasa mengingatkanku. Aku tahu bagaimana sulitnya mengucapkan namaku, tetapi alasannya kulupakan. Bagaikan terbangun dalam rasa sakit, tetapi ingatan kita tentang dari mana mendapatkannya lenyap, hanya menyisakan luka tanpa arti, tanpa pengetahuan. Lebih baik tidak ingat sama sekali dari awal, baik otak maupun hati ataupun perasaan karena kita tahu hal tersebut tidaklah berguna.
"Teman tanpa nama?" Aku tersentak, menolehkan pandangan pada asal suara dan berdirilah Lala dengan Danar di sampingnya, sudah menyiapkan segalanya, bersiap turun. Mereka menatapku layaknya aku berada di dunia lain, memandang keduanya bagai dari hologram, tetapi suara Lala menarikku kembali, mengingatkanku bahwa aku memiliki tempat pulang. Dari mana aku menyimpulkannya? Aku sendiri juga tidak tahu, tetapi daripada hanya terjerat kesakitan setiap kalinya teringat akan kesulitanku tentang namaku? "Hei, ayo ke kelas."
Aku mengangguk, mengikuti langkah Lala yang mendahuluiku disusul Danar di belakangku. Kami mungkin baru bersama selama tiga hari sebagai teman, tetapi segala hubungan memiliki awal tersendiri dan milik kami sudah ditentukan. Mungkin kami bukanlah teman tersempurna yang dapat selalu bersama melewati hari ke depannya, tetapi bukan itulah standar pertemanan bagi kami. Asalkan bisa selalu bersama, bahkan walaupun hanya mencoba, itu sudah cukup.
"Kalian berdua lama sekali!" protes Lala dari depan, tangannya dilambaikan dengan kecepatan luar biasa. "Akan kutinggalkan nih!"
Aku tersenyum mendengarnya, menoleh ke belakang untuk menyambut tawa Danar setelah mendengar candaan Lala. Ia pura-pura mendengus kesal selagi beranjak ke diriku, berusaha mensejajari langkahku yang hampir mendekati Lala. Ia menyeringai menantang selagi memperagakan teknik berlari, membuatku semangat.
"Coba saja kalau kau bisa mengalahkanku ke kelas, yang kalah traktir nanti." Dengan itu, perlombaan dimulai dalam tawa canda dan keseriusan, Danar sungguh tersenyum walupun kuajak bersaing demi traktiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Ragaku
FantasyTidak perlu kusebutkan namaku. Abaikanlah pula masa laluku. Karena yang terpenting nanti aku akan memilih opsi. Satu akan memperkuat jati diriku sebagai Iblis. Atau satu lagi Yang akan mengembalikanku menjadi diriku yang dulu. Apapun pilihanku, aku...