Bersama Mei Shakila

33 3 0
                                    

Mei hanya menatapku tanpa bergeming, bahkan tidak tertawa ataupun jijik melihatku menangis berkat pengetahuan baruku mengenai pembunuhan yang telah kulakukan selama ini. Dia hanya berdiri menatapku dari atas, tidak berkedip ataupun sekiranya bereaksi terhadap perilakuku yang sama sekali menyimpang sebagai seorang iblis.

"Tara Fascienne." Akhirnya dia menghela nafas dan memulai pembicaraan, memanggilku yang sedari awal menatapnya dengan jerih. "Akting tidak bersalahmu cukup sampai di situ, kami semua tahu kebengisanmu di permainan sebelum-nya, amat sangat keji membunuh. Kau tidak perlu menutupi itu semua hanya demi menyerang di saat semuanya lengah bagai pengecut payah, kami berempat belas pasti mengantisipasi."

Aku hanya menatapnya tidak mengerti, apa maksud akan perkataannya yang jelas membuatku bingung? "Tara, mungkin dengan menghilangkan ingatanmu dapat membuat pikiranmu rancau. Namun hal tersebut tidak dapat menghapuskan hasrat membunuh di dalam jiwamu," ujarnya yang membuatku melebarkan mata karena ingin kembali menangis. Apa aku memiliki hasrat mengerikan yang sangat kuhindari dan kutakuti itu? "Ikutlah denganku sejenak."

Karena terlalu terkejut atas apa yang kudengar tadi, kakiku tidak dapat kugerakkan untuk berdiri dan mulai mengikutinya yang sudah beranjak. Aku terlalu terlena dalam kesedihan mengetahui aku sudah membunuh lebih banyak, lebih cepat daripada siapapun. Mana mungkin gadis SMA biasa yang berkehidupan normal bersama temannya bisa sekiranya memegang benda pembunuh? Hanya berarti satu hal mendengar penjelasan singkat tapi padat Mei, bahwa aku tidak punya alasan lagi menyebut diriku manusia biasa. Aku sudah terlalu kotor dengan membunuh banyak manusia, tidak berhak lagi mengutuk Arsani karena membawaku ke mari ataupun beranggapan bahwa aku masih bisa hidup di alam sana. Aku sudah terlalu berbahaya dan berdosa, akulah alasan mengapa iblis itu keji serta patut dijuluki penjahat yang sesungguhnya. Akulah pembunuh berdarah dingin.

"Ayo Tara!" Mei menghembuskan nafas dengan kasar melihatku masih terduduk dalam bisu di atas rumput. Dia beranjak ke sisiku demi menggengam tanganku untuk membantuku berdiri. "Kau harus ikut denganku untuk sementara, Tara. Aku tidak akan melakukan maupun mengatakan sesuatu untuk membuatmu kembali terkejut, janji! Maka dari itu ayo gunakan kakimu itu, ikutlah sebelum semuanya terlambat dan langit sudah menggelap."

Aku mendongak dengan wajah tanpa ekspresi, rasanya seluruh tubuhku telah mati rasa berkat kesedihan tiada tara di dalamnya. "Ada apa dengan tengah malam?"

Suara mengeluh Mei terdengar, dia benar-benar tampak kewalahan mengurusiku. "Itu tenggat waktu hari pertama permainan, saat nilai pembunuhan akan dijabarkan dan diurutkan dari yang tertinggi hingga terendah! Tara, jangan bilang kau melupakan hal penting itu padahal telah diumumkan di awal mula berlangsungnya permainan," serunya, kembali menarikku hingga berdiri dan kali ini kubiarkan kakiku membantunya. "Akan kuberitahu, bila kau mendapat peringkat terendah itu bukan masalahnya. Hal yang menjadi kacau nantinya ialah fakta bahwa kau mendapat nilai terendah dengan prestasi membunuh nihil. Itu akan membawa cibiran dan kebencian, keluargamu akan semakin menunduk, Tara."

Kini aku sudah bertumpu pada kedua kakiku, terasa amat lemas hingga kuyakin dapat goyah dan terjatuh lagi. Aku malas terjatuh, rasanya hal itu membuatku tampak lemah. Namun, tangisanku yang kembali pecah membuatku lebih dari sekedar lemah setelah mendengar perkataan Tara mengenai orang tuaku. Benar, kalau aku tidak membunuh siapapun dalam tenggat waktu hingga tengah malam nantinya, pasti mama papaku yang menanggung malu. Aku sudah letih menjadi aib dan mempermalu-kan kedua orang tuaku, apa sekarang takdir memaksaku membunuh orang demi mereka?

"Ayo ikut," seru Mei sembari menarikku, membuatku terjalan bukan lantaran aku menginginkan langkahku bergerak demi mengikutinya tapi berkat kakiku yang goyah hingga tidak dapat menolak ajakannya. "Aku ingin membicarakan sesuatu."

"Tentang menyingkirkanku sang aib bangsa iblis?" tanyaku dengan nada menyindir walaupun kutahu suaraku sangat pelan hingga pasti terdengar jauh dari mengejek. "Apa yang ingin kau lakukan?"

Demi RagakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang