Perlahan-lahan Sylva membuka kedua matanya. Dalam hitungan 5 detik ia mematung bagai orang tidak sadar meski kedua mata sudah terbuka, dan masuk detik ke 6 ia langsung loncat bangun dari posisi terakhirnya, kaget!
"Di, di mana ini?!" Kedua mata Sylva tidak bisa dikedipkan sama sekali. Ia duduk di atas kasur king size yang besar dan putih indah. Di hadapannya ada sebuah tv flatscreen ukuran besar, berhias miniatur-miniatur yang indah dan mahal di sekeliling rak bawah tv. Selain itu ruangan tempatnya berada sangat besar. Tepat 2 meteran di samping kasur terdapat susunan sofa berwarna putih dengan meja kaca di tengahnya, ada karpet merah pekat motif bulu tepat di bawahnya. Selain itu, tepat di samping sofa ada lagi rak-rak buku beserta meja yang bersih dengan laptop apple putih di atasnya dalam keadaan terbuka. Rak buku tersebut letaknya tepat di sebelah pintu balkon yang tersambung langsung ke pintu satu lagi yang tertutup, bisa ditebak itu adalah pintu kamar mandi. Sylva menelan ludah. Kamar ini memang megah, mempunyai ciri khas yang hampir sama dengan ruangan di rumahnya, tapi tetap saja, ini pasti bukan rumahnya!
"Kamu sudah sadar?"
Sylva terkesiap. Dengan cepat ia mengalihkan pandangannya dari ruangan ini ke pintu yang tertutup itu yang sekarang sudah terbuka. Seseorang berdiri di hadapannya dengan rambut basah tertutup handuk dan mengenakan kimono handuk. Sylva merapatkan dirinya dan memasang wajah yang galak.
"Jackson," gumamnya rendah dengan tatapan yang tajam tertuju padanya yang sedang tersenyum lebar. Ia menelan ludah dengan tanpa sadar. "A, apa yang telah kamu lakukan?"
Untuk sesaat Jackson kaget mendengar ucapannya, tapi setelah itu ia kembali tersenyum genit. "Aku baru habis mandi kok, tidak melakukan apa-apa," ucapnya pelan. Ia menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum. "Kamu ... tidak berpikiran negatif, bukan?"
Sylva menggigit bibirnya dan menunduk. Ia merasa sangat malu untuk berpikiran seperti itu, padahal seragamnya masih melekat rapi di tubuhnya. Wajahnya mulai merona merah tanpa bisa berkata apa-apa. Di saat seperti ini, Jackson yang berdiri di ujung sana pun mulai melangkahkan kakinya mendekat. Begitu tiba di samping ranjang, Sylva kembali merapatkan dirinya, penuh waspada menatapnya. Tapi Jackson mengabaikan reaksinya, menjulurkan tangan kepadanya masih sambil tersenyum lebar.
Sylva kembali menajamkan pandangannya. "Mau apa kamu?"
Masih sambil tersenyum miring, Jackson menaikkan sebelah alisnya. "Aku?" Dia kembali menjulurkan tangannya, lebih mendekati Sylva. "Aku hanya ingin melayani tamu terhormatku ini, setidaknya duduklah dulu di sofa sana untuk berbincang. Ya?"
Untuk sekejap Sylva diam termenung menatap tajam ke arah pria yang berdiri di hadapannya ini. Tidak punya pilihan lain, maka dalam detik berikutnya ia pun menerima uluran tangannya dan dibimbing ke sofa ujung sana. Sylva merasa terkesan begitu mendaratkan tubuhnya ke sofa putih tersebut, sebab seumur hidup ini pertama kalinya ia duduk di sofa yang terasa begitu empuk. Pasti mahal banget, tapi Sylva tidak mempedulikannya, lebih tertuju kepada pria yang sudah duduk di hadapannya itu.
Baru saja beberapa detik mereka tiba dan duduk di sofa tersebut, tiba-tiba datang seorang perempuan berpakaian rapi layaknya pelayan meletakkan dua potong cheese cake kelas tinggi beserta dua cangkir teh mungil di sebelahnya, satu tepat di hadapan Sylva dan satu lagi di hadapan Jackson. Sylva tersenyum pada pelayan itu seraya mengangguk kepalanya sekali, sedangkan Jackson hanya mengibaskan tangannya menyuruhnya pergi.
Pelayan yang tahu diri itu pun segera berlalu. Melihat reaksi Jackson yang begitu sinis pada pelayan, Sylva hendaknya mengatainya, tapi niatnya itu malah terkubur karena keduluan Jackson bersuara,
"Silakan dimakan dessertnya."
Sylva kembali menatapnya dengan tajam dan dengan mudahnya Jackson sudah bisa mengartikan pandangan matanya. Ia kembali tersenyum memesona, senyuman yang ia gunakan untuk mendapatkan hati para perempuan, sayang sekali tidak berlaku pada Sylva tercintanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rage in Cage (Complete)
Mistério / Suspense(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hanya bisa disimpan dengan erat? Itulah yang dirasakan oleh Elizia, sang ibu muda berumur 30 tahun dan sudah memiliki anak berusia 18 tahun bern...