Lala memang anak manis yang baik, ia tidak berkata apapun selagi aku menariknya keluar dari lingkaran siswa-siswi baru. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulut manisnya demi menghentikanku, memprotes keanehanku untuk tidak memberitahunya kelasku dan alasanku menyimpannya. Gadis itu tetap bergeming bagai dibungkam sembari aku menerobos keramaian, sesekali meminta maaf kepada seseorang yang tanpa sengaja disikutnya.
Nama tidaklah penting, masa lalu pun hanya sebatas kejadian di masa lampau yang seharusnya tidak menganggu kehidupan kini. Biarkanlah kenangan buruk di masa lalu lenyap dibawa angin masa sekarang dan terbang menjauh seiring berjalannya waktu. Berhembus dan memudar, menghilang hanya untuk digantikan oleh kenangan indah serta masa depan yang cerah.
Aku tidak ingin masa lalu penuh kesalahan berkat menjadi penurut menghantuiku seumur hidup, harus kulupakan demi membangun masa depan yang cerah. Aku tidak tahu apakah keputusanku untuk melupakan kenangan kelam merupakan pilihan yang tepat, tetapi opsi itulah satu-satunya jalan keluarku. Bagai asa yang tergantung hanya pada satu hal dan merobohkan segalanya berkat itu bila tidak dilenyapkan.
"Hei," bisik Lala pelan, ia tetap pasrah ditarik paksa melewati hujaman siswa-siswi baru seperti kami dan membiarkanku memandunya. "Kau ingin membawaku ke mana?"
Langkahku mencepat ketika sampai di belokan, memutar dengan gesit. Aku berkata, "Maaf, aku hanya ingin menjauhkan kita dari keramaian. Aku tidak suka berada di tengah orang banyak." Aku mengangkat bahu selagi menjelaskan, membiarkan alasanku mengalir bagai air deras. "Lagi pula, siapa yang suka berada di tengah perhatian?"
Lala menatapku dengan tenang, mengingatkanku pada tuan putri di kisah dongeng yang bergaun panjang nan anggun. Bedanya, dengan pakaian apapun yang melekat padanya akan diubahnya bagai menerapkan sihir, Lala pasti menjadi putri lagi dan lagi. Aku tergoda untuk memaksanya berganti pakaian dengan plastik sampah, ingin tahu bagaimana hasilnya dan akan tersinggung bila ia tetap mengalahkanku.
"Mari kita ke lantai kelas sepuluh dan masuk ke kelas, Lala," saranku sembari menariknya kembali, membuat tubuh mungil itu goyah sesaat. "Ayo."
Lala mengikutiku dalam diam, hanya tapakan demi tapakan kakinyalah yang bergemelutuk anggun di telingaku. Aku mencoba berjalan ke ujung koridor, dimana asal seluruh siswa siswi berjalan berlawanan denganku menuju penunjukan kelas di papan pengumuman. Mungkin saja mereka berasal dari tangga yang akan membawa kami menuju lantai atas, memanduku dengan tersirat.
Lala terdengar mendesah di belakang ku, terdengar kecapaian ataupun keletihan. Namun, ketika aku berbalik untuk menanyakan keadaannya, bukan wajah mungilnyalah yang menyambutku ataupun mimik manisnya. Ia tampak kesal, Lala kesal? Walaupun hanya bertemu beberapa menit dengannya, tuan putri yang sebelumnya berdiri anggun tanpa cela di hadapanku tidak sepatutnya menghilang dalam sekali tarikan, bukan? Dalam benak ini, pemikiranku semrawut dengan kemungkinan-kemungkinan yang saling membenturkan diri satu sama lain. Apa mungkin inilah sosok asli sang tuan putri? Muka dua, tidak manis, pemarah?
Lala membuka mulutnya dan mengucapkan, "Aku capai ditarik oleh orang sepertimu! Kau kira aku boneka dapat ditarik-tarik dan diperintah?" serunya dengan nada ketus yang dipaksakan karena di telingaku, nadanya sangat tenang. "Kau ingin membawaku ke mana?"
Mataku melebar melihat kerutan alisnya dan gerutunya, kukira Lala memang seorang tuan putri. Namun, inilah kejadian yang benar-benar menarik di hari yang cerah ini, menemukan sisi lain sang tuan putri. Lala tetap bermimik kesal dengan tangan terlipat di dada, ingin terlihat hebat bersama dengusannya.
"Kau kira aku ingin apa?" Tanpa sadar aku tertawa mendengar perkataannya sebelumnya, kegelian merambati perutku dan memaksaku untuk tergelak. "Maaf aku tertawa, sungguh. Namun, apa maksudmu dengan letih kutarik bila sedari awal kau tidak memprotes?"
Lala hanya membuang muka dengan decakkan. "Mengapa kau tertawa? Dasar orang aneh," ucapnya dengan berkacak pinggang, berlagak benar-benar kesal walaupun suaranya sangat imut di telingaku. "Biasanya orang lain berang menanggapi kelakuanku yang kontras dengan wajahku."
Aku tersenyum padanya, ia sungguh manis bila berkata jujur seperti itu, tidak dipaksakan. Bukankah itulah yang dimaksudkan dengan percakapan? Mencari kesamaan di antara dua belah pihak, menguak rahasia dan membentuk definisi tentang apa yang akan dilakukan lawan bicara ketika berbohong?
"Aku tidak pernah melihat orang dari penampilannya, hanya orang rendahlah yang demikian. Mereka terbutakkan oleh fisik semata tanpa menggali di dalamnya, sifat ataupun kelakuannya." Aku menggeleng. "Dengan alasan itulah banyak yang terjebak pada salah pasangan ataupun tipuan rayuan."
Lala tetap menatapku dengan kerutan yang dalam. "Kau tidak menghampiriku karena menganggapku manis atau imut?" tanyanya yang sempat membuat jantungku terasa bagai dihantam kuat di dada. "Benarkah?"
Namun, aku dapat mengendalikan diri dan bernafas dengan tenang. Jujur saja, sedari awal aku melihat Lala bukanlah penampilannya yang membuatku ingin berteman dengannya dan mendekatinya. Namun, aku berbohong bila mengatakan hanya memindainya berdasarkan kemanisannya belaka. Ia entah dengan alasan apa menarik bagiku dan mengantarkanku mendekatinya. Mungkin memang fisiknya yang membuatku ternilai bagai teman murahan karena terlihat hanya mementingkan penampilan, tetapi tampangnya merupakan tambahan bagiku, bukan utama.
"Apa kita bisa mengulang segalanya kembali? Bolehkah aku berteman denganmu, Lala?" tanyaku kepadanya, yang ditatap hanya bergeming dalam diam. "Jika kau percaya aku bukan teman murahan, bilanglah iya. Bila sebaliknya, mungkin ini selamat tinggal teman?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Ragaku
FantasyTidak perlu kusebutkan namaku. Abaikanlah pula masa laluku. Karena yang terpenting nanti aku akan memilih opsi. Satu akan memperkuat jati diriku sebagai Iblis. Atau satu lagi Yang akan mengembalikanku menjadi diriku yang dulu. Apapun pilihanku, aku...