Age: 22 tahun
"Kenapa aku tidak punya Papa?"
Elizia terdiam. Ia yang sedang mengajari Raven belajar langsung membeku tidak bersuara. Kedua pandangan matanya kosong menatap ke arah Raven. Ia tersenyum dengan kaku tak lama kemudian.
"K, kenapa kamu bertanya?"
Serasa bisa membaca pikiran Elizia, dengan tangkas Raven membuka halaman buku cetaknya ke bagian yang bergambar besar. Gambar seorang anak kecil yang digandeng oleh Ayah dan Ibunya. Tanpa sadar Elizia menelan ludahnya ketika melihat gambar itu.
"Semua gambar yang kulihat, semua bacaan yang kubaca, semua anak yang kuamati, mereka semua punya Papa, kenapa aku tak punya?"
Elizia tidak mampu menjawabnya. Ia dan Raven saling tatap untuk waktu yang lama sampai ia bisa bersuara. "... Papamu ... dia sudah meninggal."
Sesuai dengan dugaan, Raven membelalak kedua matanya besar, kaget. "Mati?" tanyanya dan Elizia mengangguk. "Kenapa?"
Elizia melirik ke sana-sini sebelum menjawab. "Karena penyakit," jawabnya agak sedikit terbata. "Ia sudah meninggal lama sebelum kamu lahir, Ven."
Setelah jawabannya, Raven hanya mengangguk-angguk lalu kembali menulis dengan tenang, tidak bertanya lagi. Elizia ingin menghela napas dengan lega, namun ia tidak bisa. Ia merasa sangat bersalah.
Ia berbohong.
Ayahnya masih belum meninggal, ia masih hidup. Sehat segar bugar. Dan ia tidak ingin Raven mengenalinya. Tidak akan pernah.
***
Selama perjalanan ke sekolah, Elizia terus mengamati Raven. Ia terus melihat Raven, ke mana arah matanya pergi. Ia ingin tahu, sosok pria seperti apa yang Raven idamkan. Elizia tahu, Raven pasti mengagumi sosok seseorang sehingga ia menginginkan seorang Ayah. Namun sampai saat ini, Elizia tidak bisa tahu siapa yang ia kagumi, sampai Raven pulang sekolah.
Seperti biasa, meski Elizia sudah memperingatkannya, Raven tetap keras kepala dan berlari-larian di depannya. Awalnya Elizia sempat khawatir karena berbahaya, tapi setelah berulang-ulang kali, rasa kekhawatiran itu sudah menghilang dan Elizia pun tenang-tenang saja ketika Raven mulai berlarian lagi. Ia merasa akan baik-baik saja seperti biasa, namun ternyata berbeda.
Ketika rambu untuk penyebrang jalan telah berubah hijau, tanpa bisa ditahan Raven sudah terlebih dulu melaju dari yang lainnya. Ia yang berlari di posisi paling depan tidak menyadari ada sebuah mobil yang masih melaju ke depan. Elizia yang menyadarinya pun membelalakkan matanya seketika itu.
"RAVEN!!"
Sekuat mungkin Elizia berteriak agar Raven sadar. Namun, walau Raven sudah menyadarinya, mobil itu masih tetap melaju dan—
Secepat kilat seseorang melesat maju ke depan, menarik tangan Raven dan mereka berdua sama-sama mendarat di ujung jalan dengan tubuh. Orang itu, seorang pria, memeluk Raven yang syok itu dengan pakaiannya yang robek karena gesekan. Semua orang yang berada di sana terpaku di tempat melihat aksi berbahaya ini, kecuali Elizia yang sudah mendekati anaknya dan juga pria itu.
Dengan sendirinya air mata Elizia merembes keluar. Dengan kedua tangan yang bergetar ia segera memeluk Raven yang sudah terisak itu. "Dasar anak bodoh!" serunya dengan suara serak. Pelukannya pada Raven juga semakin menguat. "Kamu membuat Mama takut, Ven!"
Tangisan Raven semakin menjadi di dalam pelukan Elizia. Mereka berdua sama-sama menangis dengan penuh lega dalam waktu yang lumayan lama sampai mereka tenang kembali. Pria itu tetap bersama mereka ketika mereka selesai menenangkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rage in Cage (Complete)
Детектив / Триллер(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hanya bisa disimpan dengan erat? Itulah yang dirasakan oleh Elizia, sang ibu muda berumur 30 tahun dan sudah memiliki anak berusia 18 tahun bern...