"Selamat, Raven!"
Setelah semua orang bubar, tanpa menunggu Sylva langsung mendekapi Raven dengan kuat dan menyelamatinya. Ia terlihat sangat bahagia sekarang. Raven tersenyum kecil menyadari perubahan baiknya.
"Terima kasih," ucap Raven pelan. "Kamu juga hebat, selamat ya," lanjutnya begitu ia dilepas oleh Sylva.
"Terima kasih juga," jawab Sylva masih dengan senyuman yang begitu lebar nan hangat, dan langsung berubah menjadi senyuman yang begitu lebar dan gembira ketika ia menangkap sosok seorang yang berjalan mendekat. Jackson.
"Hei," gumam Raven sambil memamerkan senyum miringnya. Ia sudah kembali tenang seperti sedia kala. "Aku dapat penghargaan nih, jadi bagaimana penilaiannya?"
Atas pertanyaannya, tanpa sadar Jackson hanya bisa menatap Raven dengan tajam tanpa bisa berkutik. Sylva yang bersuara menggantikannya. "Tentu saja seri! Bukan begitu?"
Masih dengan tatapan yang kesal, Jackson hanya bisa membuang muka lalu berpangling. "Terserah! Seri ya seri!" serunya keras dan tiba-tiba ia langsung berhenti lalu menoleh ke belakang pundaknya, menunjuk Raven dengan jari telunjuknya. "Tapi ingat, bukan berarti aku akan menyerah mengejar Sylva, camkan kataku!" Ia lanjut menunjukkan jari tengahnya tepat ke arah Raven lalu berjalan pergi. Sayangnya, Raven tidak tertarik untuk emosi, saking gembiranya. Hanya saja, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Tak bisa menahan penasaran, ia pun memutuskan untuk bertanya langsung kepada Sylva.
"Jackson menyukaimu, ya?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Sylva yang mulanya mengembangkan senyuman lebar langsung berubah menjadi datar meski masih tersenyum, terkesan senyuman yang pasrah. Ia mengangguk pelan setelah melamun sejenak. "Sudah lama sih, tapi aku tidak pernah peduli padanya karena aku tidak menyukainya."
Raven menaikkan sebelah alisnya. "Oh ya?"
Bukannya mengangguk mengiyakan, Sylva malahan menoleh menatap Raven dengan raut yang tertekuk. "Kukira kamu tahu hal itu, apalagi kamu bahkan ditonjok olehnya gara-gara menarikku yang dipeluk paksa olehnya wakt—"
"Apa?"
Tanpa memberi kesempatan Sylva untuk melanjutkan ucapannya, Elizia sudah keburu menyita seluruh perhatian Raven dengan menatap lekat-lekat wajah Raven, mencengkram kedua pipinya kemudian menyibak poni yang menutup mata kanannya itu. Masih ada bekas, sedikit. "Jadi bekas lukamu itu karena anak tadi? Kamu berkelahi dengannya? Sylva? Ada apa sebenarnya?"
Tanpa disertai niat untuk menjawab, Raven menepis perhatian Elizia yang berlebihan itu dengan membuang mukanya. Ia merasa kesal, juga malu karena begitu dimanjakan di depan temannya. Ia tidak pernah mau diberi perhatian lebih.
Karena ditolak oleh anaknya, Elizia yang juga terlihat kesal itu hendak berkata lagi, memaksanya untuk menjawabnya, namun niatnya terkubur ketika sebuah suara duluan menyelanya.
"Kerja yang bagus, Sylva."
Mendengar datangnya suara asing, seluruh kepala yang ada di sana dengan refleks menoleh ke arah datangnya suara dan terlihat sosok seorang pria dewasa berjas biru. Semua yang melihat sosok itu hanya bisa memperlihatkan wajah yang datar tidak berekspresi karena tidak mengenali sosok tersebut. Tapi bedanya, Sylva sendiri tersenyum lebar, bahkan sekarang ia sudah lari melesat ke arah pria tersebut dan memeluknya erat.
"Papa!" serunya riang. "Selamat datang kembali!"
Pria yang dipeluk itu tersenyum samar. "Aku pulang, putriku," balasnya pelan lalu mulai menggerakkan salah satu tangannya, membelai kepala Sylva. "Maaf aku terlambat."
Sylva menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa," ujarnya masih sambil tersenyum. "Asalkan Papa datang, aku sudah senang."
Pria itu hanya tersenyum menimpali ucapan anaknya lalu mengalihkan tatapannya menyelusuri orang-orang yang berkumpul di sini. Tanpa ditanya, dari tatapan matanya, Sylva sudah mengerti maksud Ayahnya dan langsung saja ia melepaskan diri lalu memperkenalkan mereka. "Perkenalkan, dia Raven temanku dan dia Ibunya."
Refleks tangan Raven terulur ke depan sambil tersenyum sampul."Salam kenal, Pa—"
"Siapa namamu, Nyonya?"
Raven membatu. Ia tidak bisa mengedipkan matanya yang terbuka lebar itu. Jarang sekali ia sopan seperti ini, bahkan mengulurkan tangan untuk disalam. Tapi yang didapatkan malah tangannya hanya menggantung di udara dan diabaikan, seolah tidak terlihat dan terpusat pada Ibunya. Tanpa bisa ditahan, darahnya mulai berdesir.
Elizia yang ditatap serius oleh pria itu hanya bisa tersentak sekilas. "Aku?" Ia terlihat kebingungan, dan ia berhasil menutupinya dengan bibir yang menyungging. "Na, namaku Elizia, salam kenal," lanjutnya seraya mengulurkan tangannya, dan kali ini pria itu menerimanya dengan sekali guncangan yang kuat.
"Salam kenal."
Mata Raven melotot ke mereka berdua yang saling berhadapan. Jantungnya berdetak sangat kencang seiring dengan tatapannya yang semakin menajam. Apa-apaan itu? Pria itu ... Raven bisa mencium sesuatu dari pria itu. Raven bisa merasakannya. Sebagai sesama pria, Raven bisa menyadarinya. Raven tidak mungkin salah. "Hei, Pama—"
"Ikut aku, Raven."
Raven yang hendak memanggil pria itu tiba-tiba ditarik pergi oleh seseorang, oleh Tio. Raven kebingungan menyadarinya. "Hei, apa-apaan kamu? Lepaskan aku, tolo ...." Suara Raven tidak terdengar lagi, lebih tepatnya semakin mengecil seiring dengan sosok mereka berdua yang menghilang menjauh, dengan Raven yang ditarik paksa oleh Tio. Ketiga orang yang tersisa itu hanya menatap kepergian mereka dalam hening.
"Mau ke mana mereka?" tanya Elizia penasaran tidak lama kemudian dan Sylva hanya mengangkat kedua bahunya.
"Apa kita sudah boleh pergi?" Mendadak di kesunyian terdengar lagi suara pria itu. Ia terus-terusan memandang jam tangan emasnya. Terlihat jelas ia sedang buru-buru. Sylva mengangguk kepadanya.
"Sudah kok," jawabnya kemudian. "Tapi aku akan tinggal sebentar. Aku harus bantu teman-teman membereskan peralatan. Jadi Papa dan Tante pulang saja duluan, aku akan menyusul setelah selesai nanti." Selesai berkata, Sylva pun ikut berlalu pergi setelah melambaikan tangan. Sekarang, tinggal mereka berdua yang berdiri di sana.
Elizia melirik ke sana-sini selama sejenak, tidak tahu harus berbuat apa. "Jadi kita ... pulang?"
"Mau kuantar?"
Dengan cepat Elizia menoleh menatapnya. Pria itu sedang tersenyum lebar kepadanya. "Kurasa mobilku tidak lama lagi akan tiba. Mau kuantar pulang?" ulangnya menawar.
Elizia masih tetap tersenyum, canggung."Hmm, sebaiknya tidak usah deh, merepo—"
"Mau?"
Elizia membisu. Ia menatap pria itu lama. Meski segan, pada akhirnya Elizia pun mengangguk. Mungkin akan lebih merasa bersalah menolak ajakan seseorang.
************************************************************************
KAMU SEDANG MEMBACA
Rage in Cage (Complete)
Mystery / Thriller(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hanya bisa disimpan dengan erat? Itulah yang dirasakan oleh Elizia, sang ibu muda berumur 30 tahun dan sudah memiliki anak berusia 18 tahun bern...