1 jam sudah berlalu, dan sudah selama itu Sylva berdiri di samping gerbang sekolah dengan raut yang penuh kegelisahan.
Pagi ini ia sangat cepat berangkat ke sekolah. Ia rela cepat-cepat tiba di sini, dan menunggu dengan setia. Menunggu Raven.
Ia merasa bersalah. Setelah dipikir dengan baik-baik, Sylva sadar, apa yang telah ia lakukan itu adalah kesalahan. Tidak seharusnya ia sengaja berpakaian seperti itu, memanas-manasi Raven. Memang sih, ia merasa cemburu, merasa Raven sudah mempermainkannya, tapi setidaknya ia bisa menggunakan cara yang lebih halus, bukannya berpakaian seperti Tante Eliz. Nampak jelas ia ingin meledek Raven kalau ia itu jatuh cinta pada wanita siapa pun yang berbusana seperti itu. Jati diri Raven diinjak seperti itu, dan tentu saja ia bisa emosi seperti itu kemarin. Sylva benar-benar mengaku salah. Ia akan meminta maaf. Hari ini juga ia akan meminta maaf. Waktu selama 1 malam sudah ia lewatkan dengan sia-sia hanya karena ia takut menelpon Raven, takut dibentak, atau lebih parahnya tidak diangkat. Tak ingin menyia-nyiakan waktu lagi, Sylva pun berangkat ke sekolah pagi-pagi, hanya demi menunggu Raven yang entah kapan akan tiba di sekolah.
Dan sekarang, bel sudah hampir berbunyi dan Raven tidak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Perasaan Sylva kembali dipenuhi dengan rasa takut. Apa mungkin Raven akan bolos hari ini? Gara-gara dia? Apa itu mungkin? Kalau memang begitu, apa yang harus dilakukannya? Ke mana harus ia pergi untuk mencari Raven?
"Sylva."
Sylva terkesiap. Ia tidak salah mendengar, bukan? Itu terdengar seperti ... suaranya. Sylva tidak salah lagi, 'kan? Tak ingin lama-lama ragu, dengan penuh penasaran Sylva pun menoleh ke belakang. Ya, dia tidak salah. Itu memang dia. Dalam sekejap matanya langsung berair.
"Raven."
Raven membuang muka dengan segera begitu mendengar suara Sylva yang begitu lemah. Ia tidak berkata apa-apa lagi, tidak pula terlihat marah. Ia hanya berbalik, mencengkram lengan Sylva dengan kuat lalu menariknya pergi.
"Ikut aku." Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya dan mereka pun berjalan menjauhi gedung sekolah yang sudah mulai sepi itu. Sekolah sudah mulai belajar, dan mereka berjalan semakin jauh, bolos.
Tak begitu jauh dari gedung sekolah mereka dan dekat kompleks perumahan, ada sebuah taman bermain kecil, dan mereka berdua sedang duduk di salah satu bangku taman. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya ada mereka berdua, ditemani angin semilir yang berhembus pelan. Hanya itu, tidak ada apa-apa lagi selain kesunyian.
Sudah hampir setengah jam mereka berdua duduk di sana, dan belum juga ada suara sedikit pun yang keluar dari mulut mereka. Masing-masing dari mereka terasa sangat canggung, mereka tidak berani untuk memulai. Mereka tidak tahu harus memulai dengan apa. Dan ternyata, sekitar hampir 45 menit berlalu, komunikasi mereka dimulai juga, diawali dengan sentuhan pelan di jemari Raven, oleh Sylva.
Raven menoleh pelan ketika menyadari sentuhan tersebut. Sylva sudah menatapnya dengan lekat sewaktu ia melakukannya. "Maaf," ucapnya pelan setelah ia dan Raven saling menatap untuk sejenak. Matanya kembali berair. "Maafkan aku, Raven. Aku mengaku salah untuk kejadian kemarin. Maafkan aku."
Sempat terdiam sejenak, Raven pun tersenyum kecil seraya menggeleng. "Aku yang seharusnya minta maaf. Aku sudah membuatmu malu di depan keluargamu. Aku bukan pacar yang baik, Va."
"Tidak, itu salah, Ven!" Tidak hanya sentuhan, kali ini Sylva sudah benar-benar menaut erat tangan Raven dengan kedua tangannya, meremasnya. "Aku yang salah. Tidak seharusnya aku berpakaian seperti itu, sengaja membuatmu emosi. Kamu itu pacarku, sudah seharusnya aku mempercayaimu. Aku tidak akan lagi menduga yang macam-macam. Aku tidak akan menuduh hubunganmu dengan Ibumu. Aku akan melup—"
"Tidak. Kau benar soal itu, Sylva. Jadi ..." Dengan pelan Raven melepaskan kedua tangan Sylva, "sudah saatnya kita berpisah."
Sylva membeku. Ia tidak bisa bergerak, tidak pula berkedip. Apa katanya tadi? "Maaf, apa yang kau katakan barusa—"
"Kita tidak perlu lanjutkan lagi hubungan ini. Ayo kita akhiri, Sylva."
Tetes demi tetesan air mata sudah mengalir dengan cepat menelusuri lekuk pipi Sylva. Ia menggeleng. Tidak, itu tidak benar.
"Kau bercanda, bukan? Kau sedang bercanda 'kan, Raven? Katakan padaku kalau kau sedang bercanda, Ven!" Tak disangka, Sylva yang panik itu mulai menarik-narik kerah seragam Raven, meminta penjelasan.
Raven tersenyum dengan kecut. "Tidak, aku tidak bercanda, Va. Aku tidak pernah seserius ini malahan," sahutnya pelan. Namun sayang, apa yang ia ucapkan sekarang tidak mampu Sylva resapi dengan matang. Ia kembali menggeleng dengan wajah yang penuh air mata.
"Tidak. Katakan padaku kalau kau hanya bercanda, Ven. Hari ini april mop, 'kan? Katakan kalau ini hanya leluc—"
Sylva terdiam. Dengan mendadaknya ia tidak bisa bersuara lagi, digantikan kedua mata yang membulat lebar menatap langsung ke depannya, ke Raven, ke tubuh Raven, ke leher Raven.
Ada cupangan.
Air mata Sylva mengalir. Dalam hitungan detik berikutnya, sebuah hadiah berupa tamparan sudah mendaratkan dengan sempurna di pipi Raven, sebuah pukulan kekecewaan dan Raven hanya tersenyum. Ya, pukulan yang tepat. Ia memang pantas menerimanya.
"Menjijikkan! Aku jijik padamu, Raven! Jijik!" Air mata Sylva terus mengalir seiring dengan suaranya yang semakin tidak jelas terdengar. "Kalian itu anak dan Ibu, Ven. Lantas kenapa kalian malah ... kenapa?!"
Raven membuang muka lagi. Ia tidak memiliki kemampuan itu untuk menatap langsung Sylva yang sudah menangkap basah dirinya. "Karena itulah, aku memohon dengan sangat, ayo kita akhiri hubungan ini. Lelaki yang buruk sepertiku ini tidak pantas menerima cinta tulusmu. Aku tidak berhak."
Sylva diam. Ia tidak lagi membalas ucapan pasrah Raven. Ia memilih untuk terus menangis, terus menangisi dirinya yang begitu lemah. Ia sudah terlambat, hanya dalam semalam itu, itu sudah terlambat. Ia tidak punya kesempatan lagi untuk mendapatkan Raven. Segalanya sudah sia-sia sekarang. Dan yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menangis.
Raven menunduk dalam dan menggigit bibirnya. Lagi. perasaan aneh kembali menguasai dirinya. Setiap melihat Sylva dalam keadaan yang begitu lemah, muncullah keinginan untuk mendekatinya, memeluknya, menciumnya. Namun Raven mengurungkannya. Ia tidak boleh bertindak gegabah lagi. Hubungan mereka sudah berakhir. Ia bukan siapa-siapanya lagi. Ia seutuhnya milik Elizia, milik Ibunya. Ia tidak boleh lagi menyentuh perempuan lain selain Ibunya. Ya, itu biaya yang harus ia bayar sejak ia mengikat jiwa dan raganya untuk Ibunya seorang. Ternyata ia sempat melupakannya, tapi kali ini, ia tidak akan mengulang kesalahan lagi. Inilah bayarannya.
"Selamat tinggal."
Raven berpamitan dengan pelan. Tidak peduli Sylva mendengar atau tidak, Raven pun melangkah dengan pelan meninggalkan perempuan yang begitu ia sayangi dalam waktu yang singkat ini.
***************************************************************************************
KAMU SEDANG MEMBACA
Rage in Cage (Complete)
Misteri / Thriller(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hanya bisa disimpan dengan erat? Itulah yang dirasakan oleh Elizia, sang ibu muda berumur 30 tahun dan sudah memiliki anak berusia 18 tahun bern...