Chapter 14 Part 1

3.2K 156 1
                                    

Jam 1 dini.

Sudah 5 jam Elizia duduk diam di sofa, dengan mata yang terus beralihan antara jam dinding dan pintu rumah. Sudah 7 jam yang lalu Ayahnya menyelesaikan siksaan hari ini, membuat tubuhnya benar-benar sudah kebas akan sakit yang selalu sama dan selalu datang kian hari, bahkan sudah bisa dihitung kian jam, kian menit. Elizia tidak tahu. Yang penting, rasa sakit ini akan menjadi sesuatu yang permanen, tidak akan pernah menghilang lagi meski sudah berlusin-lusin obat dan koyo yang mengobati dirinya. Elizia sudah tahu akan nasibnya yang tidak akan mungkin terbebas lagi dari siksaan dan amukan Ayahnya yang kian menjadi. Ia tahu sangat. Namun di dalam kesakitan dan penderitaan yang berturut-turut itu, Elizia masih mempercayai keajaiban. Ia masih yakin setitik cahaya yang datang menyelimutinya.

Itulah Raven.

Sudah 77 jam ia tidak bertemu dengan anak semata wayang kesayangannya, Raven. Ia sangat merindukan sosoknya yang dingin itu. Kalaupun ia tidak diizinkan untuk melihat lagi wajah anaknya, setidaknya hanya memperlihatkan punggungnya yang kaku itu Elizia sudah puas. Sudah bersyukur.

Dan sekarang sudah jam 2 dini. Waktu berlalu dengan cepat ketika Elizia mulai melamunkan Raven. Apa anak itu masih baik-baik saja? Apa dia ada makan dengan teratur? Ataukah dia berkelahi dengan salah satu preman? Dia tidak akan merampok, bukan? Elizia benar-benar kehausan akan info tentang Raven. Ia ingin tahu keadaannya, setidaknya memberitahu kalau Raven masih hidup sampai detik ini.

Jam 2.30 dini, dan Raven tidak terlihat juga. Sepertinya untuk hari ini juga, Raven tidak akan pulang ke rumah. Elizia memutuskan untuk bangkit dari tempat duduknya semula dalam gerakan yang sangat pelan supaya rasa sakit tidak menyerangnya. Sepertinya Elizia akan menyerah untuk terus menunggu, dan memutuskan untuk melanjutkannya besok.

....

Tidak. Elizia yang tadinya berniat untuk melangkah ke dalam kamarnya pun berhenti di tengah perjalanannya. Ini salah. Apa yang telah dilakukannya ini salah. Ia tidak boleh hanya menunggu saja, ia harus keluar mencarinya. Untuk pencarian sebelumnya, Elizia memang gagal dan tidak menemukan sosok Raven. Tapi apa benar ia sudah pergi ke seluruh tempat yang akan didatangi oleh Raven? Pasti ada beberapa tempat yang lupa ia datangi dan mungkin saja Raven ada di sana waktu itu. Ya, Elizia sangat yakin itu. Tidak mungkin Raven akan menghilang ke tempat yang jauh, sedangkan ia tidak membawa apa-apa waktu ia kabur. Ya, itu benar. Elizia harus mencarinya, sampai menemukan anaknya yang tersesat.

Elizia mengubah arah, dari pintu kamarnya menuju pintu utama. Tidak ada lagi kata 'besok' atau 'lain kali'. Sekarang juga, detik ini juga ia harus pergi dan mencari Raven. Tekadnya sudah bulat. Dengan langkah yang tegap Elizia berjalan menuju pintu utama lalu membukanya.

Dan kedua matanya terbelalak.

***

Sudah hampir 3 jam Raven mondar-mandir di depan rumahnya. Penerangan di dalam rumahnya itu sudah padam, yang artinya anggota keluarganya sudah tidur. Seharusnya sekarang adalah saat-saat yang paling tepat untuk menyelinap masuk dan tidur di kamar yang amat dirindukannya. Tapi kenapa ia tidak bisa memberanikan diri memasukkan kunci ke dalam lubang pintu dan membukanya? Sejak kapan Raven menjadi penakut seperti ini? Apa jangan-jangan saat membuka pintu akan seperti membuka surprise box yang akan keluar boneka atau sejenisnya yang mengagetkan? Kalaupun itu benar, Raven sudah cukup dewasa untuk bisa mengatasi rasa kejutnya atas mainan seperti itu.

Elizia.

Ya, itu alasan utamanya kenapa ia tidak berani membuka pintu sialan ini. Ibunya itu orang yang penuh dengan misteri. Raven tidak pernah bisa menebak apa yang ada dan apa yang sedang dipikirkannya dengan otaknya itu. Raven tidak pernah bisa mengetahui apa yang selalu ada di dalam benak Ibunya, sebab segala tindakan yang tidak masuk akal selalu berhasil dilakukannya dengan baik.

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang