Jam 9.50 pagi.
Masih ada 10 menit lagi dari waktu janjian dan Sylva sudah tiba di Taman Ria. Suasana hari ini sangat ramai, sungguh beruntung karena hari ini cuacanya cerah. Dengan pakaian yang santai namun baginya terbaik -gaun selutut bergambar mawar klasik- untuk bermain, ia menunggu di samping pintu masuk sambil tersenyum cerah.
Meskipun banyak orang yang melirik-lirik dia karena tertarik atau hanya sekilas mengamatinya, Sylva tidak menanggapi sama sekali pandangan mereka. Di dalam benaknya hanya ada Raven, dan apa yang akan mereka lakukan hari ini berdua. Begitu Raven tiba nantinya, mereka akan pergi main berduaan, naik bianglala, makan es krim. Pasti akan sangat romantis. Sylva tidak sabar lagi menunggu kejutan yang mungkin akan Raven berikan nantinya.
"Sylva."
Itu dia! seru Sylva girang begitu menyadari suara yang memanggilnya itu adalah Raven, ia tidak akan salah lagi! Maka dengan mimik yang ceria nan bahagia, Sylva pun membalikkan badannya mengarah ke belakang, menyambut kedatangannya. "Rave ...."
Sylva membisu, lantas kedua matanya membulat besar disertai dengan bibirnya yang menganga. Tidak, pasti ada yang salah. Ia pasti sedang berhalusinasi, kalau tidak kenapa bisa d–
"Hai, Va. Pagi juga ya kamu," sapa Tio semangat, dengan pakaian ala funky gembelnya, tepat berdiri di samping Raven, melambaikan tangannya kepada Sylva yang berdiri tak jauh di hadapan mereka. Sedangkan Elizia yang seperti biasa, mengikat rambutnya menjadi ekor kuda rendah di sebelah kanan, mendepankan seluruh ekor rambutnya dengan hiasan pita putih bermotif mawar, pakaian lengan panjang warna ungu muda berbahan kain dan rok panjang lebar putih bermotif garis hitam di ujung bawah, tersenyum simpul dan mengangguk kepada Sylva sopan.
"Maaf, kamu pasti sudah menunggu lama, bukan? Ayo kita masuk," ajak Raven pelan sambil tersenyum ramah lalu menarik tangan Sylva, berempat beriringan masuk ke dalam taman hiburan.
Tetap saja, setelah semua sapaan yang begitu nyata sudah terdengar di telinganya, Sylva tetap tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Bukankah tiketnya hanya dua dan ia hanya memberikannya kepada Raven? Kenapa bisa mereka berdua datang ke sini? Apa mereka membeli tiket? Apa hanya kebetulan mereka semua bertemu di sini? Tapi tetap saja, kenapa pula Raven mengajak mereka? Tidak sadarkah ia kalau Sylva sengaja memberikan tiket ini padanya, bahkan ia sampai berebutan dengan keponakannya akan tiket ini hanya untuk berduaan dengan Raven? Apa dia sama sekali tidak sadar?
"Jadi, apa yang kita main sekarang?" tanya Raven spontan begitu mereka berempat sudah tiba di dalam taman hiburan. Ini sudah kali keduanya ia masuk, jadi sepertinya ia sudah tidak sesemangat Tio yang tidak bisa berhenti celingak-celinguk sana-sini.
"Roller coaster! Roller coaster! Ayo kita naik roller coaster! Sudah lama aku pengen mencobanya, ayo kita naik!" seru Tio benar-benar antusias layaknya seorang anak kecil sambil menunjuk-nunjuk wahana yang dimaksudnya itu, bahkan sambil lompat-lompat saking tidak sabarnya.
"Iya, iya, sabar. Seperti anak kecil saja kamu, Yo. Belajarlah untuk tenang, kita pasti akan naik kok, ayo," sahut Raven menimpali sikap Tio yang bagai anak kecil lalu melangkah pergi juga mereka berempat.
Begitu tiba giliran mereka, mereka berempat pun duduk di roller coaster dengan dua formasi, Raven dan Sylva di depan, sedangkan Elizia dan Tio di belakang. Dengan cepat mereka memakai sabuk pengamannya sebelum wahana tersebut mulai berjalan.
Tepat setelah mereka siap mengenakan pengaman, Sylva yang tidak bisa tersenyum itu akhirnya bertanya juga kepada Raven, dengan suara yang pelan. "Kenapa kau mengajak mereka?" tanyanya sungguh penasaran. "Bukankah aku hanya memberimu satu tiket?" lanjutnya.
"Ya aku beli lagi dong," jawab Raven dengan santai, sama sekali tidak menyadari niat Sylva yang sebenarnya. Ia mengalihkan pandangannya dari wajah Sylva ke depan begitu mendengar aba-aba akan dimulai. "Lagipula, lebih banyak orang lebih seru, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rage in Cage (Complete)
Misteri / Thriller(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hanya bisa disimpan dengan erat? Itulah yang dirasakan oleh Elizia, sang ibu muda berumur 30 tahun dan sudah memiliki anak berusia 18 tahun bern...