Elizia melihat jam dinding dengan gusar. Sudah jam 9 malam, waktu sungguh berlalu begitu cepat. Elizia mendesah untuk ke sekian kalinya hari ini. Setiap melirik ke jam dinding, perasaannya seakan tercekik, sakit, susah bernapas, khawatir.
Raven belum pulang.
Elizia mendesah lagi. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sejak ia kembali dekat dengan anaknya, Raven selalu pulang tepat waktu setelah selesai pelajaran di sekolah. Ia tidak pernah telat barang sedetik pun. Ini sungguh tidak wajar Raven tiba-tiba telat pulang, kecuali terjadi sesuatu padanya.
"Aku pulang."
Mendengar suara, Elizia langsung menoleh ke arah pintu. Seketika itu ia langsung menghela napas dengan lega. Itu Raven. Raven sudah pulang. Namun ada yang aneh. Penampilannya berantakan juga penuh luka lecet di wajah dan badannya. Elizia buru-buru menghampirinya. "Kamu kenapa, Ven?" tanyanya.
Raven menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja kok. Hanya lecet sedikit saja," sahutnya. Ia sangat capek dan ingin cepat-cepat istirahat, tapi raut penasaran juga khawatir yang disiratkan Elizia menahannya.
Elizia membelai lembut wajahnya yang terluka. "Kamu berkelahi lagi ya? Kenapa? Sakit gak?"
Raven menggeleng lagi. "Aku terpaksa meski aku tidak mau berkelahi. Katanya ini tes masuk pengawal."
Elizia mengerutkan keningnya. "Pengawal? Bodyguard? Kamu beneran jadi bodyguard Sylva, Ven?"
Kali ini Raven mengangguk. "Mungkin aku akan mulai pulang telat. Aku tidak bisa menemanimu lagi sesering dulunya." Raven meremas kedua tangan Elizia, menatapnya lekat tapi sendu. Ia berusaha tersenyum. "Kamu ... tidak keberatan, bukan?"
Elizia diam. Ingin sekali ia menjawab sangat keberatan, memeluknya erat dan tidak akan melepaskannya lagi barang sedetik pun. Tapi tidak. Ia tidak bisa melakukannya. Ia dilarang untuk melakukannya. Ia tahu Sylva sengaja melakukan semua ini demi merebut Raven darinya. Elizia sangat tahu itu, belum lagi semua sindirannya yang begitu menyakitkan. Tak bisa disangkal, ucapan Sylva memang sangat benar. Ia harus menerimanya walau seluruh hati dan pikirannya berjawab tidak.
"Tidak." Elizia menggeleng sambil tersenyum cerah. Tapi senyumannya terkesan pahit, bahkan kedua tangannya yang diremas itu ia tepis pelan. "Hm, kamu lapar gak? Mama sudah siapkan makan malam."
Giliran Raven yang diam. Terasa. Raven bisa merasakannya. Wanita yang ada di hadapannya ini mulai bersikap aneh. Mama. Raven benci itu. Seolah tidak peduli, ia menggandeng erat tangan Elizia dan berjalan menuju meja makan, duduk di tempat biasanya.
"Ambil yang banyak, aku sangat lapar," ucapnya pada Elizia yang sedang menyendok nasi itu. Ia memang lelah, tapi ia juga lapar. Akan susah tidur kalau perutnya terus bernyanyi.
"Makanlah," gumam Elizia setelah ia menyerahkan sepiring nasi menggunung di hadapan Raven, lanjut duduk di hadapannya, menemaninya.
Sebelum mulai, Raven mengamati lauk terlebih dulu. Ia lumayan kejut melihat lauk hari ini yang berupa telur ceplok, sayur kangkung dan daging rendang. Sungguh mewah, membuatnya yang hanya melihatnya saja sudah menetes air liurnya. Tak ingin menahan lebih lama, Raven langsung mulai melahap dengan rakus. Jarang ia menemukan daging di atas meja makan, jadi harus dihabiskan atau akan jadi pemborosan.
Selang Raven sedang melahap begitu serunya, Elizia yang duduk di hadapannya hanya diam. Biasanya ketika ia memandang anaknya makan, Elizia selalu akan senyam-senyum sendiri. Untuk kali ini Elizia masih tetap tersenyum, anehnya, senyuman hari ini lebih lebar dari biasanya, lebih misterius dari biasanya. Ia menatap dengan lekat Raven mengunyah daging itu beserta potongan telur. Kedua matanya menyipit ditekan oleh senyumannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rage in Cage (Complete)
Mystery / Thriller(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hanya bisa disimpan dengan erat? Itulah yang dirasakan oleh Elizia, sang ibu muda berumur 30 tahun dan sudah memiliki anak berusia 18 tahun bern...