Raven menguap.
Ini sudah kesepuluh kalinya ia menguap. Atau ... dua puluh? Hmm ... yang penting sudah berkali-kali ia menguap dan tetap saja pengarahan ini tidak berakhir-berakhir juga sejak tadi. Ia memang mengenakan jam tangan dan waktu hanya berlalu selama 10 menit, namun baginya mendengar kepsek berceloteh itu sudah seperti berdiri seharian di sana. Selain menguap, entah sudah berapa kali juga ia terus mendengus dengan kesal.
Entah berapa lama Raven lanjut menguap dan mendengus, tak lama kemudian akhirnya pengarahan tentang lomba berakhir sudah dan Raven pun mengakhirinya dengan sebuah uapan yang lebar dan panjang. Inginnya ia lanjut menguap lagi –saking banyaknya angin juga kantuk yang berlebihan- tapi tidak jadi karena pundaknya ditepuk kuat secara mendadak.
"Hei, ngantuk banget, ya? Kok nguap mulu daritadi?" tanyanya yang menepuk pundak Raven, seorang pria culun bernama Tio. Setidaknya begitu yang dipikirkan oleh Raven yang sedang menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat.
"Kau mengawasiku?" sahut Raven hendak bercanda, namun rautnya tidak mengartikan demikian sehingga Tio dengan refleks mundur beberapa langkah, takut dihajar.
"Ti, tidak, Boss. Hanya kebetulan melihatnya," jawabnya grogi, sedangkan Raven hanya diam saja karena reaksinya berbeda dengan perkiraan. Belum juga ia sempat berbicara, seseorang kembali menepuk pundaknya lagi, bahkan kali ini menariknya pergi.
"Ayo pergi, jangan buang-buang waktu lagi di sini!" seru orang itu, lain tidak lain adalah Sylva. Tidak ada orang lain yang seberani begini menariknya, tidak juga dengan Tio. Raven hanya diam membiarkan dirinya ditarik.
Sesampai di kelas, seluruh murid sudah sibuk dengan persiapannya masing-masing. Banyak di antara mereka yang sedang berdiskusi tentang resep mereka, dan ada juga yang sedang memilih bahan masakan juga alat masak, beda dengan murid pria yang hanya duduk santai karena mereka semua hanya menangani minuman, bahkan sepertinya sudah ada yang selesai saking merasa entengnya. Raven memang diam saja, namun tidak demikian dengan Sylva yang terlihat tidak puas dengan tingkah acuh tidak acuh mereka.
"Hei!!" teriaknya keras sambil berkacak pinggang. "Kenapa kalian santai-santai saja? Ayo cepat siapkan bahan-bahan kalian!"
Salah satu dari murid pria yang menaikkan kedua kaki ke atas meja itu menimpalinya dengan malas, "Gak usah emosi gitu. Kami sudah selesai kok, tinggal tunggu juri untuk menyic—"
"Hanya dengan menuangkan soda di gelas kalian sebut dengan selesai? Jangan bercanda!" Sylva terlihat sangat kesal, dan Raven hanya diam, begitu juga dengan Tio. Mereka berdua tahu, tanpa turun tangan pun Sylva bisa menghadapinya sendiri. Inilah hebatnya Ketua Kelas.
Bukannya merasa ketakutan atau setidaknya bersalah, pria yang lainnya balas bersuara, "Kalau tidak kami harus buat apa lagi? Bukankah menu air itu hanya soda, teh, atau sejenisnya saja? Tidak ada yang istimewa."
"Jangan pernah meremehkan minuman!" serunya seraya membanting meja, mengagetkan mereka juga para cewek yang sedang berbahas tadi. Semua tatapan menuju ke arah Sylva. "Minuman itu, sama halnya dengan makanan. Mereka memang sederhana, tapi dengan menggunakan hati dan penuh perasaan saat membuatnya, masakan apapun itu pasti akan enak, pasti akan berkreasi! Seharusnya kalian bisa menciptakan sesuatu yang baru, bukannya bersikap cuek seperti itu!"
Selesai ia berteriak-teriak keras, tak ingin peduli dengan siapa pun Sylva pun berlari keluar dari kelas. Semua orang tidak berkutik sama sekali melihatnya yang mendadak menjadi begitu histeris hanya gara-gara minuman. Semua orang bingung, kecuali Raven. Ia sangat mengerti kenapa Sylva bisa bersikap seperti itu, dan ia tidak pernah menyalahkannya. Tanpa bersuara, ia pun melangkah dengan pelan mengikuti Sylva keluar dari kelas, membiarkan mereka semua yang masih saling menatap dalam kebingungan.
****************************************************************************
KAMU SEDANG MEMBACA
Rage in Cage (Complete)
Mistério / Suspense(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hanya bisa disimpan dengan erat? Itulah yang dirasakan oleh Elizia, sang ibu muda berumur 30 tahun dan sudah memiliki anak berusia 18 tahun bern...