Masa Kini

40 4 0
                                    

Wanita pemilik rumah dan suaminya masih berdebat selama lima menit ke depannya, tetapi mereka berdua takkan mungkin menemukanku. Aku memilih dapur sebagai tempat persembunyian, menyelipkan diri di celah terdalam sisi kulkas. Awalnya aku tidak melihatnya dengan jelas, tetapi ketika diteliti lebih mendalam lagi, terdapat kekosongan cukup besar di sebelah kanan celah tersebut. Maka aku tinggal merapatkan tubuh selagi merayap menuju tempat itu, berharap dapat tidur dengan nyaman di dalamnya selagi bersembunyi. Mungkin baru besok pagi buta aku bisa menaiki anak tangga dan mencoba mencari kamar, berharap mereka berdua tidak akan pernah masuk ke dalamnya.

"Terserahlah, Jin! Aku tahu ia tidak menyukaiku, tetapi tolong cari putri kita selagi masih sempat," isak wanita tersebut dengan lirih, suaranya memparau selagi memohon pada suaminya. "Tolong temukan ia..."

Aku menemukan celah itu, memutar ke kanan dan mencoba melihat-lihat. Sungguh unik tataan dapur ini, salah satu lemari agak sedikit dimajukan hingga menciptakan celah cukup besar di belakangnya. Namun, saat aku melihat lemari tersebut dari depan, tidak terlihat amat aneh walaupun tahu berbeda dari yang lain. Apa mungkin pemilik rumah, wanita tersebut dengan suaminya, yang merencanakan hal ini? Namun, rasanya tidak mungkin, hal yang paling masuk akal ialah ini kelakuan putri mereka, menciptakan tempatnya sendiri. Kulihat ada sesuatu di pojokan dan ketika aku mengambilnya, sebuah lentera kecil terlihat. Kuperiksa bagian sisinya dan menemukan tempat baterai bersanding, maka benda ini berkemungkinan dapat kugunakan bila tidak memanfaatkan listrik sebagai sumber tenaga.

Bekerja!

Sinarnya tidak terlalu pekat yang merupakan kabar baik agar kedua pemilik rumah takkan menyadari cahayanya. Sungguh cerdas putri keluarga ini, menyiapkan segalanya dengan cemerlang. Menilik dari perkataan sang wanita, Neah, dan suaminya Jin, putri mereka mungkin kabur ataupun menghilang. Aku bisa mengerti mengapa, ada kemungkinan putri mereka terlalu stres dengan orang tuanya ataupun tidak dapat beradaptasi dengan mama yang dibencinya(Neah sendiri yang berujar bahwa anak mereka tidak menyukainya) hingga menyiapkan tempat kosong ini. Mungkin kini ia sudah tidak tahan lagi dan kabur dari rumah, entahlah.

"Neah, aku sudah mencarinya ke mana-mana, mau bagaimana lagi?" ucap suaminya pasrah, ia sudah tidak ingin lagi mencari putrinya. "Lagi pula, mungkin inilah yang terbaik baginya."

Mendengar kata-kata suaminya yang menunjukan ketidakpedulian terhadap putri mereka, Neah murka. "Terbaik? Sungguh hina kau suamiku! Begitukah caramu melihat putri kita, sebagai sesuatu yang tidak berharga? Orang tua macam apa kau ini, dengan mudahnya menyerah mencari buah hati yang menghilang tanpa kabar dan tidak khawatir?" Sang istri berteriak frustasi selagi mencengkeram kepalanya, muak dengan suaminya yang hanya menatapnya sembari memikirkan kata-kata demi menenangkannya. "Mengapa putriku malah lebih menyukaimu yang tidak menanggapinya daripada aku? Sungguh malang nasibnya ditipu kau!"

"Neah! Sungguh keterlaluan ucapanmu! Kaukira aku tidak mengkhawatirkannya sebesar kau padanya?" Sang suami mendorong istrinya dengan kuat, gedebuk kencang punggung Neah menabrak dindinglah yang membuatku menyimpulkannya demikian. "Dasar istri tidak tahu diuntung! Menurutmu siapa yang menyediakan segala kemewahan ini?"

Aku sudah muak mendengar perkelahian mereka yang tidak berguna, seharusnya Neah dan Jin mencari sang putri saja daripada bertengkar. Nyala lentera yang cukup terang tapi pudar membuatku dapat melihat isi celah tersebut. Tebakanku mungkin tepat mengenai putri keluarga ini yang menyiapkan tempat ini. Terdapat berbagai buku dan lemari kecil di sudut lain celah. Ketika kulihat lemarinya, terdapat kalung cantik berbentuk bulat lonjong dengan hiasan berlian mengelilinginya, sangat cantik. Namun, yang membuat jantungku berdebar kencang dan keringat dingin menjalari tanganku, ialah tulisan nama seseorang di tengahnya. Tara terukir cantik dengan hebatnya di kalung tersebut.

"A.. apa?" bisikku tidak mengerti, melihatnya dengan kepala pening.

Aku memang tidak ingat bagaimana caranya hingga aku bisa sampai di sini, dan mengapa satu-satunya hal yang masih bergelantungan dalam memori hanyalah kenangan masa lalu. Bahkan kenangan tersebut masihlah samar-samar, hanya dapatku ingat sedikit demi sedikit. Siapakah aku yang sebenarnya? Apa namaku? Di manakah orang tuaku? Sejak kapan aku terjebak di sini? Mengapa aku sendiri, sementara yang lain mengabaikanku hingga diriku terpaksa membobol masuk rumah orang lain?

Semuanya masih sangat abstrak layaknya lukisan yang belum rampung, membutuhkan berbagai macam tambahan sebelum sempurna. Hal terakhir yang kuingat ialah berada di kegelapan sebelum membuka mata di tengah hujan badai beberapa puluh menit silam. Rumah wanita inilah yang menangkap perhatianku. Kini, mengapa percakapannya dan tempat rahasia putrinya mengacaukan pikiranku? Sungguh, siapakah diriku yang sebenarnya, dan mengapa dalam kenangan yang berkelana dalam pikiranku, tidak pernah sekali pun kudengar namaku?

Teman tanpa nama. Itu julukan dari Lala.
Leona. Itu panggilanku dari Danar di salah satu kenangan.

Namun, siapakah namaku sebenarnya dan mengapa diriku yang dulu amat enggan memberitahukannya pada teman-teman? Bahkan diriku yang dulu, di saat masih bersekolah di SMA melupakan alasan penting tentang mengapa aku takut mengucapkannya, layaknya sudah dikutuk sejak lama tanpa penyebab. Apakah ini ada hubungannya dengan orang tuaku yang sama sekali kulupakan dalam kenanganku?

"Neah, apa kau baik-baik saja?" Terdengar suara menyesal Jin selagi menarik berdiri istrinya, bersuara amat khawatir. "Maafkan aku, sayang. Terlalu beremosi."

"Aku tidak apa, suamiku," ujar sang istri dengan lembut, mungkin juga sudah menyadari bahwa ia sebelumnya terlalu kasar dan memaksa. "Namun harus kau ingat, kita akan menemukan putri kita entah apapun yang menghadang."

Jin menghela nafas dengan berat, ikut berkata dengan tegas. "Aku berjanji akan lebih berusaha mencari Tara, peganglah kata-kataku, Neah." Sang istri terdengar amat senang, ia tertawa bangga kepada suaminya. "Ayo, lebih baik kita tidur sekarang."

Maka mereka berdua beranjak naik ke atas hingga suara keduanya terbenam pintu yang menutup. Aku di lain sisi masih tersiksa sakit kepala yang membuat tubuhku goyah dan terjatuh. Tanganku menggapai lentera yang berada di ujung, berusaha menyinari kembali kalungnya. Selimutlah yang malah kugenggam selagi mencari-cari, membuatku sedikit senang dan segera menggunakannya demi menutupi tubuhku. Hal terakhir yang kuingat ialah tertidur dengan kalung tersebut terbentang di tanganku.

Keesokannya, rasa peningku sudah memudar yang membuatku merasa fit lagi. Aku merangkak keluar dari tempat persembunyian setelah mematikan lentera dan merapikan kembali kalung serta selimut. Di dapur aku mencari suatu makanan yang takkan terlihat aneh untuk diambil sedikit, maka kuputuskan satu bungkus roti di lemari takkan dihiraukan kedua orang itu. Kumakan dengan pelan dan lahap, sungguh kosong perutku setelah kemarin malam.

Setelah makan, aku kembali berjalan pelan ke ruang keluarga, melihat kembali lukisan seorang gadis malang itu lagi. Ketika melangkah, kulihat jejak air mengering di lantai yang terlambat kusadari adalah bekasku semalam setelah kehujanan dan menyelinap masuk. Gawat, mana mungkin Neah dan Jin tidak menyadarinya! Tetesan-tetesan air berkat kehujanan semalam yang tidak kuperhatikan. Seharusnya kemarin aku mengeringkan tubuh terlebih dahulu sebelum masuk, sudah terlambat sekarang.

"Neah, aku akan mencari putri kita lagi, kau jaga rumah ya." Suara Jin menggelegar dari lantai atas, membuatku panik dan langsung tersungkur ke lantai. Kugunakan sisi bajuku yang telah kering berkat dibiarkan semalaman dan mengelap jejak air di lantai. Aku benar-benar ceroboh, tidak sadar satu tubuhku begitu basah hingga menggenangi sisi rumah. Bahkan waktu semalaman tidak cukup untuk mengeringkan air-air yang membaris di depan tangga hingga ke mari. "Aku akan secepatnya pulang, mungkin nanti malam atau lusa."

Gawat, langkah kakinya sudah mulai terdengar padahal lantainya masih ditutupi titik-titik bekas air. Dapatkah ia tidak menyadari keanehannya karena air yang menggenangi hanya berupa tetesan kecil? Bekas malah.Semoga.

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang