Chapter 3 Part 4

5.1K 261 0
                                    

"Hei!"

Oleh karena tepukan dan juga seruan yang keras, Elizia yang melamun itu langsung tersentak kaget. Kedua matanya terbuka lebar. "Apa?" tanyanya cepat.

Masih dengan tangan yang menempel di pundak Elizia, Raven menatapnya. "Sudah sampai," ucapnya.

"Oh, sudah sampai, ya?" Saking terlarut dalam lamunannya, Elizia pun segera bangkit dengan terheran-heran, kurang begitu percaya dengan ucapan Raven, sedangkan Raven hanya diam dan mengikutinya di belakang. Namun ketika mendarat, Raven langsung bertanya kepadanya, "Kamu melamun?" Raven menatapnya dengan dingin ketika menyadari Elizia diam, tidak menjawab. "Apa yang kamu lamunkan?" lanjutnya bertanya.

Masih dengan kepala yang menunduk ke bawah tanpa berani menatap wajah Raven, Elizia pun menjawab, "Bukan apa-apa sih. Hanya memikirkan sesuatu."

Dengan wajah yang datar Raven melihatnya. Dapat terlihat kalau ia hendak bertanya lagi, tetapi ia tidak melakukannya, malahan lanjut berjalan tanpa ingin mempedulikan Ibunya lagi. Elizia hanya menghela napas pendek lalu mengikutinya pelan di belakang. Ia diam-diam tersenyum dengan sedih.

Sepertinya ... Raven sudah melupakan kejadian itu. Padahal Elizia selalu mengingatnya, sangat jelas malahan. Tapi Raven tidak menunjukkan tanda-tanda ia mengingatnya. Maklum saja, Raven orang yang pelupa. Elizia kembali mendesah lagi ketika menyadarinya.

Tak lama berjalan, mereka berdua tiba juga di hadapan rumah mereka. Hanya dengan menggerakkan kaki beberapa langkah saja dan mereka akan sampai, tapi dengan sendirinya Elizia sudah berhenti. Kedua kakinya mendadak menjadi berat. Ia tidak bisa berjalan, ia tidak sanggup.

"Kenapa?" tanya Raven yang menyadarinya. Sangat wajar.

Dengan terpaksa Elizia tersenyum lalu menggeleng. "T, tidak, tidak ada apa-apa. Ayo masuk. Kakekmu pasti kesepian di rumah sendirian. Ia juga mengkhawatirkanmu."

***

Kakek.

Mendengar Elizia menyinggungkan namanya, darah Raven langsung mendidih. Ia tahu kalau Ibunya itu takut untuk pulang, bahkan tubuhnya bergetar ketika ia berhenti sejenak tadi. Tapi bukannya jujur, ia malah dengan santainya membicarakan soal Kakek. Raven benar-benar emosi melihatnya.

Ia membiarkan Ibunya masuk duluan. Raven ingin melihat, bagaimana reaksi Ibu, juga reaksi Kakek sekarang. Namun nihil. Ia tidak melihat ada yang berubah dari mereka berdua. Elizia masih tersenyum-senyum seperti biasanya, begitu juga Erdi yang cuek-cuek seperti biasanya. Raven meragukan wajah mereka. Itu hanyalah kamuflase belaka. Raven yakin itu, lalu memutuskan untuk membuktikannya sendiri dengan membiarkan mereka berduaan sendirian.

Raven yang berbohong berkata ingin ke belakang pun diam-diam bersembunyi di balik koridor. Dan keraguannya langsung terbukti. Dalam sekejap, wajah Elizia yang santai dan tenang itu langsung murung dengan dahsyatnya dan Erdi mengekspresikan wajah yang kejam, seperti siap membunuhnya. Raven bisa mendengar suara mereka dengan jelas.

"Untuk malam ini, aku ingin melanjutkan apa yang telah tertunda tadi itu."

Hampir saja Elizia menjatuhkan piringnya kalau saja ia sudah menentengnya. Kedua matanya berkaca-kaca dan badannya pun bergetar, untuk sekejap. "Ke, kenapa?" tanyanya pelan.

"Salahkan anakmu yang menganggu. Lebih baik kau siapkan dirimu sekarang juga." Setelah ucapannya yang dingin itu, Erdi pun bangkit dari kursinya lalu dengan cepat masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Elizia yang sudah bergetar hebat. Ia merasa ingin menusuk jantungnya saja sekarang dengan garpu yang ada di hadapannya ini.

Ini terlalu menyakitkan.

*********************************************************************************

Rage in Cage (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang