Chapter 12 Part 1

3K 166 0
                                    

"Ini tidak enak, ulang masak!"

Setelah seruan yang keras itu terdengar pula suara piring pecah yang keras dan tajam menusuk gendang telinga. Beserta dengan pecahnya piring ke-lima pada pagi ini, lantai juga ikut kotor karena terkena tumpahan sup krim kelas atas. Bagi orang-orang sederhana, memandang makanan kelas tinggi ini sudah merupakan suatu anugrah, namun sayangnya, makanan itu tidak ada apa-apanya bagi seorang Rion.

Rion menatap pelayan-pelayan yang berdiri tidak jauh dari pecahan piring tersebut dengan wajah yang garang. "Kenapa berdiri diam di sana? Cepat bersihkan! Aku benci dengan tempat yang kotor!"

Takut dengan nada suara Tuan rumah yang tinggi dan menakutkan itu, para pelayan yang sempat terkesiap segera membereskan sarapan yang telah terjatuh itu. Rion mendengus keras seraya meminum kopi hitamnya ketika mereka pada sibuk bebersih dengan cepat. Putrinya, Sylva, yang duduk di seberang itu hanya menatapnya tanpa bersuara.

Sejak insiden kaburnya mempelai wanita, yang lain tidak lain adalah Elizia, Rion telah berubah total menjadi sosok yang dingin, menakutkan, juga emosional. Sedikit saja ada kesalahan yang tertangkap oleh kedua matanya, mulutnya sudah mulai berperang bahkan sebelum otaknya memikirkan kata-kata. Ia tidak bisa melewatkan seharipun tanpa memarahi seseorang. Ia tidak bisa menerima dirinya yang paling disegani ini bisa dipermalukan seperti itu, bahkan dipermainkan di hadapan begitu banyak orang! Benar-benar tidak bisa dimaafkan!

Cangkir berisi kopi hitam yang sempat ia nikmati sejenak itu tiba-tiba mendarat dengan keras di atas meja makan, menumpahkan seluruh isinya ke tangan juga meja meski cangkirnya sendiri masih utuh. Belum juga sedetik dari peristiwa tersebut, pelayan lainnya segera membersihkan tumpahan tersebut dengan cepat. Ia takut dibentak oleh Tuannya.

Sebelum pelayan itu siap bebersih, Rion yang masih memasang wajah garang itu pun mendadak bangkit berdiri. Pelayan yang mengira ia akan dipukul pun berhenti bergerak, bahkan menyempatkan diri untuk mundur dan menunduk. Untungnya dia salah duga, karena Rion tidak memukulnya.

"Aku akan ganti kemeja dan langsung berangkat kerja. Aku tidak mau lagi sarapan."

Rion langsung menghilang pergi ke kamarnya setelah pesannya yang singkat dan dingin itu. Sylva yang tidak menanggapinya pun lanjut sarapan. Setelah selesai ia pun berjalan keluar ditemani salah satu pelayan wanitanya. Di depan sana, sang sopir pribadinya sudah membukakan pintu untuknya. Sylva masuk tanpa berkata apa-apa, bahkan ia yang biasanya selalu menyapa Kei, sopirnya, hanya diam dan berwajah datar. Ia tidak mau berkata, tepatnya tidak bisa berkata. Pikirannya terlalu penuh.

Tante Elizia. Hanya karena sosok yang lembut itu, Ayahnya yang ia kenal itu telah tiada menjadi sosok yang begitu asing.

***

Pagi pukul 6 tepat.

Ajaibnya, alarm yang selalu setia menganggu itu belum juga berbunyi, Tio sudah bangun dengan sendirinya. Ia menekan tombol off di alarmnya setelah menguap lebar lalu menoleh ke arah kanannya. Masih ada. Sosok sahabatnya itu masih terlihat tidur di samping pintu balkon. Tio menghela napas sejenak lalu beranjak pergi dengan pelan, bermaksud untuk tidak menganggunya.

Sekitar 10 menit Tio mandi lalu kembali lagi ke dalam kamarnya setelah selesai, ia melihat ternyata sahabatnya itu masih tertidur tanpa bersuara, bahkan baring lurus seperti maya— ehem. Diam-diam saja. Sekali lagi Tio menghela napas dan kali ini ia memutuskan untuk membangunkannya.

"Hei, Ven, bangun, sudah pagi nih."

Sempat geming sejenak, setelah digoyang berkali-kali, dengan susah payah akhirnya ia berhasil membangunkan sahabatnya itu. Pelan-pelan kedua matanya mulai memelek. Ia mengucek mata kanannya sebelum bangun duduk bersandar. "Pagi sekali," gumamnya rendah dan seketika itu Tio langsung menjitak keningnya.

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang