Pelatihan Dahulu

45 4 0
                                    

Saat itu, entah berapa minggu atau bulan yang lalu aku sudah menetapkan keputusanku untuk bertanding dalam permainan pembunuhan itu. Arsani berada di sisiku demi mendidik kemampuanku sebagai seorang iblis, walaupun belum begitu kuat karena masih berumur lima belas. Lelaki yang telah membakar habis kebahagianku di dunia manusia, kini berusaha menciptakan kesenangan baru di dunia iblis. Aku tahu posisiku sebagai seorang aib bangsa iblis, tetapi tetap saja lupa apa alasannya. Mungkin saat itu aku masih mengetahuinya dengan sangat jelas hingga segalanya terasa sesak.

"Pertama-tama kau harus bisa bela diri sebagai seorang iblis, bedanya bukan untuk melindungi diri tapi membunuh manusia." Entah mengapa walaupun sudah tahu tujuanku nanti mengikuti permainan ialah untuk menang yang berarti membunuh banyak orang, dadaku tetap sesak mendengarnya. "Iblis dewasa memang sudah dapat menggunakan sihir kelam, mengeluarkan aura dan mengucapkan mantra. Namun, sebagai iblis di bawah delapan belas kau hanya bisa bergantung pada dirimu sendiri."

Aku mengangguk mengerti mendengarnya walaupun kutahu hati ini sakit memikirkan akan segera menjadi pembunuh keji cepat atau lambat. Segalanya hanya masalah waktu, pasti suatu saat nanti aku harus menumpahkan darah manusia meskipun diriku tidak menginginkannya, naluri iblis. Maka aku bersumpah bila terpaksa membunuh manusia, akan kulakukan secepat dan sesegera mungkin agar mereka tidak merasakan sakit berlebih.

"Apa kuasamu Arsani?" tanyaku yang membuat wajah lelaki itu menoleh, mata kelamnya menatap tajam bagai menusuk relung hatiku. "Katamu setiap iblis pasti memiliki kemampuan setelah beranjak delapan belas, aku ingin tahu apa milikmu?"

Arsani yang kutanya hanya dapat terdiam seribu bahasa, entah karena terkejut berkat pertanyaanku semata atau berniat merahasiakannya dariku. Dia hanya tersenyum hangat sebagai jawabannya, tidak terlihat ingin menjawabnya. "Kuasaku tidak boleh kuhumbar karena dapat merepotkanku."

Aku menatapnya dengan heran. "Kau tidak mempercayai aku sebagai temanmu?" tanyaku yang membuatnya terpaku sebentar sebelum kembali menatapku. "Sial, padahal kau sudah menculikku, tetapi masih saja tertutup."

"Apa kewajibanku untuk terbuka padamu, Tara?" ujarnya dengan nada yang ketus, tampak jelas dia sudah berusaha menyembunyikan kekesalannya tapi aku tidak setuli itu untuk tidak mendengar perubahan intonasinya. "Aku hanya ditugaskan untuk menjemputmu pulang dan membantumu melewati keseharian sebelum para iblis mulai mendiamimu. Karena terpikir permainan itulah, aku berniat membantumu demi mempersingkat durasi tugasku."

Aku tersentak mendengarnya menyebutkan tugas. Setelah melihatnya menculikku tidak lama ini yang merupakan hal mengejutkan di tengah keseharianku bersama Danar dan Lala, aku tahu dia semata-mata ditugaskan. Arsani hanyalah iblis pada umumnya yang mengincar sesuatu hingga rela mengemban tugas, entah apa imbalannya setelahnya aku tidak tahu. Namun, mengapa dia mengatakannya dengan nada bagai tidak peduli kepadaku sama sekali, melakukan segalanya--tersenyum padaku, melatihku--hanya karena tugasnya? Benarkah hanya itu alasannya karena aku begitu tidak berarti?

Aku bukannya menyukainya, hanya saja diriku kecewa. Setelah melihat reaksi para iblis ketika sampai di dunia ini yang melempariku bagai kucing kotor pengganggu, aku tentunya lega melihat kebaikan Arsani padaku. Dia terlihat cukup tulus ingin melindungiku dan melakukan apapun asal aku mendapat respek dari iblis lainnya. Namun, sekarang aku menatap mata dingin yang sebelumnya hitam kelam penuh kehangatan itu dengan bergeming. Arsani hanya menganggapku tugasnya semata, tidak ada seorang pun yang menginginkanku hidup.

Semuanya termasuk orang tuaku.

"Apa aku benar-benar tidak boleh tahu tentang kuasamu?" tanyaku lirih walaupun sudah kutahu jawabannya yang pasti membuatku semakin sedih mendengarnya nanti. "Apa ini karena kau berhadapan dengan Tara Fascienne, seorang aib?"

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang