Elizia menatap layar televisi yang kosong itu dengan tatapan hampa. Seharian ia duduk di sana, sofa tunggal itu, memeluk kedua lututnya seperti biasa dan merenung, melamun, kosong. Segala hal yang ia lakukan biasanya sudah tuntas. Tidak ada lagi hal-hal yang bisa ia lakukan. Ia kebosanan. Ketika ia bosan, ia akan melamun. Ketika ia melamun, ia akan memikirkan Raven. Dan ketika ia memikirkan Raven, ia akan mengingat Sylva, mengingat ucapannya, mengingat hubungan mereka.
Hubungan terlarang mereka.
Akhirnya, setelah berjam-jam membatu duduk di sana, Elizia menghembuskan napasnya untuk pertama kali hari ini. Setiap mengingat ucapan demi ucapan yang waktu itu, hati dan perasaan Elizia pasti akan tidak nyaman, berat, sesak. Ucapan Sylva benar, sangat benar malahan. Ia tahu, kalau saja semua orang mengetahui hubungannya dengan anaknya sendiri, tidak hanya Sylva, bahkan dunia akan melarangnya, memisahkan mereka sejauh mungkin. Itulah yang membuat Elizia gelisah seiring waktu berlalu.
Apa dia salah? Apa rasa cintanya salah? Benarkah ia egois? Benarkah ia mengikat Raven? Benarkah Raven merasa terbeban karena dirinya? Bukankah Raven juga mencintainya? Bahkan sebelum Elizia sempat menyadari perasaannya ini, Raven sudah terlebih dulu menyatakan perasaan kepadanya. Raven mencintainya. Ya. Mereka berdua saling mencintai. Elizia yakin. Lalu apa itu salah?
Tidak cukupkah hanya mereka berdua yang bahagia? Apa ia harus kehilangan kebahagiaannya sendiri demi kebahagiaan orang lain? Bisakah ia sedermawan ini? Elizia bertambah gelisah memikirkan semua ini. Ini tidak adil, pikirnya.
Entah atas dorongan apa, tiba-tiba Elizia menggerakkan kepalanya memandang jam dinding. Jam 11.45 malam. Elizia langsung bangkit berdiri ketika tersadar.
"Astaga," ucapnya sambil menutup mulutnya yang ternganga. "Sudah semalam ini? Kenapa aku tidak menyadarinya sama sekali? Aduh, belum masak nih. Mending cepat-cepat masak sekarang," lanjutnya kemudian lekas menuju ke dapur, menyiapkan makanan untuk Raven. Raven sudah pernah berkata padanya kalau ia akan kerja hingga tengah malam. Kalau bekerja selama ini, ia pasti akan lapar. Dengan gagasan seperti itu di pikiran, Elizia pun memutuskan menyiapkan makan malam untuknya mengabaikan kemungkinan Raven sudah makan.
Elizia mengenakan apronnya. Setelah selesai, ia pun membuka kulkas ukuran sedang dan mengamatinya. Ia memilih beberapa sayuran di dalamnya, tapi tangannya tiba-tiba berhenti setelah mengambil jamur. Wajahnya yang tadi lumayan panik berubah menjadi datar. Tangannya tetap menggantung di udara tanpa ada niat menurunkannya. Ia kelihatan seperti orang linglung dengan ekspresi polos tidak bernyawa.
"Dagingnya habis."
***
"Kamu sudah boleh berhenti, Ven."
Dalam sekali tarikan napas, begitu mendengar ucapan Sylva yang sangat pelan itu Raven pun menghempaskan pena beserta dengan seluruh tubuhnya ke atas meja.
Lelah! Capek! Baru kali ini Raven tahu kalau menjadi bodyguard itu harus seharian duduk di perpustakaan, menghadapi kumpulan buku dan soal-soal pembahasan sebagai lawannya, bukannya para penjahat. Memang lumayan sih karena badannya tidak perlu kesakitan menahan pukulan, tapi otaknya pula yang sangat sakit dipaksa untuk menghajar soal-soal yang bagai monster itu, belum lagi si Sylva, Nona muda yang harus dilindungi ini malah balik melawannya dengan paksaan mengerjakan soal gak waras. Gila!
Sylva yang masih banyak diam itu dengan cekatan membereskan buku-buku tebalnya dan menyusunnya kembali ke dalam rak-rak buku yang sudah ia hapal itu. Setiap hari sepulang sekolah Sylva hanya menghabiskan waktu di perpustakaan pribadi rumahnya, mengerjakan seluruh pekerjaannya lalu baru mampir ke dapur mengisi waktu luangnya.
Ruangan yang bagai sarang buku ini seperti rumahnya yang kedua, tidak mungkin ia tidak mengenali tempatnya. Tanpa perlu kebingungan, di ruangan yang luasnya berhektar itu ia melangkah dengan cepat dan menyusun buku di masing-masing rak. Tak butuh waktu lama ia sudah menyimpan seluruh buku-jumlah 48-di rak dan kembalilah dia ke meja yang ditempatinya barusan, dan mendapati Raven masih tiduran di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rage in Cage (Complete)
Mistério / Suspense(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hanya bisa disimpan dengan erat? Itulah yang dirasakan oleh Elizia, sang ibu muda berumur 30 tahun dan sudah memiliki anak berusia 18 tahun bern...