Chapter 14 part 2

2.8K 175 3
                                    

Sudah tiga hari Raven pulang ke rumah. Sudah tiga hari ia kembali bersekolah. Sudah tiga hari ia dinyatakan berpacaran dengan Sylva. Sudah tiga hari ia berhubungan renggang dengan Tio. Sudah tiga hari ia mengasingkan diri di dalam rumah. Sudah tiga hari ia pura-pura tidak mengenal Ibunya. Sudah tiga hari ia tidak menegur Ibunya. Dan sudah tiga hari pula ....

Raven hidup di dalam neraka.

Sudah berhari-hari ia hidup bagai orang asing. Ia selalu memaksakan diri untuk tersenyum tidak peduli itu lucu atau tidak, selalu menempel dengan Sylva–hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya–dan ia merasa tidak begitu nyaman. Jika di waktu senggang, dulunya ia selalu berduaan dengan Tio, sekadar curhat atau saling diam dengan pikiran masing-masing. Tapi jangankan berduaan seperti pasangan homo, bahkan di dalam kelas mereka pun jarang bertegur sapa layaknya sahabat. Tio berusaha bersikap seperti biasa dan meminta maaf atas perbuatannya yang sempat menambah luka di wajah Raven, namun justru yang menjadi aneh adalah Raven karena dialah yang menjauhi sahabatnya. Meski wajahnya terlihat cuek, namun dalam di hatinya ia merasa sangat bersalah dan ia tidak mampu mendekati Tio karena rasa bersalahnya. Jadi sahabatnya–pacarnya dalam tanda kutip–satu-satunya adalah Sylva seorang. Dan tak perlu ditanya, Raven merasa sangat bosan karena kerjanya hanya menemani Sylva belanja ataupun bermesraan. Benar-benar bukan Raven banget.

Selain itu, kepalan tangan Raven semakin hari semakin menguat seiring ia berada di dalam rumah. Untuk kali ini, hampir setiap saat tanpa diperingati, ia selalu mendengar pekikan Ibunya. Tapi ia tidak pernah tahu ia memekik karena melihat kecoak, dipukul, atau ... pokoknya Raven tidak tahu karena ia selalu berusaha melarikan diri sebelum ia mendengar suara orang tersebut memekik meminta pertolongan.

Ia tidak pernah ingin berada di rumah selain sebagai tempatnya untuk tidur. Kalau bisa, ia juga tidak ingin pulang sama sekali. Ia merasa risih kalau ia harus melihat wajah Ibunya, meski secara tidak sengaja. Sebab walau wajah Raven sudah mulai baikan dari luka-luka pukulan itu, wajah seorang wanita milik Elizia itu tidak pernah lagi terbebas dari luka. Setiap hari setidaknya ada bekas-bekas membiru yang bertambah di salah satu badannya dan Raven selalu menggigit bibir setiap ia menyadarinya.

Raven benar-benar pengecut.

Selain memaksakan diri mendengar cerita atau ucapan Sylva, Raven selalu menghabiskan waktunya untuk melamun. Akan sampai kapankah ia bersikap seperti ini? Akan sampai kapankah ia melarikan diri? Apa ia bisa bertahan? Atau ia bisa menjadi Raven yang lain? Siapa dirinya yang sebenarnya? Apa yang sebenarnya ia inginkan? Apa semua ini sudah cukup? Kenapa hatinya merasa bertambah sakit seiring waktu berlalu? Ini membingungkan.

"Raven."

Raven tersentak. Seseorang telah mengejutkannya dengan suara yang pelan dan tepukan ringan di pundaknya. Raven menoleh untuk mengetahui siapa pelakunya, yang lain tidak lain adalah Sylva.

"Kenapa melamun di sini? Mobil sudah tunggu, tuh. Ayo," ucap Sylva singkat lalu menarik Raven pergi setelah ia mengangguk mengerti. Sejak mereka mulai pacaran, Sylva selalu meminta Raven untuk ikut dengan mobilnya pulang, rada-rada takut mata Raven akan kabur dan tidak bisa pulang. Yang penting, Sylva mengutamakan keamanan Raven, meski alasan di balik layar itu ingin bersama dengan Raven. Ya, selama Raven tidak keberatan, sepertinya ini tidak jadi masalah. Jadi begitu mereka berdua masuk dan duduk di jok belakang, mobil pribadinya Sylva pun melaju pergi.

Seperti biasa, pada jam segini mobil akan melaju normal dan jarang dilanda macet yang berkepanjangan. Semuanya merasa hari ini akan aman-aman saja sampai mendadak suara yang keras terdengar persis di hadapan mereka.

BRRAKK!!!

Mobil Sylva mengerem mendadak. Terjadi kecelakaan. Sebuah mobil putih persis di hadapan mereka telah menabrak seseorang yang melaju ke jalan tol saat lampu yang masih berwarna hijau untuk kendaraan dan merah untuk pejalan kaki. Seorang wanita muda tergeletak di depan sana, tidak sadarkan diri, mengagetkan seluruh pandang mata.

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang