Namanya Danar, dan ialah orang pertama di kelas yang berani memanggilku. Lelaki itu masih mengangkat tangannya selagi aku berjalan tertatih-ratih ke arahnya, tersenyum lembut bagaikan bertemu dengan kenalan lama yang dinantikan.
"Hai, senang berkenalan denganmu," ujarnya saat langkahku mulai mencepat dan jarakku darinya menipis, wajah ramahnya menyapaku dengan lembut. "Silahkan duduk."
Bukannya aku punya pilihan lain selain duduk di sebelahnya, maka kulakukanlah selagi seluruh mata menatapku. Aku mendesah kesal ketika pandangan mataku mengunci gadis itu, yang dilihat hanya memutarkan mata dengan tidak manis dan mencibirku. Paling tidak, aku tidak perlu berada di dekatnya selama setahun ini walaupun terpaksa sekelas, apa pilihanku?
Selama pelajaran berlangsung, aku hanya dapat termenung menatap papan tulis dengan berbagai tulisan tertera di dalamnya. Aku menaupkan tangan di wajah, sudah mulai merasakan kebosanan walaupun kutahu baru terduduk selama lima menit. Guru itu menulis namanya di papan tulis sebagai bentuk perkenalan, Erna terpampang jelas di depan kelas.
"Hei, namamu siapa?" Terdengar bisikan lelaki di telingaku, tetapi terlambat kusadari Danarlah yang berkata. "Kau masih ingat namaku, 'kan? Aku Danar bila kau melupakannya."
Aku menoleh padanya, untuk yang pertama kalinya memandang wajahnya dengan lebih jelas. Danar tersenyum tenang, air wajahnya kentara sekali menandakan bahwa ia merupakan lelaki menyenangkan. Matanya pula sangat cokelat dan pekat, membuatku terpekur untuk beberapa saat sebelum ia menaikkan sebelah alisnya dan berubah posisi.
"Tidak, aku ingat," ucapku sembari memain-mainkan sisi meja dengan gelisah, aku akan sangat malu bila ia menyadari keterdiamanku tadi disebabkan oleh terlalu tenggelam dalam wajah tampannya. "Namun, aku belum dapat menginformasikan namaku, belum cukup tenang."
Danar di sebelahku memajukan posisinya bagai anak kecil tertarik dengan dongeng yang akan dibacakan mamanya, memandangku lebih dalam. Katanya, "Memang ada apa dengan namamu hingga kamu enggan memberitahu?" tanyanya yang membuat jantungku semakin berdegup kencang bak perang melanda di tubuhku. "Apa namamu begitu aneh atau unik yang membuatmu merasa malu?"
Aku terdiam untuk sementara sebelum menoleh dengan cepat ke arahnya, kutatap matanya dengan tajam layaknya elang. "Aku belum ingin memperkenalkan diri dengan nama, apa itu kurang jelas bagimu?" Jemariku kuangkat menuju kepala untuk menyusuri helaian rambut sembari aku menghela nafas berat, lagi-lagi kewalahan menghadapi seseorang yang tertarik untuk menguak namaku. Aku membuang muka darinya yang malah membuatnya semakin ingin menarik perhatianku. "Kau tinggal lihat saja daftar nama, tebak milikku."
Namun, meskipun satu per satu siswa dan siswi diperintahkan berdiri untuk memperkenalkan diri sementara aku membisu saja di kakiku tanpa memberi petunjuk siapa namaku, hal itulah penyebab Danar tertarik padaku. Ia tentunya menyapa kelas dengan akrab dan memperkenalkan dirinya dengan ramah tamah yang mengagumkan pada waktunya berdiri, bagai hidupnya selalu dipenuhi pertemuan. Mungkin akulah yang terlalu paranoid dan berlebihan menanggapi pertanyaan orang lain mengenai namaku, perkara tersebutlah yang menyebabkan minimnya teman di sisiku. Namun, apa peduliku?
Ketika bel istirahat menggema di seluruh penjuru sekolah, Danar menahan gerakanku dengan tangannya, menarik sisi lengan seragamku. Wajahku menoleh pada senyumannya, ingin tahu apa maksud akan pegangannya yang dapat menghambatku keluar dari kelas demi menemui Lala. Ia menghela nafas demi melihat mimik kebingunganku.
"Maaf menahanmu," gumamnya dengan pelan, tersenyum sembari mengendurkan pegangannya dariku dan menarik kembali tangannya. "Aku hanya bertanya-tanya, bolehkah Danar bergabung dalam makan siangmu?"
Aku mengerutkan dahi, tidak mengerti alasannya ingin menghabiskan waktu makan siang bersama dua gadis dan bukannya sesama laki-laki. Apa jangan-jangan Danar lebih suka bergaul dengan perempuan ketimbang lelaki yang dapat menjadikannya semacam banci? Oh, aku tidak ingin memikirkannya dan berakhir dengan kesimpulan apapun yang berkelebak dalam benakku, entah apa jadinya nanti.
"Aku bersama seorang perempuan lainnya, apa kau keberatan?" tanyaku saat kami berdua telah saling berdiri dan bertutur kata dengan normal. "Namanya Lala, ia sangat menarik."
"Benarkah? Semenarik apa bila aku boleh tahu?" Danar melangkah mendahuluiku demi membukakan pintu yang berdiri di depanku, menyilahkanku berjalan terlebih dahulu selayaknya lelaki sejati. Pilihanku satu-satunya di situasi ini hanyalah tertawa pelan selagi melangkah melewatinya, memberikan aba-aba padanya untuk mempercepat langkah.
"Lala menyerupai tuan putri ketika kau pertama kali melihatnya. Namun, gadis itu sama sekali tidak tahu menahu tentang satu faktor yang membuatnya terlepas dari citra tersebut, yang membakar segalanya menjadi menarik," ucapku dengan girang, membiarkan rambut hitam panjangku berkibar bebas saat angin berhembus di lorong kelas 10 A. "Inilah kelasnya."
"Apa kau akan memberitahuku tentang hal yang membuatnya menarik?" Ketika aku mendengar pertanyaannya, kepalaku sontak menggeleng yang membuatnya mengangkat bahu. "Sudah kuduga."
Beberapa saat kemudian, Lala berjalan anggun keluar dari kelas,wajah mungilnya langsung mencerah ketika ia melihatku berdiri di depannya. Rambut cepolannya telah ia lepas, menampakkan rambut panjang ikalnya yang menari-nari di bahunya dengan lembut. Mata hitamnya menyapaku bagai menemui kawan lama, akan membuat siapapun salah paham mengira kami teman lama.
"Teman tanpa nama!" serunya setelah ia selesai melompat-lompat lucu di hadapanku. "Mari kita makan siang bersama!"
Namun, Lala baru menyadari kehadiran seorang lagi di sampingku setelah Danar tergelak pelan mendengar julukanku. Lelaki itu memalingkan wajah demi menutupi mulut tersunggingnya dan muka gelinya. Mata gadis tuan putri di hadapanku langsung dipalingkan kepada Danar dengan ekspresi kebingungannya, seperti tidak pernah melihatnya sebelumnya.
"Sejak kapan kau di situ?" tanyanya dengan kalap, menyadari kelakuan kekanakkannya tadi dengan berlompat-lompat dan lari ke arahku bagai kucing menuju ikannya. "Sial, orang kedua yang melihat jati diriku yang sebenarnya ya, teman tanpa nama?"
Aku hanya tersenyum ringan, menanggapinya dengan anggukan. "Benar, tuan putri pemberang. Kau harus terbiasa mulai sekarang untuk melenyapkan aktingmu dan membangunkan kembali dirimu yang tengah tertidur."
Saat itu, aku memang siswi SMA biasa yang lambat laun belajar bagaimana caranya berteman dan bercengkrama dengan baik, membangun kepribadian lebih baik lagi. Dengan Lala dan Danar, aku dapat memulai masa-masa SMA-ku tanpa beban dan diselimuti kesenangan, mungkin saja mulai belajar menyebutkan nama sendiri jika beruntung.
Namun, saat itu aku masihlah kanvas polos yang bersih dari segala jenis noda dan dosa, serta sifat-sifat kelam. Tertawa dan bergurau layaknya hari esok selalu menghiasi dan kehidupan benar-benar membahagiakan. Aku sama sekali tidak menduga, bahwa sebenarnya di dalam tubuhku mengalir darah keturunanku yang berjiwa kelam dan tidak kuduga. Bahwa kehidupan normal yang selama ini kubenci karena terlalu datar, akan berubah seratus delapan puluh derajat, menjerumuskanku ke dalam gua kegelapan.
Aku hanya belum tahu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Ragaku
FantasyTidak perlu kusebutkan namaku. Abaikanlah pula masa laluku. Karena yang terpenting nanti aku akan memilih opsi. Satu akan memperkuat jati diriku sebagai Iblis. Atau satu lagi Yang akan mengembalikanku menjadi diriku yang dulu. Apapun pilihanku, aku...