Raven duduk diam di sofa, melihat Elizia. Penampilannya sungguh berbeda 180 derajat dari biasanya yang sopan, polos dan sederhana. Malam ini ia mengenakan gaun biru tua selutut yang ketat berlengan panjang, dipadukan dengan stocking hitam pekat. Wajahnya juga dipoles make-up. Anehnya, dalam sosok yang begitu elegan dan cantik sekarang ini, Ibunya malah sibuk mondar-mandir dengan tugas rumahnya.
Sedari tadi ia mengangkut pakaian, bersih-bersih, cuci piring, dan lain-lain sebagainya, yang sangat bertolak belakang ia lakukan dengan mengenakan pakaian seperti itu. Padahal ia bisa selesaikan tugasnya dulu baru ganti baju, tapi ia malahan ganti pakaian dan berdandan terlebih dahulu baru bekerja. Aneh. Tapi yang lebih anehnya lagi, sudah tahu Ibunya itu sibuk dengan pekerjaan meski waktu perjanjian sudah hampir tiba, Raven masih saja duduk-duduk diam dan hanya mengamati Ibunya saja, tanpa ada niat untuk membantunya sama sekali. Benar-benar anak yang durhaka.
Sibuk selama beberapa menit dengan kecepatan tingkat tinggi, Elizia menyelesaikan tugas rumahnya juga. Ia melirik jam tangannya, 20 menit lagi. Masih keburu. Ia melirik anaknya yang duduk santai di sofanya sambil memainkan ponsel. Sesaat Elizia merasa ingin menegurnya karena sudah tidak mempedulikannya yang begitu sibuk tadi, tapi begitu melihatnya, Elizia langsung membatu. Entah tidak lihat atau tidak memperhatikan (sama saja?), Raven terlihat keren dengan kemeja merahnya berlengan panjang dilipat itu dengan celana jeans hitam. Sempat terkagum pada dirinya yang bisa melahirkan anak sekeren ini (ehem) sejenak, dan ia mengerutkan kening lagi. Biasanya Raven selalu mengenakan kaos oblong dengan boxer kalau sudah jam segini. Tapi kenapa sekarang berpakaian serapi ini? Ini malam Minggu. Apa dia mau pergi kencan? Dengan siapa? Elizia jadi pena—
"Cepat pergi atau Paman akan kesal karena kamu terlambat."
Oleh ucapan anaknya yang begitu pelan dan tiba-tiba itu, Elizia pun tersadar dari lamunannya dan segera mengambil tas tangannya. "Ah, hmm, a, aku pergi dulu, jaga rumah ya! Oh ya, kakek lembur malam ini dan nginap di kantor, jadi kamu cepat tidur ya, Dah!"
Terdengar suara pintu yang tertutup setelah sosok Elizia menghilang. Raven hanya diam melihat pintu yang sudah bergeming itu. Memang terlihat melamun sejenak, namun tak beberapa lama dengan mendadak ia membuang napas.
"Aku tidak akan tidur cepat."
Raven mengamati ponselnya kembali. Ketika ia hendak menghubungi seseorang, ponselnya terlebih dahulu dihubungi. Ia hanya menyeringai melihat nama penelponnya.
"Halo?"
"Halo, Ven? aku sudah siap, kamu juga, kan? Aku akan berangkat sekarang, apa kamu mau kujemput?"
Raven tersenyum kecil lagi, senyuman sinis. "Tidak. Aku pergi sendiri," jawabnya. Akan sangat memalukan seorang pria dijemput oleh perempuan.
***
Raven mengerutkan keningnya sangat-sangat dalam, memanyunkan bibirnya sungguh-sungguh dalam, sungguh-sungguh kesal. Ini membosankan!
Sudah 40 menit ia duduk di depan layar lebar ini, tapi tetap saja ia tidak memperhatikannya sama sekali. Sejauh yang ia ingat, ia hanya melihat wajah sang pemeran utama wanita yang menangis di awal cerita saja, dan Raven tidak menyaksikannya lagi. Ia tidak melihat film lagi ketika ia melihat sosok seorang wanita dan pria yang datang lalu duduk dua bangku tepat di depannya. Kedua mata Raven sekarang sudah melotot ke arah bawah, terkunci erat ke sosok kepala wanita itu, Ibunya.
Sejak awal mengamatinya sampai sekarang, Raven tidak menangkap sosok Ibunya yang bermesraan dengan Paman itu, tidak pula dengan Paman itu diam-diam mencoba menggandengnya atau merangkulnya. Mereka berdua duduk diam saja menatap layar, bahkan bersuara pun tidak. Raven semakin mendalamkan kerutannya. Aneh. Apa benar hubungan mereka hanya sebatas yang ia lihat? Tidakkah mereka lebih akrab? Atau mereka pura-pura innocent karena tahu sedang diawasi? ... Tidak. Tidak mungkin.
Karena Raven diam-diam melakukannya. Sewaktu Ibunya dibohongi waktu itu, Raven membuka tas tangannya dan menemukan tiket bioskop. Tahu itu adalah tiket ajakan dari Paman itu, tanpa pikir panjang Raven tentu langsung pergi membelinya, persis dua bangku di belakang mereka yang beruntungnya duduk paling samping di deretan agak tengah, untuk mengawasi mereka. Ia terpaksa harus membeli dua lembar tiket karena tidak mungkin kan dia seorang pria nonton film romantis seorang diri? ... Untung juga dia tidak jadi mengajak Tio, kalau tidak ... Raven tidak bisa membayangkannya.
Raven kembali lagi mengawasi mereka berdua. Ia ingin tahu, sejauh mana hubungan kedua orang itu berkembang. Tapi sudah setengah jam lebih ia mengawasi, mereka berdua diam-diam saja tidak bertingkah seperti orang pacaran. Raven sangat meragukan mereka. Ia yakin kalau mereka–Ibunya mungkin tidak–menahan diri untuk tidak saling bersentuhan. Sebab buktinya, Sylva yang hanya sebatas sahabat dengannya saja sekarang dengan beraninya memeluk lengan kirinya erat-erat.
Benar-benar menyebalkan. Kalau memang tidak ada apa-apa dengan mereka berdua, ia ingin waktu cepat berlalu deh. Sungguh membosankan. Raven membuang napas sambil berganti posisi duduk, ingin tidur.
Di dalam ruangan yang sama, waktu yang sama, tapi tempat yang berbeda, terlihat seseorang yang benar-benar datang bertujuan untuk mengawasi, mengintai. Ia mengenakan jaket hitam, mengenakan kerudungnya, ditambah lagi dengan topi. Ia memang tidak mengenakan kacamata hitam, tapi parahnya ia membawa sebuah binoculars! Dengan teropongnya, ia duduk di sudut kiri paling pojok di depan–bawah–sana, mengarah ke atas mengamati wajah sahabatnya yang sedang bete itu, wajah Raven. Dugaan Tio memang tepat.
Sejak Raven menawarkan tontonan itu, Tio sudah sangat curiga dengannya. Sudah hampir 10 tahun lebih ia mengenali Raven, dan sejauh yang Tio tahu, Raven bukan tipe orang yang suka nonton. Kalau pun diajak nonton, biasanya pilih genre action atau misteri. Romance? Pasti ada yang salah di otaknya, dan ternyata memang ada salah.
Dengan teropongnya, selain melihat wajah Raven yang penat, Sylva yang bahagia, ia dapat melihat juga wajah seorang wanita yang sedang serius menatap layar lebar itu, wanita yang duduk persis dua bangku di depan Raven, Ibunya, yang konon katanya Raven men ...
Ternyata alasan Raven duduk di sini sangat sederhana. Tio bisa melihat pria yang duduk di samping Ibunya Raven, yang dapat ia kenali sebagai Ayahnya Sylva, sedang diam-diam melirik ke arah Ibunya Raven tanpa menggerakkan kepala. Tio hanya mendesah pelan dan menurunkan teropongnya, menyudahi aksi mengintainya. Namun karena ia tidak berniat untuk menonton film membosankan tersebut, sepanjang waktu hingga film berakhir ia hanya duduk diam main game di ponselnya.
********************************************************************************
KAMU SEDANG MEMBACA
Rage in Cage (Complete)
Детектив / Триллер(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hanya bisa disimpan dengan erat? Itulah yang dirasakan oleh Elizia, sang ibu muda berumur 30 tahun dan sudah memiliki anak berusia 18 tahun bern...