Helaan nafasku memberat menjadi desahan tertahan, mulutku bergeletuk dengan kencang menghantam geligiku. Uap putih membumbung tinggi menyelaraskan diri dalam kelam malam. Hujan masih turun menghujam bumi, dengan tanpa pamrih mengguyur apapun yang menghadang jatuhnya. Aku masih tetap berpakaian basah dengan sepenjuru tubuh tertutupi air, membuat ragaku menggigil dalam kedinginan. Kutolehkan wajahku menuju satu-satunya cahaya yang menyinari langit, jendela salah seorang wanita di rumahnya. Wanita sama dengan rambut pendeknya dan wajah cemasnya yang sebelumnya berteleponan. Mungkin wanita itu tertekan dengan berita apapun yang disampaikan oleh lawan bicaranya lewat telepon tadi, terlihat amat gelisah.
Dengan posisi di tengah semacam tanah kosong beraspal yang kuduga tempat penduduk sekitar saling berinteraksi dan anak-anak bermain, seharusnya wanita itu berkemungkinan melirikku dari jendelanya. Aku termenung, bingung dengan alasannya tidak memperhatikanku sebelumnya, apakah ragaku tembus pandang baginya? Sungguh, diriku sudah malas melambaikan tangan ataupun berteriak semalas aku tetap terguyur di bawah sini.
Mungkin kisahku belum selesai dituntaskan hingga jawaban dari keberadaanku di sini tidak terjawab, meninggalkan ketidakpahaman mengenai alasanku di kota ini. Namun, aku sudah puas diterpa angin dan dihujam hujan bila kau bertanya, kaki ini akan melangkah. Mungkin wanita itu tidak menanggapiku yang berdiri pasrah di bawahnya, maka sekaranglah giliranku membuatnya frustasi.
Aku memang tidak mengenalnya hingga pantas menyelinap memasuki rumahnya, tetapi bila harus menjadi orang asing yang bertindak kriminal dengan memasuki rumah seseorang, akan kulakukan secara maksimal. Aku memang tidak tahu benda macam apa yang membentuk rumahnya, tetapi segala jenis makanan dan minuman pastilah merayapi perutku nanti. Aku pula ber-wah sebentar ketika memindai rumahnya lagi. Rumah krem dengan banyak jendela yang mengelilinginya, membuatku yakin terdapat banyak kamar. Karena kutahu setiap orang secara umumnya mempunyai jendela setidaknya satu di setiap kamar. Mungkin aku dapat mencoba menyelinap ke salah satu kamar yang kuharap kosong di antara selusin banyaknya. Kulihat jendela tempat wanita tersebut berdiri cemas dihiasi pot di meja tinggi di sebelahnya, tampak cukup elegan dan mewah.
Cukup. Kakiku mulai melangkah menuju sisi rumahnya, dengan mudah menemukan knob pintu. Dikunci, tentu saja. Dengan jepit rambut pemberian Lala, kupaksakan diri membobol lubang kunci. Sulit sekali memposisikan ujung jepitan ke bagian terdalam dan memutarnya dengan kencang, tiada bunyi sedikit pun. Aku takut jikalau percobaan ini gagal dan aku tidak dapat menyelinap masuk, akan ke mana aku pergi? Di sekitar sini rumah yang terlihat sangat hidup dengan sinaran lampunya hanya ini, membuatku bergidik membayangkan munculnya hantu di salah satu pintu tetangga.
Sial, walaupun sudah kudorong dengan kuat dan kuputar kencang, kunci tidak terdengar terbuka. Adrenalinku terpacu saat hening malam mulai merambati sekitar, menyamarkan bunyi hujan yang tengah mereda dan menggantinya dengan suara setenang kuburan. Aku ingin berteriak frustasi, kurasakan detak jantungku berdegup kencang. Keringat dingin mulai menjalari tanganku, membuat genggamanku ke jepitan goyah dan hampir menjatuhkannya dengan telak. Kucoba mengatur nafas dengan setenang mungkin, tetapi suara-suara mengerikan sangat sukses menahanku. Terdengar sayup-sayup suara bisikan lelaki mengerikan yang menggantung di udara, ketika menoleh aku hanya menatap langit gelap tanpa bintang. Hantu!
"Tenang, tenang," ujarku selagi jantungku membuncah tanpa ampun di dadaku. "Tidak ada gunanya menakuti diri sendiri, mari tenang..."
"Tara?" Aku melonjak terkejut ketika mendengar suara pelan seseorang, membuatku terlompat. Tidak mungkin hantu, hal tersebut mungkin dipercaya orang banyak, tetapi bukan aku. Aku hanya mulai gila dengan mendengar suara-suara, ya itu lebih masuk akal.
Setelah mencoba bernafas dan melupakan serentetan suara mengerikan lainnya yang kucoba pahami sebagai kegilaanku, jepitan pemberian Lala kembali kumasukkan ke lubang kunci. Jika ini tidak berhasil lagi, mungkin aku terpaksa mendekam diri di salah satu taman di sekitar sini, menyelimuti diri dengan daun. Oh sangat menyedihkan! Setelah kehujanan lebih dari sepuluh menit akibat tidak tahu harus melakukan apa di tempat asing, kini aku harus berhadapan dengan lubang kunci yang bila tetap seperti itu, terpaksa raga ini harus tertidur di balik sela dedaunan. Aku memang belum memperhatikan lingkungan sekitar yang teramat gelap tanpa lampu, tetapi kuduga terdapat taman di sekitar sini. Lihat saja, bahkan wanita itu memiliki taman manis di depan rumahnya dengan berbagai macam bunga di samping pintu utama yang sedang kubobol ini. Tercium samar-samar aroma bunga melati, mawar, dan anggrek jika kau mengaktifkan dan menajamkan alat indra, sungguh harum. Mungkin aku akan memilihnya untuk bermalam bila tidak mampu menyelinap memasuki rumah ini, taman berbau wangi dapat sekiranya cukup menenangkan.
Aku menghela nafas, kembali terfokuskan. Tiba-tiba, memori lama kembali menghampiriku bagai anak panah yang melesat menuju targetnya, menancap kuat di relung hatiku. Aku ingat bagaimana cara efektif untuk membobol kunci pintu, seseorang telah mengajarinya dulu ketika awal SMA. Maka kupraktekan dengan masygul dan berharap usahaku akan terbayarkan, bunyi kunci pintu terbuka akan terdengar bagai melodi musik di telingaku.
Maka aku sangat terkejut ketika mendengarnya!
"Sungguh?" bisikku tidak percaya, memandangi pintu yang perlahan-lahan menderit terbuka dalam diam. "Ya tuhan! Selamat tinggal taman kota, sampai berjumpa kembali para bunga, aku akan menjemput kasur empuk ke depannya!"
Aku terkikik senang selagi melangkah ringan melewati pintu yang tengah terbuka, senang berhasil membukanya walaupun cukup memakan waktu untuk menunggu memoriku kembali. Untung saja aku sempat diajari membobol pintu di salah satu kenanganku, kisahku dulu, bila tidak ragaku mungkin akan kedinginan memeluk daun di taman wanita itu nantinya.
Ketika masuk ke dalam rumah, mataku langsung menyapu perabotan mewah yang membangun ruang tamu. Pintu utama rumah wanita ini langsung membuka ke deretan sofa-sofa berkulit mewah dan meja berbahan kayu mahoni nan mengagumkan. Terlihat vas mewah terpampang indah di atas meja mahoni yang kini kutelusuri dengan jari, merasakan tekstur mahalnya. Namun, yang paling membuatku terkejut ialah ruang keluarga yang berada tepat setelah ruang tamu. Kedua ruangan itu tidak dibatasi dengan pintu hingga aku dapat langsung melangkah ke depan. Terdapat sofa bergaya mewah dengan luas cukup besar untuk satu keluarga dengan dua anak, membuktikan bahwa ruang tersebut ialah ruang keluarga.
Aku tersenyum memandang sekeliling, lantai pualam yang membuat langkahku bergemelutuk menciptakan sebuah nada musik yang cukup menyenangkan hati. Kulihat televisi besar di hadapan sofa besar tersebut, terlihat amat mahal. Namun, yang paling menyita perhatianku ialah lukisan aneh di atas sofa ruang keluarga. Lukisan gadis kecil yang tengah ditinggalkan kedua sosok lelaki dan perempuan, kemungkinan orang tuanya. Wajahnya amat sedih selagi pasrah memandang kedua sumber hidupnya perlahan-lahan menjauhinya.
"Ada seseorang di bawah? Aku mendengar suara langkah kaki." Nafasku tertahan, langkahku terhenti. Suara seseorang dari lantai atas menghentikan pengamatanku, mungkin wanita itu menyadari rumahnya telah disusupi. Apa yang harus kulakukan sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Ragaku
FantasyTidak perlu kusebutkan namaku. Abaikanlah pula masa laluku. Karena yang terpenting nanti aku akan memilih opsi. Satu akan memperkuat jati diriku sebagai Iblis. Atau satu lagi Yang akan mengembalikanku menjadi diriku yang dulu. Apapun pilihanku, aku...