Mengambil Risiko?

32 5 0
                                    

Kami berdua turun dari kamar setelah saling bercengkrama di atas, berniat membuat sarapan dan makan. Rookie berjalan lincah di dekat kakiku, sesekali menghindari tapakanku agar tidak terinjak. Rookie cukup besar untuk sekedar bayi golden retriever, tetapi aku sungguh menyukainya. Malang sekali nasibnya kelaparan dan berdiam diri saja di tempat aku menemukannya bersama Mei, andai saja kami datang lebih cepat lagi.

"Rookie, apa kau lapar?" tanyaku padanya saat aku mengangkatnya ke pelukanku. "Mei dan aku akan memberimu makan yang enak, janji pasti dihabiskan ya?"

"Enaknya jadi anjing," ucap Mei pelan di sampingku yang langsung membuatku menoleh padanya. "Kalau jadi anjing, tidur dan diajak makan bersama majikan lebih terlihat normal, ya?"

Aku menggerutu. "Kalau kau anjing, pasti jadi bulldog!"

"Hei, kejam sekali kau!" Aku pun langsung lari menuruni tangga sambil tertawa melihatnya menggerak kesal selagi mengancungkan tangan, pura-pura ingin memukulku. "Tunggu Tara!"

Rookie sontak lepas dari genggamanku saat Mei berhasil menahanku dengan memegang pundakku, membuatku menjerit seketika. "Hei, aku bisa jatuh jika kau menahanku di atas tangga!"

"Apa peduliku?" ujarnya yang membuatku langsung berbalik untuk memukulnya ringan. "Hei!"

Aku tersenyum tipis. "Ya sudah, ayo makan. Aku ingin coba membuat masakan untuk sarapan, semoga saja tangan ini ahli."

Setelah kembali memeluk Rookie yang nyatanya menunggu untuk diangkat dengan mengekor di sebelahku, aku dan Mei berjalan ke arah dapur. Aku tidak tahu apa diriku yang dulu memiliki bakat dan pengalaman seorang pemasak, tetapi apa salahnya mencoba, toh makanan gagal pula tidak ada yang membunuh kecuali kau menaburi racun sungguhan. Maka dengan ringan hati aku berjalan ke arah dapur dan mendorong Mei ke kursi, menyuruhnya menjadi anak baik dengan menunggu.

"Tolong jangan bunuh aku!" serunya dengan kalap, jelas sekali tidak ingin mencoba masakanku yang sungguh membuatku tersinggung. Padahal dia belum pernah mencicipinya selama ini, mengapa dia langsung curiga masakanku buruk? "Sungguh, lebih baik aku saja yang masak-"

"Tidak, anak perempuan yang harus masak," ujarku dengan tegas yang membuatnya semakin menggelengkan kepala. "Aih, kau berlagak seperti pernah memakan masakan kelas atasku saja."

Dia menghela nafas pelan. "Aku pernah sekali, kesalahan yang sangat fatal!" Aku mengerutkan dahi, masa dia pernah mencoba masakanku? "Entah apa yang kau masukkan dan berapa lama kau menggoreng lauk, hasilnya jadi sangat hitam."

Aku terdiam sebentar. "Apa sungguh kau pernah mencicipi masakanku, Mei? Memang aku tidak pantas meragukanmu karena hilang ingatan, tetapi entah mengapa aku merasa yakin kau belum pernah sekali pun memakan masakanku."

Mei mengangkat sebelah alis. "Ah, insting ya?" Dia kemudian mendengus sembari tersenyum ringan. "Kau memang hebat, hatimu selalu menunjukkan apa yang benar dan mana yang salah. Mungkin sekarang kau melupakan segalanya, tetapi hatimu takkan pernah salah. Biar para petinggi berniat berkali-kali melenyapkan ingatanmu, hatimu akan selalu memandu."

"Apa maksudmu?" Sebenarnya aku mengerti maksudnya, tetapi aku sendiri ingin lebih mengenal hatiku. Karena aku pun tahu hatiku akan kerap menjadi acuanku dalam hidup dan meluruskanku bila melakukan kesalahan. Bagaikan pencuri, mungkin dia selalu mengambil barang orang lain tanpa berpikir dua kali, tetapi sesungguhnya hatinya menolak. Para pencuri ataupun penjahat juga sama-sama memiliki hati, tetapi mereka memilih untuk mengabaikannya. "Bisa kau jelaskan, Mei?"

Mei tersenyum. "Ingatan itu hanya sebatas memori dan daya ingat, kau bisa melupakannya kapan saja bila kau tidak ingin mengingatnya. Namun yang membuat sebuah kenangan abadi dan selalu diingat adalah perasaanmu ketika mengalaminya dulu. Seperti kenanganmu bersama mamamu, mungkin kau bisa melupakannya tapi dengan mengingat perasaanmu padanya, hatimu dapat menuntun ingatanmu," jelasnya dengan lancar dan penuh ketulusan hingga aku sontak tersenyum. Tentu saja aku melupakan mamaku, Neah, tetapi aku ingat perasaanku padanya yang bukan lain adalah kehangatan. Mungkin aku menangis mengetahui bahwa Neah bukan ibu kandungku, tetapi hatiku selalu menuntunku untuk kembali tersenyum karena kenanganku bersamanya bukanlah kesedihan. "Maka jangan panik. Mereka bisa mengambil berkali-kali ingatanmu, tetapi takkan pernah bisa merengutnya dari hatimu. Karena ingatan sejati bukan berada di kepala, tetapi di hati terdalammu."

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang