Terisak.
Sudah lama Sylva tiba di depan gerbang rumahnya tapi tetap saja, air matanya tidak bisa berhenti sama sekali. Ini keterlaluan, terlalu. Apa benar semua yang Raven ucapkan tadi? Benarkah ia tidak pernah mencintai dirinya? Tidak sama sekali? Kenapa? Kenapa bisa? Kenapa Raven tidak pernah menyukainya? Begitu susahkah bagi Raven untuk mencintai dirinya? Lebih baik mencintai wanita itu daripada dirinya? Ini terlalu menyedihkan.
"Nona?"
Entah sudah berapa lama jongkok bersandar ke pintu besi gerbang tersebut, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang memanggilnya, suara yang sangat tidak asing. Ia pun mengangkat kepalanya seraya menyeka air matanya, hanya sekadar untuk menyadari siapa yang memanggilnya.
"Kenapa Nona Muda bisa ada di sini? Bukannya sekarang jam sekolah? Apa terjadi sesuatu?"
Sylva menggeleng pelan, berusaha tersenyum setelah berdiri menghadap Kei. Meski sudah tua, ternyata ia sangat perhatian pada Sylva, tidak seharusnya ia tahu Sylva sedang sedih, atau dia juga akan ikut sedih. "Tidak ada apa-apa kok, Kei. Aku hanya sedang tidak enak badan."
Ia tersenyum kecil dan diam-diam menghela napas setelah mendengar jawaban Sylva. Terlihat jelas Nona mudanya ini sedang berbohong, tapi ia tidak ingin memaksanya untuk mengatakan hal tersebut, ia tidak berhak. Maka ia hanya membungkukkan badan mempersilakan Nonanya untuk berjalan terlebih dulu masuk ke dalam rumahnya yang sudah terbuka lebar gerbangnya.
Sylva tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Ia bernasib sial atau sedang kebetulan ia tidak tahu. Yang ia tahu, belum juga ia masuk ke dalam kamarnya untuk menenangkan diri, salah seorang pelayan rumahnya menyapanya.
"Nona dipanggil Tuan di ruang tamu."
Setelah menyampaikan pesan singkat tersebut, pelayan itu dengan otomatisnya langsung memohon diri menyingkir, tidak memberi Sylva kesempatan untuk menolak ataupun sekadar bertanya. Yang bisa Sylva lakukan hanyalah menyepak tas ke dalam kamarnya dan melangkah menuju ruang tamu masih dengan seragam lengkap plus hati yang berantakan. Persetan dengan panggilan mendadak Ayahnya. Begitu ia melihat wajah Ayahnya, Sylva sudah bertekad akan menyapanya sekali dan langsung menyingkir pergi. Ia terlalu capek untuk diajak berbincang.
Dengan langkah yang begitu cepat nan lebar, tak butuh waktu lama Sylva yang sudah sampai di ruang tamu khusus tertutup itu pun langsung saja membukanya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Jika diamati, Sylva yang tentu berwajah bete saat membuka pintu dalam seketika itu berubah menjadi mimik yang begitu terkejut dan syok. Ia bahkan lupa bersuara saking syoknya.
Terdengar suara tawaan rendah dari arah kanannya, Ayahnya. "Kamu datang juga, Nak. Aku tidak menyangka kamu akan begitu antusias untuk kemari," katanya.
Tiada lagi mimik yang terkejut ataupun kebingungan sewajarnya, atau pula kesedihan. Yang ada di wajahnya hanyalah kekesalan dan kebencian yang memuncak. Muak. Melupakan sudah sosok Ayahnya, ternyata pandangan matanya sekarang telah tertuju total ke sosok seseorang yang tengah duduk di hadapan Ayahnya itu, orang yang terlihat sungguh menjijikkan dengan senyumnya.
"Hai," sapanya lembut dan ramah seraya melambai kepada Sylva.
Sylva mengabaikannya, berbalik melototi Rion. "Papa, apa yang telah terjadi di sini? Kenapa dia bisa ada di sini?"
Tetap saja, Rion masih lanjut terbahak terhadap putrinya. Orang yang duduk di hadapan Rion pun menyeringai ngeri. "Tentu saja dia ada di sini, Sayang. Papalah yang mengundangnya kemari, dengan khusus."
Alis Sylva semakin terlipat. "Buat apa Papa mengundangnya? Aku tidak ingin meliha—"
"Dia tunanganmu, Va."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rage in Cage (Complete)
Misterio / Suspenso(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hanya bisa disimpan dengan erat? Itulah yang dirasakan oleh Elizia, sang ibu muda berumur 30 tahun dan sudah memiliki anak berusia 18 tahun bern...