"Aku akan turun!" seru wanita itu sembari melangkah, tapakan kakinya menggema di lantai atas, membuat jantungku mencelos.
Aku tidak dapat berpikir dan bernafas tenang, terlalu gelisah membayangkan tertangkap basah oleh wanita itu lalu berakhir disidang. Bagaimana caranya aku membela diri bila diri ini sendirilah kriminalnya, mencoba memasuki rumah orang secara paksa. Skenario terburuknya ialah aku akan dihukum sebagai pencuri mengingat rumah yang kumasuki milik seorang kaya dengan berbagai macam perabotan mahal di dalamnya. Ya ampun, mengapa wanita itu menanggapiku di saat buruk seperti ini?
Terdengar suara terbuka dari arah pintu depan, tetapi aku terlalu panik untuk ingin tahu dan beranjak ke balik sofa, berusaha bersembunyi. Dalam hati, aku berkali-kali berharap agar wanita itu mengira ia salah paham dan kembali ke atas menuju kamarnya, hal tersebut akan sangat membantu. Namun, dengan langkah kakinya yang terdengar semakin mendekat, aku terpaksa berpikir akan mengucapkan apa di persidangan sebagai kata-kata terakhirku, mungkin 'persetan dengan kalian semua' cukup bagus. Ah, sialan!
Dari balik sofa ruang keluarga, aku dapat melihat wanita berambut cokelat pendek tersebut melangkah turun dari tangganya. Entah apa alasanku tidak menyadari lokasi tangga yang dapat membawaku ke atas sedari awal, mungkin karena terlalu tertarik ke lukisan gadis kecil itu. Gadis yang benar-benar membuat perasaanku semrawut, aku sungguh kasihan melihatnya ditinggalkan orangtuanya meskipun usianya masih amat muda, entah apa pikiran pelukisnya. Cukup, kembali ke wanita berambut pendek itu. Langkahnya menggema dengan keras, memperlihatkan kecemasannya tentang keberadaan seseorang di dalam rumahnya, kakinya berjalan cepat ke sekeliling.
Nafasku menderu, aku masih bersembunyi di balik sofa yang merupakan tempat termudah untuk ditemukan, betapa bodohnya diri ini. Jantungku berdebar tidak karuan, berusaha melonjak keluar berkat langkah kaki wanita itu yang semakin dekat dan dekat. Matilah aku... Mati... Tidak ada lagi yang dapat kulakukan bila sudah terpojok dan tertangkap, alasan masuk akal apa yang akan dipercayai wanita tersebut jika aku berkata bukan pencuri? Mungkin Ia malah berteriak murka mendengar omong kosongku dan mulai menggebukiku sembari berteriak bahwa rumahnya tengah disusupi. Sekali lempar batu, tiga masalah menubrukku, bagus.
Tanganku mencengkeram sisi sofa dengan kuat, mataku kututup. Entah apa yang akan terjadi nanti ketika wanita itu menangkapku, aku tidak peduli lagi. Dadaku terlalu bergemuruh berkat dentuman jantungku yang tidak karu-karuan, membuat pendengaranku teralihkan. Aku tidak dapat menentukan betapa dekatnya perempuan itu dariku, seberapa jelasnya kesalahanku yang akan ketahuan nantinya. Mungkin menyelinap memasuki rumah seseorang bukanlah tindakan tepat, seharusnya aku pasrah dengan tertidur di tamannya saja. Lagi pula, taman wanita itu menyediakan parfum alam nan harum dan dapat menyenangkanku walaupun tidak bisa tidur di kamar.
Namun, aku sendiri tahu tidak dapat makan bunga, cepat ataupun lambat pasti terpaksa menyelinap juga demi makanan asli. Mana mungkin aku membiarkan diriku sendiri tersiksa setelah kehujanan dan diabaikan, lalu tertidur di taman serta kelaparan ke depannya? Betapa menyedihkannya.
Sekarang wanita itu sudah berada di sisi lain sofa, curiga dengan hembusan nafas tertahan 'sesuatu' di ujung sana, tempatku berada. Langkahnya sudah mulai terdengar lagi setelah terdiam beberapa saat, mungkin ia menyiapkan pisau ataupun benda lainnya untuk mempertahankan diri. Aku mengeluh, seharusnya akulah yang ketakutan sekarang, bukan ia!
Namun, di saat-saat terakhir, di detik paling menegangkan saat langkahnya hanya tinggal beberapa meter dan jantungku terasa akan berhenti berkat keberadaannya, suara tapakannya menghilang, pudar. Degupan jantungku masih berdentum dengan cepatnya, tetapi sekarang bukan karena ketakutan lagi, alih-alih karena kebingungan. Apa alasannya berhenti di tengah jalan? Kalau aku menjadi pemilik rumah semewah ini, kecurigaan sekecil apapun bahkan bila tikus masuk pun, pasti akan kuteliti keganjilannya. Hingga aku sudah merasa aman dan tenang setelah berputar-putar rumah tanpa adanya bukti nyata kecemasankulah, langkahku akan berhenti.
"Ternyata memang ada penyusup kecil di sini."
Mataku membelalak, mulutku terbuka. Tanganku terlalu gemetar untuk sekedar mencengkram lengan atasku demi menenangkan diri walaupun tahu segalanya sudah selesai. Wanita itu sudah menemukanku, hanya tinggal tunggu waktu hingga ia melaporkanku dan riwayatku tuntas. Keringat dingin sungguh menjalariku, aku berani sumpah bilamana wanita itu akan menarikku keluar dari tempat 'persembunyianku', ia takkan mau memegangiku.
Tunggu, mengapa lama sekali?
"Sudah kubilang berapa kali! Kalau kau ingin datang, paling tidak kabari aku dulu sehari sebelumnya." Suara wanita itu menggema, tetapi bukan di dekatku. Kupaksakan diri di atas segala kecemasan dan ketakutan untuk melongokkan kepala yang kutahu merupakan resiko. Wanita itu ternyata tidak berdiri di seberang sofa ataupun di ruang keluarga tempatku bersembunyi, tetapi jauh dariku. Entah dengan siapa ia bertutur kata, yang kudengar hanyalah suara berat lelaki menjawabnya. Tunggu, sejak kapan ada orang lain di rumah selain wanita itu? Apa jangan-jangan lelaki itu datang berkunjung ke rumah sang wanita tanpa mengabarinya? Gawat, bagaimana jika ia sempat melihatku dalam perjalanannya atau yang paling parah, menangkap basah saat aku membobol pintu kenalannya?
"Dasar! Paling tidak jika kau mau pulang tanpa berita, beri aku kabar baik!" keluh wanita tersebut, kulihat ia mendengus sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Jangan bilang kau belum menemukannya sampai sekarang, Jin."
Kucoba untuk merangkak keluar untuk mencari-cari tempat persembunyian lainnya sebelum mereka menemukanku. Namun, entah mengapa kakiku malah mengkhianatiku dengan bergerak menuju suara mereka. Aku bersembunyi di dinding tangga, berusaha menguping pembicaraan. Kini dari jarak dekat, dapat kulihat kulit kecokelatan lelaki di depan wanita tersebut dengan baju kasualnya, celana panjang dan kaus oblong. Rambutnya bergaya biasa, dipotong pendek selayaknya bapak-bapak pada umumnya. Mungkin mereka berdua suami-istri yang sedang bertengkar akan sesuatu, atau sedang mencari hal penting lainnya. Dari mimik keduanya, aku yakin permasalahan yang sedang terjadi cukup serius hingga air wajah keduanya tampak tegang, sudah jelas sang suami tidak pulang dengan kabar gembira.
"Maaf Neah, aku tidak dapat menemukannya di manapun, bahkan sekolahnya juga." Wanita yang dipanggilnya Neah terbelalak tidak percaya akan ucapan suaminya, Jin. "Benar, aku pula curiga."
Aku tidak perlu mendengar masalah hubungan rumah tangga sekarang, ada hal lain yang lebih kucemaskan. Apakah lelaki itu tidak berniat pergi dalam waktu dekat? Gawat, walaupun ia berkemungkinan tidak melihatku, tetap saja mengkhawatirkan berada di rumah orang lain dengan dua orang di dalamnya. Dua orang, dua kali kewaspadaan, berlipatlah kemungkinan aku akan tertangkap. Semoga lelaki itu akan segera pergi dengan alasannya mencari siapapun yang mereka hilangkan.
Oh ya, aku baru sadar sejak kapan lelaki itu masuk. Saat aku mulai melihat-lihat rumah dan berniat bersembunyi, entahlah. Intinya, aku ingat sempat mendengar pintu depan yang terbuka tanpa usaha, mungkinkah itu ia? Namun, bila begitu keadaannya seharusnya ia cemas dengan kemungkinan dirampok mengingat pintunya tidak terkunci, bukan? Bisa saja sih ia berpikir bahwa istrinya cukup ceroboh hingga lupa mengunci pintu.
"Aku harus sembunyi," gumamku, mencoba mencari kesempatan mencari tempat aman selagi mereka berdua masih berbincang. "Harus cepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Ragaku
FantasyTidak perlu kusebutkan namaku. Abaikanlah pula masa laluku. Karena yang terpenting nanti aku akan memilih opsi. Satu akan memperkuat jati diriku sebagai Iblis. Atau satu lagi Yang akan mengembalikanku menjadi diriku yang dulu. Apapun pilihanku, aku...